Pernakah anda mengamati anak kecil yang sedang belajar meniup balon? Balon ditiup dengan susah payah, lalu ketika berusaha untuk diikat agar tidak keluar, si balon malah terbang dan menghembuskan semua angin dari genggaman si tangan mungil yang tak pandai mengikat. Kasihan ya. Situasi tersebut mungkin sedikit serupa dengan film keenam Pier Paolo Pasolini yang berjudul “Teorema.”

Film buatan tahun 1968 ini akan membawa kita ke sebuah keluarga borjuis, asal Milan, yang terdiri dari Bapak, Ibu, seorang putra dan seorang putri. Sang ayah, Paolo, yang diperankan oleh Massimo Girotti, merupakan pemilik sebuah pabrik. Sedangkan istrinya bernama Lucia, yang diperankan oleh Silvana Mangano, merupakan sosok istri-istri kesepian di film. Lain halnya dengan kedua anak mereka. Putra mereka, Pietro, yang diperankan Andrés José Cruz Soublette, cukup menikmati seni lukis; dan yang terakhir, Odetta, yang diperankan oleh Anne Wiazemsky, sangat menggemari fotografi sekaligus mengagumi ayahnya.

Sebetulnya tidak ada yang begitu janggal dari kondisi awal keluarga ini. Di sebuah kegiatan santap bersama, asisten rumah tangga mereka, Emilia, yang diperankan oleh Laura Betti, membawa kabar untuk Paolo jika mereka akan kedatangan tamu, yang nantinya akan diperankan oleh Terence Stamp.

teorema
Courtesy of Aetos Produzioni Cinematografiche © 1968

Kedatangan ‘tamu’ ini ternyata membawa penonton ke dalam babak baru, saya menyebutnya sebagai ‘pencerahan.’ Disini, keempat anggota keluarga, termasuk Emilia, akan diulas satu per satu, dan bagaimana kehadiran sosok ‘tamu’ memberikan obat yang menyegarkan pemikiran mereka selama ini. Selayaknya menenggak penyegar ketika sedang panas dalam. Saya tidak mau banyak bertutur apa yang terjadi, yang pasti, setiap kehadiran selalu berujung dengan perpisahan. Perpisahan dari ‘tamu’ inilah yang menjadi rentetan derita dari keluarga ini.

511 picture4
Courtesy of Aetos Produzioni Cinematografiche © 1968

Sebagai film pertama Pasolini yang saya tonton full (maaf jika saya masih belum sanggup menyaksikan “Salo”), Ia mengajak penonton untuk masuk ke dalam sebuah kisah yang terkesan sangat misterius. Berkat musik Ennio Morricone yang menggelegar hampir di segala bagian, membawa kesan horor selama menyaksikan, yang ujungnya tidak ada. Dari struktur cerita, apa yang dihadirkan “Teorema” terbilang bisa dibagi ke tiga babak dalam pengamatan saya, yakti kondisi awal, pencerahan dan penghancuran.

Yang lebih menarik, Pasolini tidak membawa penonton ke dalam tontonan penuh dialog. Hanya ada 923 kata yang diucapkan di film ini, jadi Anda akan tahu sendiri bagaimana film ini bekerja. Yap! Bekerja seperti sihir. Adegan demi adegan seperti memaksa saya untuk mencerna dari gerak-gerik detil para pemain, dan mulai memahami apa maksud keinginan mereka, terutama ketika mereka berinteraksi dengan si ‘tamu’ di film ini.

511 picture1
Courtesy of Aetos Produzioni Cinematografiche © 1968

Dari sisi penampilan, ya ada beberapa bagian yang menurut saya janggal. Ada di sebuah adegan, kameramen film ini tertangkap kamera lewat pantulan kaca. Serta, ketika sosok Lucia yang bangun tidur namun mengenakan tampilan full make-up tanpa cela. Terlepas dari itu, saya sangat menikmati peran Laura Betti sebagai Emilia disini. Sosok Emilia begitu misterius, sampai saya terus bertanya relevansi dengan akhir situasinya.

511 picture5
Courtesy of Aetos Produzioni Cinematografiche © 1968

Oh ya, “Teorema” bukanlah film untuk semua kalangan. Anda harus bersiap menikmati suguhan Pasolini yang terbilang selalu kental dengan unsur nudity, terutama toples dan full frontal nudity pria, coming of age sekaligus homoseksualitas. Walaupun tidak seliar yang pernah saya lihat sepintas di “Salo,” film ini sebetulnya masih terbilang sedikit jauh dari alim. Ceritanya memang mungkin mengarah ke seks, namun tidak ada adegan seks yang terasa dikemas frontal di film ini.

511 picture7
Courtesy of Aetos Produzioni Cinematografiche © 1968

Mungkin ini baru perkenalan saya dengan film-film Pasolini. Yang pasti, ekplorasi saya belum akan berhenti disini. Film yang juga masuk ke dalam in competition di Venice Film Festival ini terbilang menarik. Saya terpukau dengan bagaimana modernnya Italia di penghujung 60-an, terutama dengan gerbang rumah mereka yang sudah otomatis, ataupun keberadaan railbus yang terbilang common di Eropa.

“Teorema” cukup berhasil membius saya selama 98 menit, dan memberikan sedikit kesimpulan seperti layaknya makna film ini: jika setiap hal yang terjadi di film ini mungkin dapat berarti benar karena bisa dibuktikan, walaupun tidak sepenuhnya dapat diterima, padahal hampir mayoritas dapat membenarkannya. Akhir kata, “Teorema” menawarkan sebuah suguhan misterius yang minim kata nan kaya ekspresi, yang jarang sekali kita temukan dalam menonton. A little bit mind-blowing!

Teorema (1968)
R, 98 menit
Drama, Mystery
Director: Pier Paolo Pasolini
Writer: Pier Paolo Pasolini
Full Cast: Silvana Mangano, Terence Stamp, Massimo Girotti, Anne Wiazemsky, Laura Betti, Andrés José Cruz Soublette, Ninetto Davoli, Carlo De Mejo, Adele Cambria, Luigi Barbini, Giovanni Ivan Scratuglia, Alfonso Gatto

#511 – Teorema (1968) was last modified: September 25th, 2022 by Bavner Donaldo