“City of God” bukan berkisah tentang sebuah kota dengan keindahan akan kedamaian dan cinta, melainkan sebaliknya. Menyaksikan “City of God”, adalah sebuah kesalutan. Film ini menawarkan sebuah kisah yang benar nyata, yang akan disadari penonton yang memang tidak tahu akan hal ini, pada akhir film. Saya memang tidak menyangka bila ini adalah sebuah kisah nyata, sebab ini adalah sebuah keputusan yang cukup berani untuk menampilkan sesuatu yang benar-benar akan mengundang suatu kontroversial.
“City of God” disutradarai oleh Fernando Meirelles, yang kemudian menyutradarai “The Constant Gardener”. Film ini memberikan sebuah keberhasilan bagi Meirelles, termasuk sebuah nominasi Academy Awards untuk Best Director. Film ini bercerita tentang sebuah kota yang disebut dengan “City of God”, dimana penonton akan menikmati sebuah tontonan yang mengisahkan tentang kehidupan kriminal kota tersebut yang dibuat menjadi sebuah tontonan yang berbobot. Setidaknya, walaupun kekerasan hampir memenuhi film ini, penonton tidak akan sejijik dengan film-film franchise “Saw” dan sejenisnya.
Baru mulai menyaksikan film ini, kedua sutradara memberikan sebuah perpaduan adegan-adegan yang sangat menarik. Agak unik, ketika memulai sebuah film dengan proses pemotongan ayam, yang juga mengancam seekor ayam yang sedang menyaksikannya, yang dipadu dengan kisah pelarian ayam ini, yang kemudian akan berakhir dengan sebuah alur flashback. Film ini memberikan sebuah opening yang akan mampu mengundang selera dan membangun curiosity penonton dalam mengetahui kelanjutannya.
Film ini berkisah dari sudut pandang seorang anak remaja naif yang bernama Rocket. Rocket dan keluarganya yang hidup di City of God, memang telah mengenal berbagai macam kekerasan yang terjadi. Maklum saja, saudara kandungnya yang bernama Goose, adalah salah satu anggota dari kelompok yang dikenal sebagai “The Tender Trio”.
Bagian awal film, penonton akan kembali dengan sebuah flashback di era 60-an yang mengisahkan kisah ini. The Tender Trio terdiri dari tiga orang, yaitu Shaggy, Clipper dan Goose. Tetapi ada dua orang anak kecil yang selalu mengikuti mereka yang bernama Benny dan Li’l Dice. Kemiskinan yang dialami oleh seluruh penduduk City of God, membuat setiap adanya pencurian terhadap kendaraan dari luar kota selalu aman. Ini oleh karena The Tender Trio selalu merampas atau mencuri barang tersebut tanpa melakukan suatu pembunuhan, dan membagi-bagikannya.
Masalah dimulai ketika The Tender Trio dan Li’l Dice berusaha untuk mencuri dari sebuah motel. Ketika berhasil mendapatkan barang-barang curian mereka, Li’l Dice yang masih kecil melakukan sebuah kesalahan. Karena ambisinya yang kuat, Li’l Dice membunuh semua orang di motel, tanpa sepengetahuan The Tender Trio, dan meninggalkan City of God. Karena banyaknya orang yang dibunuh, membuat The Tender Trio menjadi sasaran empuk polisi, dan mengakhiri kisah, sekaligus hidup mereka.
Secara garis besar, “City of God” terdiri dari beberapa cerita pendek yang saling berhubungan. Mulai dari “The Tender Trio” yang bersettting pada tahun 1960-an, lalu kisah mengenai Li’l Dice dan Benny, kisah pembunuhan Benny, kisah Knockout Ned, hingga akhirnya berakhir dan terus memiliki kelanjutan. Intinya, setiap pertumpahan darah, tetap akan dibalas dengan darah, selama masih ada niat untuk membalas dendam. Melalui penceritaan dari sudut pandang Rocket, film ini seperti mengisahkan kehidupan kota City of God dan kisah personalnya.
Film buatan Brazil ini berhasil menarik perhatian yang luar biasa. Buktinya, film ini berhasil mendapatkan empat nominasi di acara Academy Awards yang ke 76, untuk Best Director (Fernando Meirelles), Best Adapted Screenplay, Best Cinematography, dan Best Film Editing, walaupun tanpa mencuri satu pun piala Oscar. Lucunya, dengan keberhasilan mendapatkan empat nominasi tersebut, film ini tidak serta merta masuk ke dalam nominasi Best Foreign Language Film. Padahal film-film yang masuk ke dalam nominasi tersebut, tidak mendapatkan jumlah nominasi yang sama banyaknya dan seberuntung seperti film ini.
Penggambaran tentang kehidupan masyarakat kelas bawah di Brazil yang penuh dengan tindakan kriminal yang sangat tinggi, berhasil digambarkan film ini. Film ini menggambarkan ketika sebuah nyawa tampak tidak berharga, dan tidak ada yang mampu untuk menjadi seorang revolusioner demi masa depan City of God. Semuanya dilakukan dengan pengambilan gambar yang sangat bervariasi, namun cukup berkesan.
Kehidupan para preman yang berusaha untuk berkuasa lebih banyak, dan mengembangkan bisnis berjualan obat terlarang, akan dijelaskan film ini lebih dalam melalui tokoh-tokoh yang terlibat. Kita tidak akan melihat adegan-adegan yang disturbing ataupun sadis, sebab setiap adegan pembunuhan yang dilakukan dikemas dengan tingkat kewajaran dan layak untuk ditonton. Setidaknya, penonton tidak perlu untuk menutup mata mereka, seperti yang harus dilakukan ketika menikmati film-film sadis ataupun horror.
Film ini mungkin tidak akan tayang di televisi, sebab penuh dengan beberapa adegan-adegan yang tidak patut untuk diperlihatkan di televisi. Seperti adegan menghirup obat terlarang, hingga beberapa adegan telanjang. Sebab akan sangat disayangkan bila kita menyaksikan film ini, dengan hasil editan lembaga penyensor, yang akan mampu mengurangi sisi cerita film ini yang sebetulnya sangat berbobot.
Menyaksikan film ini juga akan memberikan sebuah kelucuan tersendiri. Ini terbukti saat ketakutan Rocket dan kebanggaan Li’l Dice akan dirinya sendiri. Rocket takut karena ulah seorang reporter membuat foto Li’l Dice yang diambilnya masuk kedalam halaman depan koran, dan membuat Rocket merasa terancam untuk pulang. Tetapi di sisi lain, Li’l Dice malah merasa bangga, sebab Ia merasa dengan tampil di halaman depan koran sambil memegang senjata, membuktikan dirinya sebagai orang yang berkuasa, dan membuat dirinya untuk meminta Rocket mengambil pose dirinya dan anggota gang-nya.
“City of God” adalah sebuah drama hidup, sebuah penggambaran yang berhasil, dari sebuah rahasia yang terkuak dan menjadi sebuah cerita yang akan membuka mata penonton. Semuanya hanya berawal dari kemiskinan yang melanda, kemudian perdagangan obat terlarang kaum bawah, lalu kebutuhan akan sebuah kekuasaan yang dipenuhi dengan keambisiusan yang tinggi, hingga para polisi yang dapat disuap dengan uang. Film ini menceritakan semuanya dan mengemasnya menjadi sebuah tontonan yang tidak hanya akan menghibur saja, tetapi juga sangat berbobot.