Siapa yang mengenal Trilogi Buku Divergent karangan Veronica Roth yang juga menjadi #1 New York Times Bestseller? Seperti layaknya Seri “The Lord of The Rings” ataupun “Harry Potter”, tentu bagi para pembaca setianya melakukan adaptasi dari sebuah novel yang cukup digemari kadang cukup tricky bagi para pembuat film. Hal ini tidak hanya karena ekspektasi pembacanya yang kadang sudah terlalu tinggi, ataupun kadang film-nya yang kurang melakukan eksplorasi lanjut layaknya gaya cerita dalam novel.
Jujur saja, Saya belum pernah membaca novel ini dan sebetulnya cukup telat untuk menyaksikan film ini. Implikasinya, mungkin Saya cukup telat merasakan euforia Divergent kala itu. Juga, dunia perfilman Hollywood terlihat cukup menggemari untuk mengadaptasi banyak novel #1 New York Times Bestseller, yang kadang dikritisi sebagian pengamat film bahwa Hollywood sudah cukup kehabisan ide fresh.
Kisah ini film secara singkat sebetulnya cukup terpusat pada dua karakter utamanya. Pertama adalah sosok Beatrice Prior, yang kemudian dikenal dengan Tris, yang diperankan oleh Shailene Woodley. Kedua adalah sosok Four, yang sebetulnya punya nama asli Tobias Eaton, yang diperankan oleh Theo James. Keduanya adalah “divergent”, yaitu manusia yang memiliki kelima sifat yang dimiliki oleh lima faksi di dalam masyarakat Chicago modern. Kelima faksi tersebut adalah Erudite, Candor, Abnegation, Amity, dan Dauntless. Kesamaan kedua pemeran utama ini adalah bahwa keduanya sama-sama mencari perlindungan melalui Dauntless.
Sistem faksi dalam masyarakat modern Chicago membagi setiap warganya kedalam lima kelompok ini atau termarjinalkan. Bila termarjinalkan, mereka akan tergabung dengan kelompok factionless, kelompok terpinggir yang sebetulnya punya proporsi terbanyak dalam jumlah masyarakat.
Tris kala itu berusia 16 tahun, dan Ia harus melakukan sebuah Upacara Inisiasi, yang membuatnya untuk memutuskan pilihan hidupnya dalam bermasyarakat. Ia merupakan anak salah seorang dewan dan berasal dari kelompok Abnegation. Abnegation sendiri merupakan kelompok yang sedang memimpin pemerintahan. Ini disebabkan dari sifat kepedulian mereka terhadap sosial yang cukup tinggi dan gaya hidup mereka yang sangat sederhana.
Singkat cerita, kepemimpinan masyarakat di dalam pengaruh Abnegation ternyata tidak disukai oleh kelompok Erudite. Erudite, yang terdiri dari kaum terpelajar, merasa bahwa dengan menggunakan logika dan pengetahuan mereka dapat membentuk dunia ke dalam bentuk yang lebih baik. Ambisi tersebut dipimpin oleh pemimpin mereka, Jeanine Matthews, yang diperankan oleh Kate Winslet.
Film seri pertama ini akan berkisah mengenai perjalanan awal Tris bergabung dengan Dauntless, bertemu dengan Four, dan bagaimana mereka mencoba untuk menghentikan gerakan Erudite yang ternyata mengendalikan kelompok Dauntless untuk menghancurkan Abnegation. Sepanjang kurang lebih 120 menit, film ini akan membawa penonton kedalam sebuah perjalanan penuh aksi, keberanian, hingga intrik yang sebetulnya mudah ditebak.
Sebagai orang yang baru mendengar dan menyaksikan Divergent, film yang disutradarai Neil Burger ini cukup menarik. Burger cukup baik memperlihatkan suasana kelima faksi modern dengan gaya futuristik yang cukup memukau, sehingga menghilangkan kepenatan untuk berpikir bahwa film ini sebetulnya cukup panjang.
Dari sisi pemilihan pemain, ada beberapa cast yang cukup menarik mata Saya sepanjang film ini. Mulai dari Theo James, Ashley Judd, Kate Winslet, Maggie Q dan Zoe Kravitz yang cukup menampilkan penampilan yang meyakinkan. Sebaliknya, karakter Tris yang diperankan oleh Shailene Woodley, cukup baik tetapi masih kalah heboh dengan Jennifer Lawrence dalam “The Hunger Games.” Yang menarik, usut punya usut, ternyata sosok Jeanine Matthews yang diperankan Kate Winslet selalu memegang file ataupun iPod dalam setiap scene dilakukan dengan tujuan untuk menutupi perut Winslet yang sedang hamil lima bulan.
Musik pengiring dalam film ini juga cukup menyatu dan membantu memberikan suasana yang cukup Saya harapkan. Seluruh musik digubah oleh Junkie XL dan berada dibawah kendali Hans Zimmer, yang sudah tidak perlu diragukan lagi dengan komposisi musiknya. Yang menarik juga di dalam film ini adalah set, terutama The Pit dan kawasan perumahan Abnegation yang dibuat khusus untuk pengambilan gambar film ini.
Secara keseluruhan, menurut saya eksekusi film ini cukup baik, walaupun titik berat cerita yang sebetulnya lebih condong ke unsur perang dan politik. Berbeda halnya dengan dua film pertama seri “The Hunger Games” yang lebih condong pada unsur sadisme dan survival. Entah mengapa Saya jadi membadingkan kedua seri ini yang mungkin karena keduanya sama-sama merupakan adaptasi, dan juga mengambil setting masa yang sama. Setidaknya, menyaksikan “Divergent” akan cukup menghibur serta menyulap imajinasi pemikiran penonton lewat cara pandang lima faksi yang berbeda melalui sudut pandang penceritaan yang sebetulnya standar, namun tetap dinanti kelanjutannya.