Perlu diakui, dunia sudah semakin padat. Perkembangan jumlah populasi manusia yang diiringi dengan pertumbuhan industri yang memicu pengurangan area hijau, berhasil mempercepat proses pemanasan global. Melalui “Downsizing,” Alexander Payne akan mengajak penonton mengikuti sebuah cerita akan usaha untuk menyelamatkan bumi dengan memperpanjang peluang kehidupan manusia dengan memperkecil diri. Lho, kok bisa?
Cerita diawali dengan keberhasilan seorang professor asal Norwegia bernama Dr. Jorgen Asbjørnsen, yang diperankan oleh Rolf Lassgård, yang menemukan sebuah cairan untuk mengecilkan specimennya. Ia pun kemudian menjadi center of the attention di sebuah konferensi ilmiah. Ternyata, penemuan ini menjadi heboh sedunia. Apalagi ketika Asbjørnsen memperlihatkan kelompok sukarelawan yang ikut serta dalam eksperimen berani ini.
10 tahun kemudian, penonton akan berkenalan dengan Paul Safranek, seorang occupational therapist asal Omaha yang tertarik dengan penemuan ini. Sudah bukan menjadi sebuah fenomena, melakukan downsizing memancing banyak peluang baru. Rumah mewah, kehidupan yang baru, serta menjadi sepuluh kali lebih kaya dari saat ini. Ia pun mengajak istrinya, Audrey Safranek, yang diperankan oleh Kirsten Wiig untuk ikut serta demi kehidupan yang lebih baik.
“Downsizing” merupakan sebuah flop. Salah satu andalan Paramount di awards season kemarin memang tidak berhasil mencuri perhatian. Mungkin hanya penampilan Hong Chau saja yang berperan sebagai Ngoc Lac Tran, yang meraih sebuah nominasi Golden Globe untuk Best Supporting Actress. Sisanya, SURAM.
Alur cerita “Downsizing” terasa maju, dan dapat dipilah ke dalam beberapa babak besar. Pertama, Introduction, lalu Meet the Safranek, Leisureland, dan yang terakhir: Norway. Kisah yang dikarang oleh Alexander Payne dan Jim Taylor ini terasa cukup gagal. Mengapa? Saya merasa kesan abstrak pada alurnya membuat penonton akan berkomentar ‘What the hell is going on…’ Cerita film ini terasa mengalir, tapi terlalu bebas. Anda tidak akan menyangka dengan kelanjutan kisah Safranek, yang ketika semakin digali malah terasa semakin membosankan.
Ada yang bilang jika ketika Hong Chau masuk di dalam film ini, Ia adalah superstar di dalamnya. Mungkin. Penampilan Matt Damon memang terasa so-so, begitupun ketika sosok Christopher Waltz yang flamboyan nan kaya raya masuk ke cerita. Saat Ngoc Lan Tran mulai ada di adegan, karakter ini seakan menyetir arah cerita akan bermuara kemana.
Bagian yang paling saya sukai disini adalah adegan downsizing. Menyaksikan adegan ini membuat saya teringat sedikit dengan cara Kubrick dalam “2001: A Space Odyssey” dalma menghidupkan kesan sci-fi. Sayangnya, saya merasa ada banyak goofs dimana-mana. Seperti jumlah yang tiba-tiba tidak konsisten, sampai saat pertemuan seorang suster dengan rekan-rekan kerdilnya yang terasa sebagai permainan penuh efek.
Awalnya, saya mengira kalau kisah film ini akan menggali kehidupan para manusia downsizing, termasuk implikasi lainnya seperti hak politik, ekonomi, ataupun kehidupan mereka. Sayang, itu cuma dibahas dalam beberapa dialog yang dibiarkan begitu saja. Begitupun dengan kehidupan Safranek yang terlalu singkat untuk diselesaikan dan berlanjut dengan babak cerita yang baru.
Berdurasi lebih dari dua jam, “Downsizing” terasa begitu panjang dan membosankan. Mood meter saya meningkat tajam di awal dan turun tajam juga setelah bagian Leisureland dan stabil bersabar hingga akhir. Well, I’m quite dissappointed.