Premis yang ditawarkan “A Silent Voice” begitu menarik. Mengkombinasikan hubungan seorang pembully dan korban ‘bully’-an yang mengalami keterbelakangan pendengaran, menjadikan cerita adaptasi manga Yoshitoki Oima jadi tontonan sekaligus pelajaran.
Shoya Ishida, yang disuarakan oleh Miyu Irino, berniat untuk mengakhiri hidupnya. Ia sudah melakukan rencana singkatnya. Menarik seluruh tabungannya, berhenti dari pekerjaan sampingannya, sampai-sampai menjual seluruh koleksi manga-nya. Seluruh uang yang dikumpulkan telah dimasukkan ke dalam amplop putih, diserahkan pada Ibunya yang masih tertidur. Sayang. Ia tidak jadi melompat. Sepulang rumah, Ia malah diomeli Ibunya yang akhirnya mengetahui rencananya ini. Disinilah cerita bermula.
Shoya sebetulnya sudah lelah dengan imej-nya di sekolah. Ia tidak punya teman, dan seakan cuma seorang diri di sekolah. Usut punya usut, ini semua berakibat saat kedatangan anak baru bernama Shoko Nishimiya saat Ia masih di kelas 6. Shoko, yang disuarakan oleh Saori Hayami, merupakan seseorang yang tuli dan bersekolah di sekolah umum. Keterbelakangannya ini ternyata menjadikan dirinya sebagai obyek pelampiasan oleh Shoya dan teman-temannya. Malangnya, saat Nishimiya pindah, hanya Shoya sendiri yang menanggung ulahnya.
Kisah “A Silent Voice” diangkat dari manga yang tayang di Weekly Shonen Magazine pada tahun 2013-2014. Versi adaptasi ke layar lebar pun diumumkan pada akhir 2015 dan telah dirilis pada akhir 2016 lalu. Alhasil, di minggu perilisannya, film ini berada di peringkat kedua, di belakang animasi “Your Name” yang merupakan salah satu film terlaris Jepang sepanjang masa.
Sebetulnya, yang diceritakan film ini cukup banyak, inilah yang membuat saya tidak sedikit heran dengan durasi film ini yang lebih dari 2 jam. Akan tetapi, saya mulai menyukai ceritanya semenjak menyadari alasan Shoya untuk bunuh diri karena dampak perbuatannya itu. Setelah itu, Shoya memang tidak melanjutkan usaha bunuh diri setelah gagal, tapi Ia malah berusaha untuk melakukan rekonsiliasi dan menghadapi masalahnya.
Saya suka dengan ceritanya, termasuk penggunaan bahasa isyarat ala Jepang yang diperlihatkan. Shoya digambarkan sebagai seseorang yang bersalah dan telah pantas menerima hukumannya. Tapi Shoya tidak mau menyerah. Ia mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan sahabat-sahabat kecilnya. Begitupun ketika mulai terjadi kedekatan antara Shoya dan Shoko. Apalagi ketika Yazura, adik Shoko, juga ikut campur tangan.
“A Silent Voice” cocok menjadi sebuah pelajaran yang menghibur. Sebab cerita yang dihadirkan memang terbilang solid. Film ini dengan tepat menggambarkan bagaimana perubahan perilaku Shoya muda yang badung, dan memulai perjalanan insyaf-nya dengan pemikiran yang lebih bijak. Penonton akan dibuat berempati dengan Shoya, menikmati hubungan kedekatannya dengan Shoko, sampai kelucuan persahabatannya dengan Tomohori Nagatsuka yang lumayan posesif.
You cannot change your past, but you can define your future. Pesan inilah yang menurut saya cukup tersampaikan dari film ini. Walaupun Shoya telah berhasil untuk kembali menjalin hubungan dengan teman-temannya, tapi Ia tidak akan pernah untuk mengubah masa lalunya. Ya, yang sudah terjadi, terjadilah. But, never give up!
Thanks to Susan Engel from PMK-BNC and Eleven Arts Anime Studio for providing the screener. This film will be release in US on October 20th.