Dianggap sebagai salah satu underrated comedy di tahun 2019, “Booksmart” menawarkan sebuah premis orisinal yang sepintas cukup menarik. Cerita tentang dua remaja perempuan yang ingin menghabiskan hari terakhir mereka sebelum masuk ke pendidikan tinggi. Menarik? Mungkin terasa belum jika sampai disini ya. Bagaimana jika saya perjelas menjadi: Dua perempuan ‘alim’ yang ingin menikmati malam menjelang penamatan mereka. Gimana?
Cerita film ini terpusat pada Amy dan Molly, sepasang sababat yang diperankan oleh Kaitlyn Dever dan Beanie Feldstein, yang mungkin tidak tergolong sensasional di angkatan mereka. Molly adalah seorang perempuan ambisius, yang suatu hari bercita-cita bisa menembus sebagai anggota U.S. Supreme Court, yang sekarang punya jabatan seperti ketua angkatan. Sedangkan sahabatnya, Amy adalah lesbian yang sampai sekarang belum berani untuk mengutarakan perasaannya pada seorang perempuan bernama Ryan, yang diperankan oleh Victoria Ruesga.
Demi mendukung kisah cinta sahabatnya sebelum kandas pasca masuk universitas, Molly memberi usul pada Amy agar mereka bisa menemui Ryan di party graduation, yang mungkin siapa tahu bisa berujung dengan kelanjutan keduanya. Celakanya, semasa di high school mereka tidak pernah datang ke satupun party. Aww…
Belum berhenti disitu. Suatu ketika, Molly menangkap basah beberapa teman kelasnya yang membicarakan dirinya. Tak mau kalah, Ia kemudian membanggakan dirinya yang lolos masuk Yale demi menantang teman kelasnya yang Ia anggap mungkin punya Universitas yang lebih rendah daripadanya. Faktanya, teman-temannya tersebut malah ada yang sama-sama lolos di Yale, dan ada juga yang langsung bekerja di Google. Tidak dapat menerima fakta tersebut, sosoknya sebagai perempuan baik-baik terguncang, melihat rekan-rekannya yang jauh lebih santai namun berhasil sebanding dengan apa yang Ia kejar selama ini.
Dari sinilah, Molly memutuskan bahwa Ia yang terlalu fokus dengan ambisinya, dan merasa perlu juga bisa seperti mereka. Tepatnya sekaligus membuktikan diri dan menikmati malam terakhir menuju Graduation-nya bersama Amy. Tanpa persiapan penuh, keduanya langsung beraksi menuju rumah Nick, setelah reaktif melihat beberapa video dan postingan seru dari media sosial. Yang memperparah, mereka tidak tahu rumah Nick dimana.
Sejatinya, “Booksmart” terasa bercerita bagaimana anak-anak yang ngga gaul mencoba menjadi anak-anak gaul. Atau tepatnya, ketika yang non-mainstream mau berlagak sok mainstream. Komedi ini terasa dianggap dikemas begitu serius, terlihat dari bagaimana butuhnya empat penulis perempuan turun tangan dalam ceritanya. Alhasil, kisah yang dikemas oleh perempuan dan dari sudut pandang feminim, tanpa ada campur tangan pria, memperlihatkan hasil yang memang sangat heboh: komedi drama yang terasa berlebihan dengan kombinasi hampir semua penokohan di dalamnya yang cukup lebay.
Tidak bermaksud men-judge para perempuan, namun apa yang dirangkai oleh “Booksmart” mungkin tidak terasa seperti yang akan Anda saksikan pada US teen sex comedy lainnya, misalnya yang paling terkenal adalah franchise “American Pie.” Film ini benar-benar akan membawa kondisi yang menurut saya cukup amat jauh dan kebetulan dari realita. Quite extraordinary.
But, what was fun from the story is about friendship and determination. Saya menikmati bagaimana “Booksmart” mengulas bagaimana hubungan Molly dan Amy yang saling mendukung. Terutama bagaimana mereka terasa ‘biasa’ dan menikmati ketika dicurigai sebagai pasangan lesbian, padahal Molly sebetulnya terbilang heteroseksual. Masalah determinasi tentang pilihan hidup dan aspirasi karir juga menarik dibahas di film ini. Film ini menyentil jikalau kehidupan juga membutuhkan keseimbangan, seperti mematahkan fakta segelintir orang yang super ambisius namun berujung sama dengan orang yang menikmati kehidupan mereka.
Menariknya, mungkin film ini akan cukup mengena bila Anda memang bukan anak gaul semasa SMA. Saya cukup terkejut ketika Molly dan Amy baru pertama kalinya menyaksikan film porno, ataupun ketika Molly menceritakan pengalaman masturbasinya dengan sikat gigi elektrik. Hahaha… Keluguan keduanya yang sebetulnya pintar, menjadi bumbu cerita yang berhasik diatur cerdik oleh keempat penulis ceritanya. Voila! Anda akan menikmati cerita perjalanan satu malam yang penuh canda tawa, kebodohan, dan keliaran anak muda.
Dari durasi yang ditawarkan, film ini terbilang masih dalam kadar yang pas. Tidak terlalu panjang, walaupun ketika sudah masuk di menit 45, saya sudah merasa cukup bosan dengan film ini. “Booksmart” masih berhasil membuat saya tertawa, dan semakin mendekati akhir semakin disadari bahwa film ini sepertinya memang sengaja dikemas begitu luar biasa dari kenyataannya untuk menjadi spesial. Semakin weird, mungkin akan semakin bagus. Alhasil, ini tetap bukanlah film untuk semua.
Yang amat disayangkan di film ini hanya satu: pemilihan karakter dan pemainnya. Yang terbenam dalam benak saya ketika film ini menghadirkan sosok-sosok potensi love interest para pemainnya, perawakan para pemainnya tidak ada sama sekali yang outstanding. Jika ada, mungkin hanya satu, itupun adalah karakter Hope yang diperankan oleh Diana Silvers. Sisanya, agak cukup disayangkan, tidak seperti stereotype film-film populer. Tapi saya kembali mencoba untuk positive thinking: “Yah, namanya juga selera orang. Tetap relatif.”
Dari eksekusi cerita, Olivia Wilde patut untuk diapresiasi. Menyajikan “Booksmart” lewat yang bertubi-tubi dengan keapesan tak henti, dan bereksperimen untuk memasang standard baru untuk US sex teen comedy (yang sayangnya masih kurang di pasar), juga bukan hal yang mudah. Wilde perlu membuat film sejenis untuk menggantikan arah komedi Hollywood yang mulai membosankan dua dekade terakhir ini.
Bagi saya, personally, “Booksmart” terbilang masih sebatas rata-rata. Mengingat bukan yang bisa dicerna oleh semua pihak, saya masih merasa film ini berada di level ‘rekomendasi ragu,’ yang bisa jadi failed sekali atau sebaliknya. Film ini terasa begitu kontras dengan “Dead Poets Society” yang jauh lebih maskulin, alim dan inspiratif.
Saya malah membayangkan apakah Wilde berencana juga untuk mengemas “Dead Poets Society” namun dengan dominasi cerita dari dunia laki-laki, yang merupakan kebalikan dari film ini. Kayaknya akan jauh lebih wild, weird, funnier but less drama! Stop berimajinasi. Paling tidak, “Booksmart” masih berhasil mengocok perut saya dengan adegan-adegan jenaka mereka dan dialog-dialog eksplisit mereka yang kadang menggelikan. Average funny!