Oktober lalu, Palari Films merilis film produksi pertama mereka yang berjudul “Posesif.” Edwin, yang telah dikenal lewat “Postcards From the Zoo” ataupun “Blind Pigs Who Wants to Fly” menyutradarai film ini, sebagai film mainstream pertamanya. Lewat “Posesif” penonton akan menyaksikan perjalanan sepasang kekasih, Lala dan Yudhis.
Lala, diperankan oleh Putri Marino, adalah seorang atlit loncat indah yang prestatif. Setelah berhasil meraih perunggu dari sebuah kompetisi, Ia kembali bersekolah. Di sekolah ternyata ada kehadiran siswa baru yang ganteng bernama Yudhis, yang diperankan oleh Adipati Dolken. Awalnya, Lala tidak pernah melihat sosok Yudhis. Ia hanya mendengar cerita dari sahabatnya yang jago jadi mak comblang, Ega, yang diperankan oleh Griselda Agatha. Sampai suatu ketika, pertemuan mereka menjadi kelewat berkesan.
Di kala Lala sedang mengerjakan ujiannya seorang diri di ruang guru, diam-diam Yudhis menyelinap masuk untuk mengambil kembali sepatunya yang disita. Tetapi, semua berakhir berbeda. Keduanya yang lagi berbincang, malah ketahuan sama si guru olahraga yang killer. Keduanya pun dihukum dengan berjalan berbarengan sambil diikat dengan tali sepatu yang sama. Semenjak itu, Yudhis mulai tertarik dan mengajak Lala untuk bertemu. Disinilah kisah dimulai.
Edwin menghadirkan sentuhan-sentuhan artistik sejak dari awal. Ketertarikan saya langsung memuncak sejak opening title ditayangkan. Juga bagaimana Ia bisa menonjolkan adegan-adegan loncat indah dan di dalam air dengan menarik. Salut juga untuk Batara Goempar Siagian yang berhasil menyajikan banyak adegan yang menjadi momen berkesan. Begitu juga dengan naskah film ini yang digarap oleh Gina S. Noer. Gina berhasil mengemas ceritanya dengan pengembangan cerita yang terasa sederhana, tapi matang. Plot film ini seakan-akan membuat kita terus bertanya dan menebak jalan ceritanya.
Untuk ukuran sebuah debut, Putri Marino membuktikan kalau Ia tidak hanya berbakat sebagai presenter acara adventure saja, tetapi juga berakting. Saya menyukai bagaimana cara Putri yang memerankan Lala berusaha untuk menentukan determinasinya. Begitupun dengan Adipati Dolken. So far, ini merupakan penampilan terbaiknya dari beberapa film yang Ia perankan yang pernah Saya tonton. Memerankan sosok Yudhis yang tampan dan juga posesif, serta mampu menghalalkan segala cara, akan sedikti cukup mencekam. Chemistry keduanya sungguh meyakinkan. Tidak hanya adegan-adegan manis semata, penonton juga merasakan bagaimana emosi mencekam berhasil dihadirkan dari kesan teror yang dibuat Yudhis.
Bicara pendukungnya, karakter yang paling saya sukai adalah Ibu Yudhis yang diperankan oleh Cut Mini Theo. Mungkin sudah tidak asing di telinga kita, kalau aktris “Laskar Pelangi” ini memang sangat piawai dengan kemampuan aktingnya. Walaupun hadir tidak dengan scene yang banyak, karakter Ibu Yudhis adalah karakter pendukung yang berhasil ditampilkan dengan sangat cemerlang.
Musik pendukung juga berhasil jadi moodmaker buat penonton. Edwin berhasil mengawinkan lagu-lagu soundtrack-nya dengan adegan-adegan film ini. Seperti musik Dipha Barus dan Kallula dengan ‘No One Can Stop Us’ yang membawa kesan bersemangat, sampai penonton akan ikut terhanyut dengan alunan Matter Halo yang dinyanyikan Nadin dengan judul ‘Teralih.’ Puncaknya, ‘Sampai Jadi Debu’ milik Banda Neira pun diusung jadi salah satu musik penutup yang menutup kisah dengan penuh haru.
Banyak momen menarik yang saya temukan. Sampai-sampai saya masih ingin menyaksikan film ini beberapa kali. Ini merupakan salah satu film terbaik Indonesia sepanjang 2017, dan jadi salah satu favorit film Indonesia sepanjang masa versi saya. “Posesif” mampu bercerita dengan sederhana, membuat kita bertanya kembali dengan artinya, sampai akhirnya kita akan terbawa dan hanyut akan kisahnya. It’s an instant classic!