Apakah mudah untuk berpura-pura? Buat saya jawabannya tergantung. Yang pasti, akan ada waktunya anda akan merasa ‘lelah’ untuk menutupinya. Inilah yang coba dihadirkan dari film distribusi teranyar dari Wolfe Releasing. “Mario” menghadirkan cerita determinasi karakter utamanya dalam memilih cinta atau karir.
Mario Lüthi, diperankan oleh Max Hubacher, merupakan seorang penyerang U-21 dari sebuah kesebelasan lokal, BBC Young Boys. Menjelang musim yang baru, klub bola tempat Ia bernaung mengambil seorang pemain asing dari Hannover FC bernama Leon Saldo, yang diperankan oleh Aaron Altaras. Kehadiran Leon ternyata merupakan sedikit ancaman, sebab Ia berasal dari klub yang lebih besar dan Ia juga merupakan seorang striker. Sedangkan pada saat itu Young Boys hanya mengunggulkan satu orang penyerang saja. Ini memberi pertambahan persaingan bagi para pesepakbola dengan posisi tersebut, termasuk Mario.
Akan tetapi, penampilan Mario cukup baik. Ia dibidik oleh manajemen dan mendapat sebuah fasilitas baru: Apartemen. Cuma, Ia akan tinggal bersama Leon, yang bukan penduduk lokal. Tim manajemen yakin Ia dapat mengurangi waktunya menaiki bis dan lebih banyak berfokus pada latihannya. Mungkin juga demi membangun chemistry dengan Leon, yang kala itu saingannya. Permainan Mario dan Leon ternyata semakin membaik. Di lapangan mereka cukup kompak sampai-sampai membuat klubnya mengubah strategi untuk mengandalkan keduanya.
Ketika keduanya hidup bersama, mereka cukup banyak menghabiskan waktu selain kegiatan latihan. Terutama Leon, yang kemudian berkenalan dengan Daniel Lüthi, ayah Mario yang diperankan Jürg Plüss, ataupun Jenny Odermatt, sahabat perempuan Mario yang diperankan Jessy Moravec. Ternyata, Leon selama ini menyimpan perasaan pada Mario dan membawa masuk penonton ke dalam kisah Mario.
Untuk ukuran drama, film yang berdurasi 124 menit ini cukup dalam saat membahas kehidupan pesepakbola. Mulai dari persoalan dengan agent, pelatih, ataupun aksi-aksi latihan para pemain di lapangan. Cukup menarik ketika film ini banyak menampilkan suasana yang jarang penikmat bola saksikan. Misalnya bagaimana interaksi para pemain di ruang ganti pemain, ataupun saat sang pelatih sedang memberikan arahan.
Kalau dari alur ceritanya, bagian pengenalan di awal film terasa cukup panjang. Perlu seperempat bagian sendiri dari film ini untuk menceritakannya. Namun, saat cerita berlanjut, apa yang ditawarkan film ini tidak terlalu complicated. Ceritanya cukup terfokus dengan sedikit karakter.
Salah satu poin membuat cerita di film ini cukup menarik, Mario tidak dapat menjelaskan seksualitasnya. He’s still undecided. Berbeda dengan love interest di film ini yang memang openly gay. Yang lebih menarik lagi adalah ketika pandangan Ibu Mario ataupun Jenny di film ini. Keduanya seperti menggambarkan jika perempuan cenderung lebih bertoleransi, apalagi jika sudah menyangkut perasaan. Ini cukup bertentangan dengan karakter-karakter maskulin di film ini yang secara tegas berlawanan, termasuk ayah Mario.
“Mario” mungkin tidak sebaik “The Circle,” film sejenis yang juga sama-sama dari Swiss. Di negara asalnya, film ini berhasil merebut penghargaan akting terbaik untuk Max Hubacher dan Jessy Moravec pada Swiss Film Prize. Yah, keduanya memang cukup meyakinkan. Apalagi penampilan Hubacher yang sedari awal sudah menggambarkan karakternya yang cukup kuat. Kalau Moravec, berperan sebagai Jenny cukup berhasil memperlihatkan kedekatannya keduanya sebagai sahabat sejati.
“Mario” terbilang menawan sebagai sebuah drama olahraga. Penyajian cerita terasa cukup matang dan tidak terlalu berlebihan. Film ini cukup berhasil memperlihatkan potret homoseksualitas yang masih tabu di kalangan olahraga maskulin seperti sepakbola. Nah, balik lagi dengan hal berpura-pura. Film ini kembali mengkonfirmasi jika berpura-pura adalah sebuah hal yang melelahkan. Jadi, masihkah perlu kita untuk berpura-pura?
Thanks to Wolfe Releasing dan Brigade Marketing for providing the film screeners. Mario available on digital platforms since October 30.