Dalam sejarah film Indonesia, hanya satu film yang terbilang berhasil masuk ke dalam shortlist Top 40 nominasi foreign language film. Film itu berjudul “Ca Bau Kan,” yang merupakan sebuah adaptasi dari novel sastra karangan Remy Sylado. Ca bau kan sendiri merupakan kata yang berasal dari bahasa Hokkian yang bermakna ‘perempuan.’ Seperti makna judulnya, penonton akan digiring mengikuti memori kehidupan dan cerita cinta seorang perempuan bernama Tinung.
Siti Nurhayati atau yang kerap dipanggil Tinung, yang diperankan oleh Lola Amaria, merupakan gadis sederhana yang hidup di tanah Betawi. Ia menikah muda, mengandung dan ditinggal mati oleh sang suami. Kondisi ini kemudian membawanya ke sebuah keputusasaan. Hingga suatu ketika, bibinya yang bernama Saodah, diperankan oleh Lulu Dewayanti, mengajaknya untuk menjajakan dirinya daripada hanya diam bermalas-malasan. Saban malam, Tinung akan menjual dirinya di Kalijodo, dan memuaskan pelanggannya didalam sebuah perahu kayu. Tak lama, Ia menjadi salah satu gadis terpopuler sampai seorang cukong memutuskan untuk membawanya. Malang lagi, ketika Ia sudah hamil, cukong tersebut mendapat serangan musuh dan membuat Tinung kabur menyelamatkan dirinya.
Dalam kondisi hamil besar, Tinung kembali ke rumahnya. Kali ini bibinya memperkenalkan dirinya pada seorang pelatih tari bernama Nyoo Tek Hong, yang diperankan oleh Chossy Latu. Ia bersama bibinya kemudian menjadi penghibur di acara-acara rakyat. Dalam sebuah kesempatan, seorang saudagar dari Semarang bernama Tan Peng Liang, yang diperankan oleh Ferry Salim. Terlalu mudah untuk seorang Tan Pen Liang untuk jatuh hati pada Tinung. Tinung pun dibawa ke Semarang, menjadi istri mudanya, dan diperkenalkan dengan keluarganya. Disinilah kisah Tinung dan Tan Peng Liang berawal.
Cerita film ini diadaptasi oleh Nia DiNata dan Puguh PS Admaja dari 414 halaman kisah roman “Ca Bau Kan” karangan Remy Sylado. Saya sendiri sempat membaca buku ini walaupun tidak sempat selesai. Film yang berdurasi 119 menit kemudian akan membawa penonton mengikuti kisah cinta yang berlangsung beberapa periode, dari jaman kolonial, kependudukan Jepang, sampai orde lama.
Ngomongin ceritanya, film ini tidak bicara melulu tentang cinta, cinta, dan cinta. Tidak seperti film kekinian. Ada banyak kombinasi cerita yang dipadukan. Mulai dari intrik kekuasaan sesama pedagang Tionghoa, politik dengan pemerintah Belanda, sampai usaha merebut kemerdekaan. Untuk film jaman tersebut, produksi artistik set yang dirancang Iri Supit terbilang cukup oke, apalagi dengan penggambaran antar periode yang dikemas cukup serius.
Sebetulnya, film ini adalah cerita flashback yang dituturkan oleh putri Tinung, bernama Giok Lan, yang diperankan oleh Niniek L. Karim. Giok Lan, yang tumbuh besar di Belanda, mengunjungi tanah airnya untuk memburu para pendosa, sekaligus mengenang kehidupan orangtuanya. Lewat narasi-narasi Giok Lan-lah penonton akan mengikuti ceritanya.
Apa yang saya sukai dari “Ca Bau Kan” adalah proses adaptasi film ini. Tentu suatu tantangan untuk mengadaptasi karangan Remy Sylado yang kaya akan detil dan istilah-istilahnya. Belum lagi, bagaimana film ini memberikan sudut pandang akan keberadaan kaum Tionghoa saat itu di tanah Sunda Kelapa. Sungguh menarik!
Dari segi penampilan, Lola Amaria tampil begitu menarik walaupun sebagai karakter utama Ia tidak terlalu mendominasi ceritanya. Sosok Tan Peng Lianglah yang sebetulnya memainkan ceritanya. Karisma Ferry Salim di film ini terbilang berhasil menyatu dengan bagaimana Tinung memikat karakter-karakter lain di film ini. Apalagi ketika Tinung mulai jatuh cinta pada Tan Peng Liang. Mengutip katanya: “Emang cinte bisa ditaker. Kayaknye, cinte sih cuma bisa cinte doang. Cinte nyang bener kagak kenal gede apa kecil. Takaran bisa bikin cinte jadi dua. Dua bikin permusuhan. Permusuhan bikin kelahi.”
Kalau dari supporting-nya, penampilan Irgi Fahrezi sebagai Tan Soen Bie yang paling tidak diduga. Sebagai tangan kanan Tan Peng Liang, sekaligus tukang pukulnya, Irgi berhasil keluar dari zona ketidaknyamanannya. Selain itu, Robby Tumewu yang berperan sebagai Thio Boen Hiap, karakter antagonis di film ini, juga cukup tampil ngeselin.
Overall, “Ca Bau Kan” berhasil membawa kita ke masa tempo dulu, terutama bagaimana menghadirkan kombinasi budaya Betawi dan Tionghoa yang cukup kental didalamnya. Apalagi ketika film ini membawa penonton untuk bersentuhan kembali dengan sejarah tanah air lewat cerita cinta dan kehidupan seorang Tinung. Tinung si Ca Bau Kan. Well done!