Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Seperti biasa, menjelang akhir tahun begini studio-studio mulai merilis film-film yang akan dipertimbangkan untuk musim penghargaan mendatang. Tahun ini, Netflix mengusung “Nouvelle Vague,” sebuah drama yang menceritakan debut sutradara Jean-Luc Godard, yang menjadi bagian dari French New Wave.
Film akan membawa penonton dalam setting akhir 1950-an, yang akan memperkenalkan empat orang sineas yang nantinya bagian dari French New Wave. Mereka adalah Jean-Luc Godard, yang diperankan oleh Guillaume Marbeck, yang hadir dengan kacamata hitam dan masih merasa gagal karena ia belum menyutradarai featured film pertamanya. Lalu ada François Truffaut dan Jacques Rivette, diperankan oleh Adrien Rouyard dan Jonas Marmy, yang ceritanya sudah lebih dulu membuat film. Tak ketinggalan juga ada Suzanne Schiffman, diperankan oleh Jodie Ruth-Forest.
Godard saat itu merupakan salah satu kritikus yang secara rutin mempublikasikan Cahiers du Cinéma, sebuah buletin yang berisi kritik film. Saat itu sedang dipimpin oleh Éric Rohmer, diperankan oleh Côme Thieulin, yang juga nantinya merupakan bagian dari French New Wave. Apalagi saat itu, Truffaut baru saja merilis “The 400 Blows” di Cannes Film Festival. Ia pun meyakinkan seorang produser film bernama Georges de Beauregard, diperankan oleh Bruno Dreyfurst, untuk mau melakukan proyek debutnya yang berjudul “Breathless.”
Berbekal dukungan Claude Chabrol dan Truffaut, Beauregard menyetujui pendanaan film ini. Godard merekrut artis Hollywood, Jean Seberg, diperankan oleh Zoey Deutch, untuk menjadi pemeran utamanya. Pendampingnya diperankan Jean-Paul Belmondo, diperankan oleh Aubry Dullin, aktor muda yang kala itu sedang dalam awal karirnya.
Saat syuting “Breathless” dimulai, kru dikejutkan dengan perilaku Godard yang tak biasa. Ia tidak mempunyai naskah film yang proper, yang bikin Seberg sampai geleng-geleng. Apalagi dengan sinematografer Raoul Coutard, yang diperankan oleh Matthieu Penchinat, berusaha untuk memahami kemauan Godard yang menginginkan pengambilan gambar dengan handheld camera. Yang lebih ajaib lagi, proses syuting kadang hanya berjalan 2 jam, karena Godard sudah kehabisan ide.
“Nouvelle Vague” yang juga berarti French New Wave, disutradarai oleh Richard Linklater, sutradara yang memukau saya lewat proyek ambisius “Boyhood,” yang memakan proses syuting selama 12 tahun, namun gagal menang Best Picture di Oscar, yang akhirnya dimenangkan “Birdman.” Naskahnya ditulis oleh Holly Gent dan Vincent Palmo, dan kemudian diadaptasi oleh Michèle Halberstadt dan Laetitia Masson.
“Nouvelle Vague” merupakan proyek pertama Linklater yang hadir secara penuh dalam Bahasa Prancis. Film ini juga diambil dengan format 4:3 aspect ratio, yang mengingatkan kita dengan film-film lama, sekaligus pembawaan film yang penuh hitam putih. Sepanjang 106 menit, penonton akan dibawa ke dalam behind the scene film “Breathless.”
Dari segi penceritaan, salah satu bagian menarik yang saya cermati adalah ketika “Nouvelle Vague” selalu memulai dengan konteks agar penonton dapat memahami cerita sebelum masuk ke dalam sebuah adegan. Hal ini dimulai dengan memberikan shot karakter dengan namanya, sebelum masuk ke dalam cerita. Yang saya sukai, “Nouvelle Vague” akan menyajikan puluhan tokoh yang menjadi bagian dari French New Wave.
Untuk ukuran drama, yang membuat “Nouvelle Vague” terasa menarik untuk dinikmati adalah pemikiran Godard itu sendiri. Sosoknya yang amat idealis, yang menggunggulkan kualitas dibanding efisiensi, mencoba melawan batas-batas perfilman kala itu. Misalnya saat ia tidak menginginkan masukan dari script supervisor-nya, ataupun meminta Coutard agar film dapat semaksimal mungkin.
Baiknya, film yang dirilis dalam Cannes Film Festival ini hadir dengan ensemble yang meyakinkan. Yang paling mencolok adalah penampilan Zoey Deutch sebagai Seberg, yang amat mencuri perhatian saya. Dari kursi penonton kita bisa menyaksikan Seberg yang sudah jengkel lebih dulu dengan Godard. Selain itu, aktor Aubry Dullin, yang memerankan Jean-Paul Belmondo juga bisa menjadi pendamping yang sebanding dengan Deutch.
Rasanya, tingkat kesulitan “Nouvelle Vague” adalah untuk hadir serupa dengan versi aslinya. Tak hanya karena tokoh-tokoh yang dihadirkan adalah sosok yang terkenal, walaupun mayoritas sudah meninggal dunia. Tetapi juga dengan membangun set-set dari adegan film “Breathless” itu sendiri. Faktanya, “Breathless” dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah ada, dan rasanya itu juga beban yang penuh dengan ekspektasi.
Selagi menyaksikan film ini, saya sebetulnya menyukai cara Linklater untuk menghadirkan film ini, yang lumayan beruntut menceritakan kisahnya. Cuma saja, rasanya film ini hanya akan membosankan untuk penonton, yang mengingatkan saya saat menyaksikan “Mank.” Film ini bercerita tentang ambisi dan kejeniusan Godard, namun sayangnya sampai ke penutup, saya tidak merasa ada satu pun klimaks dari film ini.
Bila melihat di awal musim penghargaan tahun ini, sepertinya saya akan menjagokan “Nouvelle Vague” untuk beberapa kategori. Misalnya Marbeck untuk Best Actor in Leading Role, Deutch untuk Best Actress in Supporting Role, Dullin untuk Best Actor in Supporting Role, Best Cinematography, Best Makeup, Best Production Design, dan Best Director untuk Linklater.
Alhasil, “Nouvelle Vague” terbilang jadi suatu tribut French New Wave yang lumayan oke, walaupun pada akhirnya saya merasa cukup overrated karena masih berharap penceritaan yang lebih menarik lagi. Tapi apa daya jika upaya merekonstruksi ceritanya yang ternyata memang hanya seperti itu. Tentunya, film ini perlu jadi bagian dari film wajib para cinephile.
🇬🇧 English Version – Translated
As usual, toward the end of the year like this, studios begin releasing films that will be considered for the upcoming awards season. This year, Netflix is presenting “Nouvelle Vague,” a drama that tells the story of director Jean-Luc Godard’s debut, which became part of the French New Wave.
The film will transport audiences to the late 1950s setting, introducing four filmmakers who would later become part of the French New Wave. They are Jean-Luc Godard, played by Guillaume Marbeck, who appears with dark glasses and still feels like a failure because he hasn’t directed his first featured film. Then there’s François Truffaut and Jacques Rivette, played by Adrien Rouyard and Jonas Marmy, whose stories show they had already made films earlier. Not to be forgotten is Suzanne Schiffman, played by Jodie Ruth-Forest.
Godard at that time was one of the critics who regularly published Cahiers du Cinéma, a bulletin containing film criticism. It was being led by Éric Rohmer, played by Côme Thieulin, who would also later become part of the French New Wave. Moreover, at that time, Truffaut had just released “The 400 Blows” at the Cannes Film Festival. He then convinced a film producer named Georges de Beauregard, played by Bruno Dreyfurst, to undertake his debut project titled “Breathless.”
Armed with support from Claude Chabrol and Truffaut, Beauregard approved the film’s funding. Godard recruited Hollywood artist Jean Seberg, played by Zoey Deutch, to be the lead actress. Her co-star was Jean-Paul Belmondo, played by Aubry Dullin, a young actor who was then at the beginning of his career.
When the filming of “Breathless” began, the crew was shocked by Godard’s unusual behavior. He didn’t have a proper film script, which made Seberg shake her head. Moreover, cinematographer Raoul Coutard, played by Matthieu Penchinat, struggled to understand Godard’s desire for shooting with a handheld camera. Even more remarkably, the shooting process sometimes only lasted 2 hours, because Godard had run out of ideas.
“Nouvelle Vague” which also means French New Wave, is directed by Richard Linklater, the director who amazed me with his ambitious project “Boyhood,” which took 12 years of filming process, but failed to win Best Picture at the Oscars, which was ultimately won by “Birdman.” The screenplay was written by Holly Gent and Vincent Palmo, and then adapted by Michèle Halberstadt and Laetitia Masson.
“Nouvelle Vague” is Linklater’s first project presented entirely in French. The film is also shot in 4:3 aspect ratio format, which reminds us of old films, while also carrying a full black and white presentation. Throughout 106 minutes, audiences will be taken behind the scenes of the film “Breathless.”
From a storytelling perspective, one interesting aspect I noticed is when “Nouvelle Vague” always begins with context so the audience can understand the story before entering a scene. This starts by providing a shot of characters with their names, before entering the story. What I liked is that “Nouvelle Vague” presents dozens of figures who became part of the French New Wave.
For a drama, what makes “Nouvelle Vague” feel interesting to enjoy is Godard’s thinking itself. His highly idealistic figure, who prioritized quality over efficiency, tried to push the boundaries of filmmaking at that time. For example, when he didn’t want input from his script supervisor, or asked Coutard to make the film as perfect as possible.
Fortunately, the film released at the Cannes Film Festival comes with a convincing ensemble. What stands out most is Zoey Deutch’s performance as Seberg, which really caught my attention. From the audience’s seat we can witness Seberg who was already annoyed with Godard from the start. Besides that, actor Aubry Dullin, who plays Jean-Paul Belmondo, can also be a counterpart comparable to Deutch.
It feels like the difficulty level of “Nouvelle Vague” is to appear similar to the original version. Not only because the characters presented are famous figures, although the majority have passed away. But also in building the sets from the scenes of the film “Breathless” itself. In fact, “Breathless” is considered one of the best films ever made, and it feels like that’s also a burden full of expectations.
While watching this film, I actually liked Linklater’s approach to presenting this film, which tells its story fairly sequentially. However, I feel this film will only bore the audience, which reminds me of watching “Mank.” This film tells about Godard’s ambition and genius, but unfortunately until the end, I didn’t feel there was any climax to this film.
Looking at the early awards season this year, I think I’ll be championing “Nouvelle Vague” for several categories. For example, Marbeck for Best Actor in Leading Role, Deutch for Best Actress in Supporting Role, Dullin for Best Actor in Supporting Role, Best Cinematography, Best Makeup, Best Production Design, and Best Director for Linklater.
In the end, “Nouvelle Vague” is a fairly okay tribute to the French New Wave, although ultimately I feel it’s quite overrated because I was still hoping for more interesting storytelling. But what can you do if the reconstruction effort turns out to be just like that. Certainly, this film needs to be part of the must-watch films for cinephiles.
