Kehidupan masyarakat rimba di Indonesia ternyata masih ada. Terbukti, perjuangan Butet Manurung dalam mendidik anak-anak rimba di pedalaman Jambi telah diakui oleh mata internasional. Kali ini, Miles Films kembali menghadirkan tontonan semua umur, lewat “Sokola Rimba,” dengan menitikberatkan pada kehidupan Saur Marlina ‘Butet’ Manurung yang begitu menginspirasi.
Dengan latar runtuhnya orde baru, Butet, diperankan oleh Prisia Nasution, memulai perjalanan kariernya sebagai seorang pengajar di sebuah LSM di Jambi. Ia menjalani kesehariannya dengan masuk ke pedalaman, tepatnya di Taman Nasional Bukit Dua Belas. Disana, masih ada orang-orang rimba yang hidup berkelompok kecil, yang mendiami tempat secara berpindah-pindah.
Suatu ketika, Butet jatuh sakit. Ia terkapar di dalam hutan. Ajaibnya, tiba-tiba Ia sudah terbangun di kelompok Hulu Sungai Makekal. Ia ingat ada seorang anak rimba yang tak dikenalinya melihatnya terjatuh. Disaat Butet kembali menjalani rutinitasnya mengajar, sosok anak rimba tersebut seakan datang secara diam-diam. Ia akhirnya Butet pun mengenali anak ini. Putra rimba ini bernama Nyungsang Bungo, yang diperankan oleh karakternya aslinya.
Ternyata kehadiran Bungo memiliki maksud tersendiri. Ia ingin belajar pada Butet. Antusiasnya yang besar kemudian menantang Butet untuk semakin jauh mengeksplorasi kelompok Rimba. Sampai akhirnya, Butet nekat untuk mencoba menjalin hubungan dengan kelompok Hilir Tumenggung, kelompok dimana Bungo bernaung. Ternyata, ini semua tidak seindah dan semudah yang kita bayangkan.
Tanpa sengaja saya memiliki “Sokola Rimba” sebagai tontonan saya. Tanpa memberikan ekspektasi yang besar, apa yang dihadirkan Riri Riza dalam film ini terasa jelas. Riza menghadirkan suasana yang akan membawa penonton seperti itu berada dalam adegan-adegan reka ulang perjalanan Butet di dalam hutan Bukit Dua Belas.
Film yang ditulisnya dengan Bahasa Indonesia, dan kemudian disesuaikan dengan logat dan aksen setempat, walau terasa asing, tapi tetap terasa cukup bekerja. Penonton akan bisa menyaksikan bagaimana orang rimba yang hidup berkelompok punya gaya tersendiri. Mereka tidak mudah untuk dikenali, dan punya cara khusus untuk dapat berinteraksi. Begitupun dengan cara pandang mereka yang unik. Menjadi rimba ternyata adalah sebuah pilihan, pilihan untuk menjaga tradisi dari semua bagian dunia yang sudah tidak murni. Dalam pandangan saya, seperti menjaga kesucian bumi dengan hidup bersahabat dengan alam.
Bicara alurnya, kisah yang diadaptasi dari buku karangan Butet Manurung ini, cukup menghadirkan banyak segmen yang menggugah saya, seperti keindahan alam bumi Indonesia yang terekam, serta the beauty from the jungle. Melihat anak-anak rimba bermain dengan bebas, tetapi juga merasa terusik dengan kehadiran pembalak liar juga jadi sebuah hal yang menyedihkan. Sungguh miris ketika kelompok marjinal yang terbelakang ini mudah dibodohi karena cara mereka untuk mempertahankan tradisi. Yang menarik juga, dari sisi pandang makhluk modern, pendidikan terbilang sebagai sebuah alat yang dapat meningkatkan taraf hidup seseorang. Ini berbanding terbalik, buat orang rimba pendidikan malah akan mengundang penyakit.
Yang saya salut disini Riza menghadirkan para pemain yang merupakan suku asli. Tentu ini merupakan sebuah tantangan yang berhasil dibanding menggunakan talent yang nantinya malah bisa terkesan agak dipaksakan. Tapi disini, suasananya terasa begitu natural. Apalagi penampilan Prisia Nasution yang terasa cukup oke untuk berbahasa daerah setempat dari pandangan orang Indonesia yang tidak paham dengan bahasa tersebut.
Film yang berdurasi satu setengah jam cukup akan membuat kedua mata kita terbelalak, bahwa peristiwa ini ada di jaman Indonesia modern, dan masih ada orang-orang Indonesia yang hidup dengan cara ini. Perjalanan Butet Manurung dalam mendidik anak rimba di Jambi adalah sebuah kerja keras yang tidak berbuah dengan instan, tetapi juga perlu waktu untuk meluluhkan dan membangun kepercayaan. “Sokola Rimba” terbilang lumayan mengeksekusi pengalaman Butet walaupun sayangnya kurang berhasil berkesan untuk waktu yang lama.