Rasa penasaran saya selama ini akhirnya terbayar. “Demi Ucok” adalah salah satu film yang berhasil memikat saya melalui trailer-nya, namun belum sempat tertonton. Film yang dibuat dengan usungan dukungan dari ribuan pendana ini, mengangkat sebuah cerita komedi dengan penekanan pada salah satu suku di Indonesia, suku Batak.
Gloria Sinaga, diperankan oleh Geraldine Sianturi, merupakan seorang pembuat film. Ia sudah merilis film pertamanya yang merupakan award winning film, dan sekarang bekerja sebagai seorang dosen film. Ia punya keinginan baru: bisa kembali membuat film keduanya. Namun, Ia mau yang lebih professional, tidak amatiran. Akan tetapi, cita-cita harus dihalang dengan keinginan sang Ibu: mendapatkan pasangan.
Mak Gondut, begitu sebutan Ibunya, yang diperankan oleh Lina Marpaung, adalah seorang Ibu yang aktif. Ia aktif pergi ke gereja, mempromosikan produk MLM-nya, dan juga aktif berpolitik. Yang lebih kacau lagi, Ia juga senang mementaskan wayang golek dengan bahasa Batak. Wow! Dengan memegang tradisi adat Batak yang teguh, Ia mau putri semata wayangnya dapat memenuhi mimpinya: mendapatkan seorang pria Batak.
Wait! Menurut penjelasan Glo, “Ada 4 juta orang Batak di dunia ini. Dikurangin cewek. Dikurangin yang udah kawin. Dikurangin yang gay. Dikurangin yang tahanan. Tinggal 300 ribu. Dikurangin yang mau ama gw, tinggal satu. Dikurangin yang gw mau (kosong).” Gloria masih belum terfokus untuk mencari pasangan dan masih ingin mengejar kariernya.
Juga, lewat embel-embel “kasih ibu hanya memberi, tak harap kembali*” ini berhasil jadi guyonan super. Ingat, masih ada tambahan simbol asterisk (*) yang bermakna ‘terms and conditions apply.’
“Demi Ucok” merupakan salah satu komedi indie yang berbicara banyak tentang pertentangan idealisme, ambisi, dan cita-cita. Gloria yang menilai untuk lebih mementingkan film terbarunya dan berpikir kalau ‘jodoh enggak kemana’ sangat berbeda dengan Mak Gondut yang punya prinsip kalau ‘keberhasilan sang Ibu jika sang anak bisa hebat dan sekaligus mempertahankan tradisi.’ Alhasil, jadilah sebuah tontonan segar yang memecah banyak tawa.
Penulis sekaligus sutradara film ini, Sammaria Simanjuntak, mengangkat kembali kisah percintaan, cuma lebih humoris. Kalau sebelumnya Ia banyak membahas kaum minoritas melalui “Cin(a).” Sammaria, yang juga orang Batak, begitu terampil untuk menghadirkan film jadi sebuah tontonan yang menghibur tapi mengena. Walaupun masih terasa banyak room for improvement di film ini, setidaknya film ini terbilang berpretasi di Piala Citra tahun tersebut. Ada 8 nominasi yang direbut, termasuk Film Bioskop Terbaik dan Sutradara Terpuji. Cuma, nasib berkata lain. Hanya Lina Marpaung sebagai Mak Gondut yang mendapatkan penghargaan Citra dalam kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Ini memang bukan kejutan, dan cukup menarik, apalagi ketika Lina bisa mengalahkan Wulan Guritno ataupun living legend Christine Hakim yang jauh lebih senior.
Bicara cast film ini, saya memang masih merasa akting yang ditampilkan masih agak kurang hidup. Padahal, di film ini Sammaria masih melibatkan dua aktor yang sebelumnya bermain di filmnya, Sunny Soon dan Saira Jihan. Begitupun dengan Geraldine Sianturi yang menjadi lead actress, namun seakan masih terasa kurang nyawa. Percakapan antara Gloria, Niki dan A Cun kadang terasa begitu scripted. Untung saja masih ada si Mak Gondut. Berkat ekplorasi humor dengan kesan etnis yang mendalam, ditambah tutur khas Mak Gondut, baru menjadikan film ini menarik. Salah satu ucapan Mak Gondut yang selalu buat saya tertawa adalah ketika Ia menyindir pada anaknya, “kan ada kau pegang kartu tambahan… qq (baca: qi-u-qi-u).”
Tidak hanya bicara tentang tradisi Batak ataupun pertentangan Glo dan Ibunya, film ini sebetulnya memasukkan banyak hal daripada itu. Mulai dari uang korupsi, politik, hingga asuransi. Juga dengan kesan LGBT yang terselip di ceritanya. Seperti temannya, Niki, diperankan Saira Jihan yang mengaku seorang lesbian, ataupun Qazrina Umi, pembuat film favorit Glo yang ternyata seorang transgender. Cara pandang Glo yang lebih modern-oriented versus sang Ibu yang lebih konservatif memperlihatkan perbedaan pandangan dalam memandang kehidupan: high achiever with high risk versus having a nice family with less risk.
Penggunaan animasi dan efek visual yang seadanya cukup mewarnai film ini. Saya sangat menikmati ceritanya yang hanya punya durasi 69 menit. Setelah puas menyaksikan film ini, yang ada dalam benak saya adalah puluhan pemikiran yang diawali kata ‘andai saja…’ But, this is a good movie!