Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Setelah “Home Sweet Loan,” sinema Indonesia kembali menarik perhatian penonton dengan cerita yang serupa namun tak sama, “1 Kakak 7 Ponakan”. Mengangkat kisah tentang Moko (Chicco Kurniawan) yang harus berjuang menggantikan posisi orang tua untuk keponakan-keponakannya, tidak hanya secara finansial tetapi juga secara moral, hal ini tentu saja berat bagi Moko yang baru saja lulus dari jurusan arsitektur.
Dari banyaknya pengorbanan yang Moko lakukan, tampaknya film ini menjual rasa relatable untuk audiensnya. Hal ini sama sekali tidak salah dan sangat lumrah terjadi dalam industri perfilman, karena cerita yang diangkat dari isu sosial dapat mendekatkan film kepada penontonnya. Yang membuat saya salut di sini, Yandy Laurens sebagai sutradara berhasil menjadi “pengusaha sukses” yang menjual ceritanya kepada lebih dari 1 juta penonton tanpa membuat ceritanya terkesan berlebihan.

Pada bagian awal, film ini akan terkesan sangat kacau. Masalah datang bertubi-tubi, dan hal ini diperparah dengan suara tangisan bayi yang terus-menerus terdengar. Tepat sekali untuk menyampaikan keadaan kepada penonton.
Bila Anda berpikir bahwa ketika menonton “1 Kakak 7 Ponakan” air mata akan mengalir deras, memang bukan tidak mungkin, tetapi bagi saya, film ini hanya membuat saya menangis sewajarnya. Ajaibnya, tanpa bumbu-bumbu yang berlebihan, kehangatan dalam film ini tetap tersampaikan dengan baik. Untuk saya, rasa hangat itu sendiri dapat ditemukan pada adegan yang terkesan biasa saja. Misalnya, ketika anggota keluarga saling mengejek satu sama lain. Bahkan, cuplikan-cuplikan dari balik layar yang banyak dibagikan oleh akun @film1kakak7ponakan dapat menyampaikan rasa hangat dan kekeluargaannya sendiri. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa chemistry yang dibangun oleh aktor dan aktris dalam film ini sangat kuat.

Karakter dalam film ini sangat beragam dan seragam sekaligus. Woko, Nina, Ano, dan Ais sangat solid menjadi pribadi yang santun, pekerja keras, dan sedikit keras kepala, tetapi kepribadian mereka beragam pula, terutama dalam merespons sebuah masalah. Yang saya suka adalah, dalam film ini, penonton tidak dibuat kesal oleh banyaknya tokoh menyebalkan. Cukup 1 atau 2, rasa marah bisa membuat kepala mendidih. Arswendo Atmowiloto sebagai penulis naskah dan Yandy Laurens tidak serta-merta langsung menjatuhkan bom dalam cerita, tetapi mereka tahu bagaimana caranya merakit bom itu hingga menjadi gumpalan masalah yang sempurna. Ledakannya pun tidak begitu besar, penonton pasti sudah bisa menduga. Tokoh Eka (Ringgo Agus Rahman) yang menjadi sosok menyebalkan pasti banyak ditemukan di dunia nyata, dan bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan orang seperti itu, pasti akan merasa relate dan mungkin lebih marah lagi.
Set dalam film ini berhasil membuat saya merasakan betapa sumpek dan sempitnya sebuah rumah yang dihuni oleh 8 orang. Apalagi, properti yang menggambarkan kondisi ekonomi keluarga mereka, contohnya bantal yang diikat pada kursi untuk menjadi sandaran. Detail kecil seperti ini sangat patut diapresiasi karena dapat menambahkan esensi kesederhanaan itu sendiri, apalagi film ini ingin menekankan isu finansial.

Terlepas dari penokohan dan rangkaian cerita yang rapi dan runtut, setiap film pasti memiliki kekurangan. Dalam “1 Kakak 7 Ponakan”, saya merasa bahwa profesi arsitek bisa lebih banyak dieksplorasi lagi detailnya, jadi tidak hanya semata-mata untuk menjadikan motivasi drama bahwa Moko sangat mencintai keluarganya melalui bagaimana Moko termotivasi untuk menciptakan tempat yang nyaman dan aman karena keluarganya.
Walaupun tidak menawarkan sesuatu yang baru, “1 Kakak 7 Ponakan” berhasil memberikan angin segar untuk jendela sinema Indonesia. Film ini menyuguhkan potret realitas yang cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari, dibalut dengan sentuhan drama dan humor sewajarnya, menjadikan film ini tontonan yang hangat dan menghibur.
🇬🇧 English Version – Translated
After “Home Sweet Loan,” Indonesian cinema once again captures audience attention with a similar yet different story, “1 Kakak 7 Ponakan.” Telling the story of Moko (Chicco Kurniawan) who must struggle to replace his parents’ role for his nephews and nieces, not only financially but also morally, this is certainly heavy for Moko who has just graduated from architecture school.
From the many sacrifices Moko makes, it seems this film sells a relatable feeling to its audience. This is not wrong at all and is very common in the film industry, as stories drawn from social issues can bring films closer to their viewers. What I admire here is that Yandy Laurens as director successfully became a “successful entrepreneur” who sold his story to more than 1 million viewers without making the story seem excessive.

In the early part, this film will seem very chaotic. Problems come one after another, and this is worsened by the continuous sound of a baby crying. Perfect for conveying the situation to the audience.
If you think that when watching “1 Kakak 7 Ponakan” tears will flow heavily, it’s indeed not impossible, but for me, this film only made me cry reasonably. Amazingly, without excessive elements, the warmth in this film is still conveyed well. For me, that warm feeling can be found in seemingly ordinary scenes. For example, when family members tease each other. Even behind-the-scenes clips widely shared by the @film1kakak7ponakan account can deliver its own sense of warmth and family bond. From this, we can conclude that the chemistry built by the actors and actresses in this film is very strong.

The characters in this film are both diverse and uniform at the same time. Woko, Nina, Ano, and Ais are very solid as polite, hardworking, and slightly stubborn individuals, but their personalities are also diverse, especially in responding to problems. What I like is that in this film, viewers are not made annoyed by many irritating characters. Just 1 or 2, the anger can make your head boil. Arswendo Atmowiloto as screenwriter and Yandy Laurens don’t immediately drop a bomb in the story, but they know how to assemble that bomb into a perfect cluster of problems. The explosion isn’t too big either, the audience can probably already guess. The character Eka (Ringgo Agus Rahman) who becomes an annoying figure can definitely be found in the real world, and for those who directly encounter such people, they will surely feel related and perhaps even angrier.
The set in this film successfully made me feel how cramped and narrow a house inhabited by 8 people is. Moreover, the props that depict their family’s economic condition, for example pillows tied to chairs to become backrests. Small details like this are very worthy of appreciation because they can add the essence of simplicity itself, especially since this film wants to emphasize financial issues.

Apart from the neat and coherent characterization and storyline, every film certainly has shortcomings. In “1 Kakak 7 Ponakan”, I feel that the architect profession could be explored in more detail, so it’s not just merely to create dramatic motivation that Moko loves his family very much through how Moko is motivated to create a comfortable and safe place because of his family.
Although it doesn’t offer something new, “1 Kakak 7 Ponakan” successfully provides fresh air for the window of Indonesian cinema. This film presents a portrait of reality quite close to daily life, wrapped with appropriate touches of drama and humor, making this film a warm and entertaining watch.








![#337 – Tom at The Farm [Tom à la ferme] (2013) 337-Picture6](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/08/337-Picture6-218x150.webp)

![#335 – Heartbeats [Les amours imaginaires] (2010) 335-Picture3](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/335-Picture3-218x150.webp)
![#333 – I Killed My Mother [J’ai tué ma mère] (2009) 333-Picture2](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/333-Picture2-218x150.webp)












![#494 – Perempuan Tanah Jahanam [Impetigore] (2019)](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2019/10/494-Picture5-324x235.webp)