Apa jadinya jika sebuah sex doll bisa berperan sebagai penduduk kota yang disenangi? Heran bukan. Itu yang terjadi pada sebuah kota fiksi di Wisconsin. “Lars and the Real Girl” mengajak penonton untuk menyaksikan sebuah keanehan ini.
Cerita berawal dari seorang pria pemalu yang bernama Lars, yang diperankan oleh Ryan Gosling. Lars hidup di sebuah garasi depan rumah peninggalan orangtuanya. Sedangkan di rumah orangtuanya, hiduplah kakak laki-lakinya dan istrinya yang bernama Gus dan Karin, diperankan oleh Paul Schneider dan Emily Mortimer. Yang menarik, Lars seakan hidup seperti anti sosial. Sampai-sampai Gus dan Karin melakukan taruhan 5 dolar hanya untuk mengajak Lars makan bersama di rumah, dengan niat untuk membujuknya agar ikut tinggal bersama mereka.
Tidak hanya di lingkungan, tapi juga di kantornya. Seorang rekan kerjanya, Margo, diperankan oleh Kelli Garner, tergila-gila padanya. Saking agresifnya, pria yang hidup dalam dunianya sendiri ini hanya sambil lalu pada setiap interaksi dengan Margo yang sebetulnya mencari perhatian. Baiknya, Lars adalah seorang Kristen yang taat. Ia tetap rajin ke gereja. Suatu hari, Lars diperkenalkan oleh rekan kerjanya tentang sebuah toko online sex doll, yang bisa memenuhi kesendiriannya. Tak disangka, enam minggu kemudian, sebuah sex doll dalam peti besar tiba di garasi kediaman Lars. Boneka ini diberi nama Bianca. Bianca merupakan seorang misionaris yang memiliki percampuran Brazil dan Denmark. Disinilah cerita berawal.
Saya cukup menyukai premis yang dihadirkan film ini. Sex doll yang dihadirkan dalam kisahnya tidak dipandang sebagaimana kegunaannya. Bianca tidak dihadirkan sebagai ‘pemuas nafsu,’ tetapi lebih mengarah bagaimana Ia berhasil memenuhi ‘kebutuhan akan orang lain’ dari sisi Lars. Penonton akan mengamati bagaimana Lars yang sebetulnya alim dan aneh ini bisa mulai berinteraksi dengan penduduk kota. Bianca tidak hanya menjadi sekedar teman ataupun pacar dalam delusi Lars, Ia lebih dari itu. Ia berhasil membuatnya berinteraksi untuk melakukan hal-hal sosial yang mungkin sangat jarang dilakukan Lars.
Cerita film ini dikemas Nancy Oliver dengan sangat apik. Sebagai sebuah komedi, Oliver tidak mengemasnya agar penonton bisa tertawa terbahak-bahak. Akan tetapi, film ini malah bisa berhasil menghidupkan suasana ‘aneh’ buat saya. Saya merasa hal aneh yang dihadirkan punya potensi lucu untuk ditertawakan dalam hati, namun ternyata ini dirubah kedalam situasi yang serius. Contohnya adalah ketika penduduk kota bisa mengakui ke-eksistensian Bianca. Kenyataan aneh bin unik yang mungkin hanya terjadi dalam cerita dan film. Awalnya, saya hanya bisa tertawa dalam hati walaupun lama kelamaan saya merasa kelucuan ini bukanlah sebuah hal yang lucu. Tidak heran karya orisinil ini bisa masuk ke dalam nominasi Academy Awards untuk original screenplay tahun 2007.
Keberhasilan film ini sebetulnya sangat bergantung para penampilan Gosling. Script-nya mungkin telah terbilang oke. Apakah dapat anda bayangkan bila sosok Lars Lindstorm tampil cheessy atau comical disini? Jujur saja, saya lebih menyukai peran Gosling disini dibandingkan hits musikalnya, “La La Land.” Gosling berhasil memerankan dirinya yang penuh delusi dan menampilkan percakapan monolognya dengan Bianca seakan benar-benar nyata. Maksud saya, sebagai penonton kita pun bisa seakan masuk dalam delusi Lars, seperti mendengar apa yang Bianca utarakan. Penampilan yang menarik dan berkesan, walaupun karakternya cukup menjengkelkan buat saya.
Tidak ada sesuatu yang spesial selain dari akting maupun ceritanya. Film arahan Craig Gillespie ini tidak berdurasi cukup panjang, hanya sekitar 106 menit. Tetapi entah kenapa, saya merasa film ini terasa lebih dari itu, padahal saya sudah menyaksikannya lebih dari 3 kali. Ketertarikan saya mulai muncul setelah 45 menit film ini berjalan. Waktu yang sangat lumayan untuk beradaptasi dengan ceritanya.
Sepanjang menonton “Lars and the Real Girl,” ada satu pertanyaan yang tidak bisa terjawab dari benak saya: “Apa yang membuat Lars begitu fenomenal?” Mungkin tidak akan ada sesuatu yang spesial jika hanya Gus dan Karin yang memperlakukan Bianca tidak semestinya. Tapi, ini satu kota. Satu kota memperlakukannya sebagai seorang manusia. Saya masih tidak habis pikir ketika penduduk kota mulai memberi simpati pada Lars yang dianggapnya memiliki keterbelakangan, ternyata berhasil membuat mereka terjebak dalam ‘dunia pemikirannya.’
Bila membandingkan dengan situasi kemanusiaan yang saat ini kita hadapi, saya masih cukup takjub. Tingkat toleransi yang sangat rendah dan saling menjatuhkan. Berbeda sekali dengan situasi fiksi disini. Toleransi penduduk akan keterbelakangan seorang pria mampu menjadikan sebuah boneka pemuas nafsu seperti bagian dari mereka sendiri. Personifikasi dalam sebuah realita fiksi. Saya masih teringat dengan ucapan Reverend Black saat menjawab keluhan para jemaatnya yang tidak bisa menerima Bianca, “Well… the question is, always… What would Jesus do?” Andai bila saya ada disitu, saya akan menjawab, “Hell, oh no!” Hahaha…