Diadaptasi dari sebuah novel seorang filsuf Perancis pada abad 18, “The Nun” diangkat sebagai sebuah cara untuk mengkritik kehidupan tertutup dalam biara. Bukan karena ‘terpanggil’ untuk menjadi seseorang yang akan tinggal di sana, tapi saya terkagum dengan bagaimana orang-orang tersebut memutuskan untuk membuat komitmen lewat sumpah, dan melepas segala keduniawian mereka. Kali ini, saya akan mengajak Anda untuk menjumpai salah satu film yang pernah dicekal dan dilarang yang berkaitan dengan kehidupan di biara.
Sosok sentral dalam film ini adalah Suzanne, diperankan oleh Anna Karina, yang sedari awal sudah menunjukkan betapa kontroversialnya Ia. Adegan pembuka film ini, kita akan menyaksikan bagaimana Suzanne memulai upacara pengambilan sumpah biarawati yang berakhir ricuh. Ya, bagaimana tidak ricuh, Suzanne masih belum merasa siap untuk menjadi seorang biarawati. Ketidakinginannya ternyata tidak sejalan dengan Ibunya, yang sebetulnya punya maksud lain dibalik semuanya. Alhasil, polemik tersebut membuatnya kemudian dikurung di dalam kamar selama beberapa bulan.
Ternyata, Suzanne muda terpaksa untuk mengikuti kemauan sang Ibu. Sebuah biara baru dicarikan untuknya, dan Ia kemudian diterima disana. Terlepas polemik disana, Ia diterima dengan baik oleh Suster Kepala Madame de Moni, yang diperankan oleh Micheline Presle. Suzanne pun kemudian mengambil sumpahnya dan resmi menjadi biarawati disana. Singkat cerita, Sang Ibu yang diturutinya meninggal, dan begitu juga dengan Suster Kepala. Sepeninggal keduanya, Suzanne ternyata melancarkan sebuah drama baru: menyangkal sumpah yang telah diucapkannya.
Apa yang dihadirkan oleh “The Nun” memang terbilang cukup menuai kontroversi. Kehidupan biara yang tertutup membuat khalayak luas tidak mengerti bagaimana day-to-day yang dilakukan para biarawan/biarawati. Yang kita ketahui adalah mereka bercocok tanam, berdoa sepanjang hari, ataupun menerima kunjungan orang luar yang dibatasi dinding dengan tiang-tiang bak di penjara. Lewat tulisan Diderot, “The Nun” seakan diadaptasi bebas, sebagaimana dikatakan lewat kalimat awal film ini. Menariknya, Gruault dan Rivette yang menulis film ini akan membawa penonton ke sebuah sajian drama tanpa henti.
Dari sisi penampilan, saya amat menikmati Anna Karina yang memerankan sosok Suzanne yang terlihat polos, namun bak beragam konflik yang dibuatnya. Di satu sisi, kita akan merasa kok Suzanne terlalu sering berbuat onar, tetapi di sisi lain Suzanne seakan menuntut kebebasannya yang terjerat karena paksaan orangtua dan dibawah bayang-bayang dunia agama. Sosok Suzanne disini tak hanya menyentil masalah kebebasan sebagai manusia, tetapi Ia juga membahas masalah yang lain: ragam konflik di dunia yang tertutup.
Film ini menyajikan kehidupan dua biara yang berbeda. Yang satu, terdiri dari biarawati-biarawati yang cukup disiplin, mungkin sebagaimana yang kita juga saksikan di “The Sound of Music.” Yang satu lagi, biara tertutup dengan konsep bebas didalamnya. Bebas dalam makna biarawati tidak wajib untuk mengenakan kostum tertutup mereka. Ada yang sesuai ibadah, langsung keluar berlari-larian sambil melepas kerudung mereka. Begitu juga model hubungan yang dibangun oleh Suster Kepala. Biara kedua memperlihatkan bagaimana preferensi subjektif atau pengidolaan yang begitu kuat pada karakter yang difavoritkan. Sungguh unik.
Apa yang dihadirkan “The Nun” memang pasti tidak dapat diterima banyak pihak. Tapi, saya amat menikmati film yang berdurasi hampir 2 setengah jam ini. Konflik-konflik yang akan kita saksikan, intinya semuanya akan kembali pada satu hal: “Mereka masih sama-sama manusia, yang tak lepas dari segala kekhilafan.” It’s a well-deserved classic.