Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Apa jadinya ketika beberapa tahanan politik menculik seseorang yang pernah menyiksa mereka secara keji? Premis menarik ini ditawarkan oleh “It Was Just an Accident,” film terbaru Jafar Panahi yang juga meraih Palme d’Or pada festival Cannes tahun 2025.
Cerita diawali dengan sebuah keluarga yang ceritanya mengalami mogok. Mereka berhenti di sebuah pabrik, dan dibantu untuk diperbaiki. Di balik pabrik tersebut, penonton kemudian akan berkenalan dengan Vahid, diperankan oleh Vahid Mobasseri, yang secara ragu-ragu merasa mengenali orang yang minta tolong tersebut.
Pria yang nekat ini kemudian menguntit sampai ke rumah keluarga ini. Ia menyaksikan mobil yang diperbaiki sementara itu sedang di-derek ke bengkel. Perjalanan Vahid belum berakhir. Sampai-sampai ia memutuskan untuk menculik pria tersebut. Pria yang kemudian bernama Eghbal, diperankan oleh Ebrahim Azizi, dibawanya ke tanah tandus untuk dikuburnya. Akan tetapi, permasalahannya adalah Eghbal tidak mau mengaku, dan Vahid tidak pernah melihat wajah Eghbal yang sebenarnya. Oleh sebab, sebagai tahanan politik, saat disiksa mereka di-blindfold, sehingga tidak bisa mengenali secara pasti siapa pelakunya.
Singkat cerita, Vahid meminta tolong pada temannya yang bernama Salar, diperankan oleh George Hashemzadeh. Salar malah merujuknya untuk bertemu dengan Shiva, yang diperankan oleh Mariam Afshari. Saat itu, Shiva sedang melakukan photoshoot sepasang pengantin yang bernama Goli dan Hamid. Interupsi yang dilakukan Vahid pada Shiva malah berujung kemarahan Goli. Ini dikarenakan Goli juga merupakan seorang penyintas yang sama-sama disiksa.
Masalahnya tetap sama, ketika Shiva, Goli, dan Hamid melihat tubuh Eghbal, mereka juga tidak bisa memastikannya. Untuk itulah petualangan menjadi ramai ketika Shiva meminta Vahid untuk bertemu dengan Ali, diperankan Majid Panahi, agar dapat memastikannya.
Kisah ini ditulis dan disutradarai oleh Jafar Panahi. Terakhir, saya menyaksikan film anthologinya yang berjudul “The Year of the Everlasting Storm.” Panahi menawarkan sebuah drama misteri, namun dengan penyajian yang asyik. Sembari ia mengritik pemerintah Iran, melalui film ini ia seakan mengajak penonton untuk mempertanyakan kembali atas dasar nilai kemanusiaan.
Kebimbangan yang dialami karakter Vahid diawali dengan kemarahan yang sangat mendasar, luka lama yang belum pulih. Akan tetapi, situasinya tetap membuatnya untuk tidak tega pada titik-titik tertentu. Dinamika perasaan yang juga dialami Shiva, Goli, Hamid, dan Ali pun terasa menarik. Ada yang akhirnya menyerah, ada yang membiarkan, sampai ada yang mencair. Di sinilah yang menjadi titik keseruan “It Was Just an Accident.”
Ada beberapa hal menarik dari film ini. Pertama, film dibuat secara ilegal. Kedua, aktor-aktor perempuan di dalam film ini mayoritas tidak menggunakan kerudung, sebuah hal yang dianggap melawan rezim saat ini. Walaupun faktanya, sudah mulai banyak perempuan Iran yang melepas kerudung mereka seiring dengan kematian Mahsa Amini. Ketiga, film ini tidak termasuk sebagai perwakilan Iran, yang notabene mungkin yang paling prestatif di tahun ini.
Film ini pulalah yang menempatkan Panahi sebagai sutradara Iran tersukses di kancah festival. Pada tahun 2000, ia sudah meraih Golden Lion melalui film “The Circle.” Lalu pada 2015, melalui “Taxi,” ia memenangkan Golden Bear. Puncaknya adalah melalui film ini. Ketika ia menyabet Palme d’Or, dan menjadi sutradara keempat yang memenangkan filmnya di tiga festival film terbesar.
Pada aspek cerita, film ini hadir dengan plot lurus. Petualangan Vahid untuk bertemu dengan mantan-mantan tahanan politik lainnya juga dikemas dengan cukup menarik. Terlihat jelas bagaimana kemarahan itu memuncak. Cuma, yang selalu menjadi penguat ketika menyaksikan film ini adalah apa resolusi yang akan diambil Vahid dan rekan-rekannya. Apalagi status Eghbal yang terus tidak jelas, apa orang ini yang menyiksa mereka atau bukan. Inilah yang membuat cerita “It Was Just an Accident” menarik.
Film ini juga memperlihatkan bagaimana keramahan orang Iran. Jika mereka melihat pasangan yang akan menikah, mereka akan diberikan selamat, walaupun tidak mengenalinya. Cuma jeleknya, film ini juga menyentil bagaimana sogokan-sogokan yang kerap terjadi. Tak cuma dilakukan satpam yang sudah standby dengan mesin EDC-nya, tetapi juga para perawat yang meminta jatah ketika berhasil membantu kelahiran bayi. Yang paling membuat saya tidak kepikiran itu adalah cara mereka meminta uang. Tidak ada cash, EDC pun jadi. Warbiasak!
Andai saja film ini merupakan perwakilan Iran, saya merasa film ini akan mudah untuk masuk ke lima besar nominasi, seperti yang kerap terjadi pada pemenang-pemenang Palme d’Or terdahulu. Sebut saja “Anora“ dan “Parasite“ yang meraih Best Picture Academy Awards, lalu ada “Anatomy of a Fall,” “Triangle of Sadness,” “Shoplifters,” ataupun “The Square.” Rasanya saya akan menjagokan film ini untuk Best Director, Best Original Screenplay untuk awards season tahun ini.
Pengalaman yang ditawarkan “It Was Just an Accident” memang akan seseru itu. Saya sendiri awalnya tidak menyangka jika karakter utama film ini adalah Vahid. Sebab ketika film dimulai, Vahid hanya tergambar sebagai supporting cast yang sedang asyik menelepon. Pada akhirnya, film yang awalnya terasa ingin membuat keadilan secara sendiri ini bisa menutup kisahnya dengan resolusi yang tak mudah dilakukan, namun lebih manusiawi. “It Was Just an Accident” bukan sekadar film—ini adalah pernyataan politik yang dibungkus dalam narasi yang menegangkan. Brilliant!
🇬🇧 English Version – Translated
What happens when several political prisoners kidnap someone who once brutally tortured them? This interesting premise is offered by “It Was Just an Accident,” Jafar Panahi’s latest film which also won the Palme d’Or at the 2025 Cannes festival.
The story begins with a family whose car breaks down. They stop at a factory, and are helped to be repaired. Behind that factory, the audience will then get to know Vahid, played by Vahid Mobasseri, who hesitantly feels he recognizes the person asking for help.
This bold man then stalks to this family’s home. He watches the car being repaired while it’s being towed to the workshop. Vahid’s journey hasn’t ended. To the point where he decides to kidnap that man. The man later named Eghbal, played by Ebrahim Azizi, is taken to barren land to be buried. However, the problem is Eghbal refuses to confess, and Vahid has never seen Eghbal’s real face. Because, as political prisoners, when tortured they were blindfolded, so they couldn’t identify exactly who the perpetrator was.
Long story short, Vahid asks for help from his friend named Salar, played by George Hashemzadeh. Salar instead refers him to meet Shiva, played by Mariam Afshari. At that time, Shiva was doing a photoshoot of a couple of brides named Goli and Hamid. The interruption made by Vahid to Shiva instead resulted in Goli’s anger. This is because Goli is also a survivor who was equally tortured.
The problem remains the same, when Shiva, Goli, and Hamid see Eghbal’s body, they also can’t be sure. That’s why the adventure becomes crowded when Shiva asks Vahid to meet Ali, played by Majid Panahi, in order to confirm it.
This story is written and directed by Jafar Panahi. Last, I watched his anthology film titled “The Year of the Everlasting Storm.” Panahi offers a mystery drama, but with a fun presentation. While he criticizes the Iranian government, through this film he seems to invite the audience to question again on the basis of human values.
The hesitation experienced by Vahid’s character begins with very fundamental anger, old wounds that haven’t healed. However, his situation still makes him not have the heart at certain points. The dynamics of feelings also experienced by Shiva, Goli, Hamid, and Ali also feel interesting. Some finally give up, some let it be, to some who soften. This is where the excitement point of “It Was Just an Accident” is.
There are several interesting things about this film. First, the film was made illegally. Second, the female actors in this film mostly don’t wear headscarves, something considered against the current regime. Although in fact, many Iranian women have started to remove their headscarves following Mahsa Amini’s death. Third, this film is not included as Iran’s representative, which is arguably the most prestigious this year.
This film also places Panahi as the most successful Iranian director in the festival arena. In 2000, he already won the Golden Lion through the film “The Circle.” Then in 2015, through “Taxi,” he won the Golden Bear. The peak is through this film. When he grabbed the Palme d’Or, and became the fourth director whose films won at the three biggest film festivals.
In the story aspect, this film comes with a straight plot. Vahid’s adventure to meet with other former political prisoners is also packaged quite interestingly. It’s clearly seen how that anger peaks. It’s just that, what always reinforces when watching this film is what resolution Vahid and his colleagues will take. Moreover, Eghbal’s status continues to be unclear, whether this person tortured them or not. This is what makes the story of “It Was Just an Accident” interesting.
This film also shows how hospitable Iranian people are. If they see a couple who will get married, they will be congratulated, even if they don’t know them. It’s just that the bad thing is, this film also touches on how bribes often occur. Not only done by security guards who are standby with their EDC machines, but also nurses who ask for a share when successfully helping baby births. What makes me most unthinkable is how they ask for money. No cash, EDC works. Crazy!
If only this film were Iran’s representative, I feel this film would easily enter the top five nominees, as often happens with previous Palme d’Or winners. Mention “Anora“ and “Parasite“ which won Best Picture Academy Awards, then there’s “Anatomy of a Fall,” “Triangle of Sadness,” “Shoplifters,” or “The Square.” I feel I would favor this film for Best Director, Best Original Screenplay for this year’s awards season.
The experience offered by “It Was Just an Accident” will indeed be that exciting. I myself initially didn’t expect that this film’s main character is Vahid. Because when the film starts, Vahid is only depicted as a supporting cast who is busy on the phone. In the end, the film that initially felt like wanting to make justice on its own can close its story with a resolution that’s not easy to do, but more humane. “It Was Just an Accident” is more than just a film—it is a political statement wrapped in a gripping narrative. Brilliant!
