Kalau masih inget dengan pelajaran sejarah saat SMP, salah satu nama tokoh yang amat populer di materi Perang Dunia kedua adalah Franklin Delano Roosevelt. Tokoh yang satu ini tak hanya dikenal sebagai salah satu Presiden Amerika Serikat dengan masa tugas yang terpanjang, tetapi juga sebagai orang dengan marga Roosevelt kedua yang menduduki jabatan tersebut. Kiprahnya di masa great depression sampai peran Amerika Serikat dalam masa Perang Dunia, termasuk kisahnya sebagai penderita polio menjadi menarik. Apalagi jika ada skandal seks didalamya. “Hyde Park on Hudson” akan membawa penonton dalam salah satu babak terakhir kehidupan Roosevelt dengan dinamika menarik: kombinasi kisah cinta terlarang dan komedi dari sebuah shock culture.
Kok, tiba-tiba jadi shock culture? Film drama komedi ini mengambil setting ketika Amerika Serikat mendapatkan kunjungan dari Raja George VI dan Ratu Elizabeth. Please note, ini ibu suri ya, bukan Ratu Elizabeth II. Kalau yang penasaran sama kisah Raja George VI, kalian bisa banyak menyaksikan “The King’s Speech” yang menjadi Best Picture Oscar di tahun 2010. Kembali ke topik, Raja George VI dan Ratu Elizabeth, yang diperankan oleh Samuel West dan Olivia Colman, berupaya untuk mendapatkan dukungan dari Amerika. Yang jadi menarik, di kala pemerintahan Roosevelt kala itu, Ia tidak sedang menjalankan pemerintahan dari White House yang berada di jantung ibukota Amerika Serikat, melainkan dari sebuah rumah yang menjadi judul dari film ini. Hah? Kok bisa? Namanya juga Presiden, suka-suka doi…
Rumah ini sebetulnya bukan milik Roosevelt, melainkan milik Ibunya. Disana, Ia dibantu dengan asisten kepresidenan. Mengetahui rencana kehadiran Raja dan Ratu dan benua seberang, membawa Ibu dan Istri Roosevelt berupaya menghadirkan sebuah penyambutan ala Amerika. Mereka tidak menyajikan cocktail, malah menghidangkan hot dog yang kala itu namanya terdengar risih buat Ratu Elizabeth.
Akan tetapi, dengan setting demikian, sebetulnya film ini bercerita dari sudut pandang Daisy, diperankan oleh Laura Linney, yang merupakan sepupu sekaligus someone special-nya sang Presiden. Kehadiran Daisy memang tidak mencurigakan berhubung dia merupakan bagian dari keluarga. Cuma, namanya bau busuk pasti ketahuan juga. Missy, sekretaris Presiden yang diperankan oleh Elizabeth Marvel, mengetahui kecurigaan ini. Kacaunya, ternyata oh ternyata, tak cuma dekat, Missy sepertinya punya jenis hubungan yang sama dengan Presiden.
Film bergaya biografi yang ditulis oleh Richard Nelson ini memang tidak terasa terlalu fokus pada cerita cinta Daisy dan FDR. Premis cerita yang menurut saya akan lebih didalami ini ternyata malah jadi sampingan saja. Walaupun bertutur dengan narasi-narasi Daisy, film ini jauh lebih seru lewat keseruan tingkah laku Raja George VI dan Ratu Elizabeth. Bayangkan saja, keduanya yang sudah terbiasa dipuja-puja di negerinya, harus dijamu dengan masyarakat yang tidak aware dengan status mereka, bahkan harus tinggal jauh dari kemewahan di daerah countryside Amerika.
Belum lagi, ditambah dengan ragam hal yang membuat mereka Orang Amerika serasa meremehkan Orang Inggris. Disinilah yang membuat saya menyukai penampilan Samuel West dan Olivia Colman. Walaupun West tidak seperti Firth yang sangat gagap, di versi Raja George yang tidak terlalu gagap ini, saya menyukai bagaimana cerita hubungan Raja dan FDR terbentuk. Lain halnya dengan Colman. Aktris yang memang kuat dari sisi komedi ini, seperti karyanya yang memberikan Oscar lewat “The Favourite,” memang awat piawai untuk memerankan sosok perempuan di Kerajaan Inggris. Disini, Ia berperan sebagai Ibu Ratu Elizabeth II, di “The Favourite” Ia berperan sebagai Ratu Anne, dan di serial terbarunya “The Crown,” Ia memerankan Ratu Elizabeth II. Gokil!
Dari penyajian, cerita cinta dan chemistry yang diperlihatkan oleh Laura Linney dan Bill Murray memang sangat jomplang dengan kesan komedi yang dihidupkan. Tapi, usaha Murray dalam memerankan karakter FDR perlu diacungi. Saya menikmati proses mempelajari karakter FDR di film ini yang kadang buat saya agak cukup tidak tertebak. Cuma, tingkah laku seperti mengendarai kendaraan dengan ngebut-ngebutan, sampai mendramatisasi bagaimana penyakit polio yang dideritanya menjadi part yang menarik disini.
Sayangnya, sosok Eleanor Roosevelt yang diperankan Olivia Williams, tidak terlalu punya banyak part yang menonjol. Padahal, saya cukup banyak ekspektasi dengan tokoh dunia yang satu ini. Walaupun demikian, salah satu quote yang saya sukai adalah ketika Missy menjelaskan jika Eleanor adalah seseorang yang realistic. Disitulah saya tercengang.
Secara penyajian, sutradara Roger Michell, terbilang berhasil menyulap dunia pedesaan Amerika dengan menghadirkannya di Inggris. Sutradara yang sebelumnya sudah dikenal dengan romance comedy “Notting Hill” dan “Venus” ini menyajikan cerita yang cukup enjoyable. Durasi film yang 104 menit, buat saya terasa cukup pas, apalagi yang kemudian menjadi fokus penyajian cerita sejalan dengan apa yang membuat saya interesting dengan kisah film ini. Belum lagi ditambah dengan alunan melodi manis dari Jeremy Sams.
Akhir kata, FDR memang bukan seseorang yang sempurna. Saya engga terlalu peduli dengan skandal cintanya, engga terlalu menarik juga kalau digali. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana penyambutan ala Amerika yang terasa seadanya dari sisi orang Inggris, yang seperti jauh dari standar mereka untuk memperlakukan Raja dan Ratu. Tapi kalau dipikir-pikir, Amerika merupakan freedom land dan juga tanah melting pot yang memang kumpulan orang-orang yang ingin bebas kan. Tapi bukan masalah tidak menghargai, Raja dan Ratu Inggris masih diperlakukan dengan baik, mungkin dalam cerita ini tidak sesuai ekspektasi keduanya. Yang pasti, ini bagian yang tidak boleh dilewatkan, sebab jadi salah satu langkah awal persahabatan keduanya. So funny!