Di awal tahun 2018, perfilman negeri kita patut berbangga. Kamila Andini dengan “Sekala Niskala” berhasil meraih Grand Prix untuk Generation Kplus section, sebuah prestasi pertama Indonesia di ajang Berlinale. Satu lagi karya anak bangsa berhasil meraih pretasi di kancah internasional. Awesome!
Film ini menceritakan tentang sepasang kembar ‘buncing’, Tantra dan Tantri, yang hidup sederhana di sebuah pedesaan di Bali. Seperti pada makna ‘buncing,’ keduanya diartikan sebagai kesatuan yang saling melengkapi. Begitu juga dengan bagaimana mereka menikmati telur curian Tantra. Tantri akan menggoreng dan menyantap putihnya, sedangkan Tantra akan menyiapkan nasi dan menyantap kuningnya.
Film ini diawali dengan shot yang diambil dari sudut belakang sebuah kamar pasien. Seorang suster, yang diperankan oleh Happy Salma, muncul dan seakan bersiap untuk menyambut pasien baru ruangan tersebut. Betul. Serombongan suster dengan keluarga menggiring anak lelaki yang terbaring tak berdaya ke ruangan peristirahatannya. Dia ternyata adalah Tantra. Sedangkan Tantri hanya berada di depan pintu kamar, sambil meremas telur ayam mentah yang dipegangnya hingga pecah.
Menghadiri gala premiere 26 Februari lalu, Andini membuka presentasinya dengan cerita bagaimana projek film yang ditelah digarapnya selama 6 tahun terbayarkan. Begitu juga dengan kehadiran cast dan crew yang menggunakan busana tradisional ala pulau dewata. “Sekala Niskala” sendiri diangkat dari filosofi yang dipercayai orang Bali, jika hidup adalah keseimbangan dengan hal yang tak terlihat dan terlihat. Andini kemudian memadukannya dengan mitos Tantri serta kembar buncing, yang pada akhirnya mencoba mempertanyakan kembali akan realisme di dalam kehidupan kita.
Dalam film ini, ada banyak simbolisasi yang digunakan sepanjang cerita. Anda akan menyadari bagaimana Bulan menjadi salah satu objek vital dalam film ini, yang akan memancari malam sunyi Tantri dan menghidupkan Tantra. Ataupun luapan-luapan emosi Tantri yang meletus dengan kreatifnya. Yang pasti, penonton harus siap dengan dunia imajinasi Tantri.
Andini menyajikan ceritanya dalam bentuk dua versi. Versi pertama adalah yang terlihat. Sedangkan versi kedua adalah yang tidak terlihat. Ini akan terlihat jelas dengan filter shot yang punya sedikit warna jingga menyala di kedua sudut bawah. Buat saya, saya malah lebih jatuh hati dengan versi yang tidak terlihat. Dalam bentuk yang tidak nyata, Tantri akan membuat penonton untuk terfokus dengan tariannya, hantu-hantu anak kecil, sampai nyanyian-nyanyiannya.
Sebuah langkah berani untuk Kamila Andini dan Anggi Frisca Dance yang berani bermain dalam gelap. Akan ada banyak scene gelap yang hanya mengandalkan terang dari langit malam. Ini membuat anda untuk sedikit ekstra menyaksikan dengan jeli. Begitupun dengan cara keduanya untuk menampilkan rangkaian adegan-adegan sinematik nan magis yang masih terngiang dalam benak saya. Mulai dari saat kamera yang mengikuti Tantri yang mencari Tantra, Tantri yang menari di bawah sinar bulan, hingga bagaimana film ini ditutup. Yang agak sedikit saya sayangkan, ketika menyaksikan dengan seksama, editan gambar bulan di film ini ada beberapa yang tampil tidak rapi potongannya. Begitupun dengan kamera yang kadang bergoyang saat dalam scene yang diam.
Seperti produksi Fourcolours Film lainnya, film ini mengandalkan bahasa daerah untuk dialognya. Kali ini giliran Bahasa Bali. Ini membuat penonton seperti saya akan sangat mengandalkan subtitles untuk menikmati nyanyian-nyanyiannya yang padat makna. Juga, mood yang dihadirkan dalam film ini begitu tenang namun sedikit misterius.
Saya salut dengan permainan akting Ni Kadek Thaly Titi Kasih sebagai Tantri. Ia berhasil mencuri adegan lewat ekspresi dan emosinya secara dalam, yang kadang tak perlu diucapkan. Sosok Tantri yang hemat kata dan pendiam menyalurkan energinya untuk sesuatu yang lebih kreatif. Ia bisa mengawinkan keindahan alam pedesaan sebagai pernak-pernik tariannya yang lentur sekaligus pembangun harapan untuk Tantra.
Juga, kehadiran Ibu yang diperankan oleh Ayu Laksmi cukup menuai empati. Kita akan menyaksikan bagaimana pergolakan sang Ibu untuk menerima kenyataan pahit, terutama saat Ia bernyanyi dengan ikhlas. Laksmi yang juga memerankan Ibu di “Pengabdi Setan” hadir sangat berbeda. Ia tampil sebagai orang desa yang hidup sederhana.
Jika ditanya tentang adegan paling menarik, tentu tarian solo Tantri di bawah sinar bulan adalah juaranya. Begitupun saat tatapan Tantri dengan riasan seperti burung yang menatap close up ke kamera, dan juga adegan pertarungan dua burung di kamar rumah sakit. Kesan beda inilah yang membuat “Sekala Niskala” hadir berkesan seraya menghiptonis saya dengan spirit magisnya. Anda tidak akan menyangka jika adegan memakan telur rebus bisa menjadi sesuatu yang spesial di film ini.
Selain hal-hal diatas, saya patut memuji Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang berhasil mengarahkan rangkaian koreografi yang diperankan para pemain ciliknya dengan memukau. Saya sedikit tidak menyangka dengan kehadiran hantu-hantu kecil di sawah yang muncul dengan gulingan-gulingan tubuh merera serta bunyi dari kepakan lengan mereka. Yang paling spooky buat saya adalah saat mereka melingkari Tantri di sawah.
Ternyata tidak hanya “The Florida Project” yang berhasil membuat saya senang dengan peran anak kecil sebagai pemeran utamanya untuk merealisasikan imajinasinya. Begitu juga dengan klasik “Tin Drum” yang penuh kontroversi, ataupun “The Red Balloon” yang penuh warna. Film ini juga demikian. Dari Indonesia, Kamila Andini berhasil menciptakan “Sekala Niskala” yang mengadirkan luapan emosi kuat seorang anak dengan cara artistik, dipadu dengan kesan spiritual dan fantasi yang melingkupinya. A timeless..
Sekala Niskala will be in Cinema starts 8 March 2018. Thanks to Yulia Evina Bhara dan Kamila Andini for inviting me to the Gala Premiere and providing the content.