Sungguh disayangkan ketika menyadari bahwa ini merupakan film debut sekaligus yang terakhir bagi Hu Bo, creator film ini. Sehabis menyelesaikan film ini, tak lama Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Yang menjadi sensasi bukan karena aksi bunuh dirinya, tetapi bagaimana Ia memfilmkan salah satu cerita yang sebetulnya berasal dari karya novel pertamanya. “An Elephant Sitting Still,” yang merupakan judul versi literasi Inggris, akan membawa penonton menikmati cerita seharian penuh dari 4 korban keegoisan.
Alkisah, di Tiongkok ada sebuah kota bernama Manzhouli. Disana terdapat seekor gajah yang hanya duduk dan menghiraukan dunia. Saking berkesannya, ini menginspirasi keempat tokoh protagonist film ini, untuk pergi ke sana. But wait. Film ini tidak akan bercerita tentang bagaimana keempat tokoh kita akan berangkat ke Manzhouli, namun akan membawa penonton ke dalam ekplorasi kisah setiap individual sekaligus bagaimana akhirnya cerita dikaitkan satu dengan yang lainnya.
Tokoh pertama kita adalah Wei Bu, diperankan oleh Peng Yuchang, yang merupakan seorang pelajar yang kurang bahagia. Kondisi yang tidak akur dengan sang ayah yang pincang, sampai tidak mau melawan segala perlawanan dihadapannya sudah jadi makanan sehari-hari baginya. Begitupula yang dialami oleh Huang Ling, rekan Wei Bu yang diperankan oleh Wang Yuwen. Cukup berbeda, namun Huang Ling punya kondisi yang kurang harmonis dengan sang Ibu. Ketidakharmonisan ini berdampak dengan Huang Ling yang mulai menghiraukan pertemanan dan menghibur diri dengan caranya sendiri.
Tidak hanya kisah para pelajar. Hu Bo juga menghadirkan sosok senior dari karakter Wang Jin, yang diperankan oleh Liu Congxi. Kakek bercucu satu ini sedang dihadapkan pada kondisi yang cukup tidak mengenakkan. Ia “dipaksa” keluar oleh sang anak dan menantunya dari apartemennya sendiri, dikarenakan pembiayaan Pendidikan yang lebih baik untuk sang cucu. Ia berada dalam ancaman dipindah ke sebuah panti jompo. Terakhir, penonton akan berkenalan dengan Yu Cheng, sosok paling bajingan di film ini yang diperankan oleh Zhang Yu. Berbeda dengan karakter lainnya, Yu Cheng punya masalah pribadi. Pelampiasan untuk meniduri istri dari sahabatnya ternyata malah memperkeruh kehidupannya.
Bila anda pernah menyaksikan karya Alfonso Cuaron yang berjudul “Roma,” apa yang dihadirkan “An Elephant Sitting Still” adalah beberapa kalinya. Bukan dari sisi teknisnya, namun dari cerita yang ditawarkan. Tidak lebih kaya, namun lebih banyak dari ukuran protagonist utamanya. Tidak heran, penonton perlu hampir 4 jam untuk menuntaskan ceritanya. Durasi yang terlalu berat buat saya, sampai perlu memecah jadi 2 bagian saat menyaksikannya.
Menariknya, film ini sangat mengandalkan penggunaan single tracking camera, dengan durasi adegan yang cukup panjang. Penonton dipaksa menikmati banyak adegan lambat, yang kebanyakan hening, seperti misal ketika kamera mengikuti karakter kita berjalan turun keluar dari apartemennya sampai berlanjut ke jalan. Penggunaan ini juga berimbas pada bagaimana penonton yang tidak dapat menangkap penceritaannya secara utuh. Sebab, Hu Bo sangat terfokus untuk memberi kesan kelam dan gelap yang begitu kental pada shot-shotnya.
Sebagai penonton, Anda akan memiliki banyak keterbatasan untuk melihat cerita. Selayaknya sosok yang dihadirkan, namun tidak dapat melihat jauh dari apa yang dilihat. Misalnya, ketika terjadi sesuatu di depan karakter, penonton tidak akan diperlihatkan, sebab kamera akan selalu terfokus pada karakter. Pembatasan ini cukup bekerja untuk tidak terlalu eksplisit dengan jalan cerita yang dikemas dengan sangat lambat. Alhasil, ini jadi pemancing rasa keingintahuan buat saya sepanjang menonton.
Yang saya sukai juga, transisi antar adegan disini dikemas cukup natural. Apalagi ketika posisi kamera yang berjalan sendiri untuk masuk ke adegan berikutnya, seperti yang sering digunakan Iñárritu dalam “Birdman.” Baiknya, film ini bisa benar-benar mentransfer segala emosi yang dihadirkan oleh para pemerannya. Tentu ini tidak lepas dari performa keempat protagonisnya yang terbilang cukup menonjol, terutama Peng Yuchang dan Wang Yuwen. Sayangnya, mengingat durasi yang cukup panjang, film ini terasa terlalu mengenyangkan. Bayangkan saja, untuk masuk ke opening title-nya, butuh waktu 15 menit untuk kesana. Damn! Oh iya, latar musik yang digubah Hua Lun terbilang jarang dikeluarkan dalam penceritaan. Cuma, sekalinya hadir, musik tersebut berhasil menambah emosi yang berat untuk cerita masing-masing protagonisnya.
Bicara prestasi, film yang dirilis pada Berlin International Film Festival ini, cukup berhasil di negerinya. Sama seperti novelnya yang cukup menjadi sensasi, “An Elephant Sitting Still” juga meraih Best Feature Film di ajang Golden Horse, yang merupakan Academy Awards versi China.
Simpulan saya, jika anda punya waktu banyak, “An Elephant Sitting Still” lumayan cocok untuk menghabiskan waktu. Saya menikmati bagaimana keempat protagonisnya masih mencari harapan dari kondisi terendah mereka, dan siap untuk kembali menatap dunia mereka masing-masing. Karya pertama sekaligus terakhir yang penuh dengan penjiwaan. Exceptional!