Setelah “Home Sweet Loan”, sinema Indonesia kembali menarik perhatian penonton dengan cerita yang serupa tapi tak sama, “1 Kakak 7 Ponakan”. Mengangkat cerita tentang Moko (Chicco Kurniawan) yang harus berjuang menggantikan posisi orang tua untuk keponakan-keponakannya, tidak hanya secara finansial, tetapi juga secara moral, hal ini tentu saja berat bagi Moko yang baru saja lulus dari jurusan arsitekturnya.
Dari banyaknya pengorbanan yang Moko lakukan, sepertinya film ini menjual rasa “relate” untuk audiensnya. Hal ini sama sekali tidak salah dan sangat lumrah terjadi dalam industri perfilman, karena cerita yang diangkat dari isu sosial bisa mendekatkan film itu sendiri kepada penontonnya. Yang membuat saya salut di sini, Yandy Laurens sebagai sutradara berhasil menjadi “pengusaha sukses” yang menjual ceritanya ke lebih dari 1 juta penonton tanpa membuat ceritanya terkesan lebay.
Pada bagian awal, film ini akan terkesan sangat kacau. Masalah datang bertubi-tubi, dan hal ini diperparah dengan suara tangisan bayi yang terus menerus terdengar. Tepat sekali untuk menyampaikan keadaan kepada penonton.
Bila Anda berpikir bahwa ketika menonton “1 Kakak 7 Ponakan” air mata akan mengalir deras, memang bukan tidak mungkin, tetapi bagi saya, film ini hanya membuat saya menangis sewajarnya. Ajaibnya, tanpa bumbu-bumbu yang berlebihan, kehangatan dalam film ini tetap tersampaikan dengan baik. Untuk saya, rasa hangat itu sendiri bisa ditemukan pada adegan yang terkesan biasa saja. Misalnya, ketika anggota keluarga saling mengejek satu sama lain. Bahkan, cuplikan-cuplikan dari balik layar yang banyak dibagikan oleh akun @film1kakak7ponakan dapat mendeliver rasa hangat dan kekeluargaannya sendiri. Dari sini, kita dapat menyimpulkan bahwa chemistry yang dibangun oleh aktor dan aktris dalam film ini sangat kuat.
Karakter dalam film ini sangat beragam dan seragam sekaligus. Woko, Nina, Ano, dan Ais sangat solid menjadi pribadi yang santun, pekerja keras, dan sedikit keras kepala, tetapi kepribadian mereka beragam pula, terutama dalam merespon sebuah masalah. Yang saya suka adalah, dalam film ini, penonton tidak dibuat gondok oleh banyaknya tokoh menyebalkan. Cukup 1 atau 2, rasa marah bisa membuat kepala mendidih. Arswendo Atmowiloto sebagai penulis naskah dan Yandy Laurens tidak serta merta langsung menjatuhkan bom dalam cerita, tetapi ia tahu bagaimana caranya merakit bom itu hingga menjadi gumpalan masalah yang sempurna. Ledakannya pun tidak begitu besar, penonton pasti sudah bisa menduga. Tokoh Eka (Ringgo Agus) yang menjadi sosok menyebalkan pasti banyak ditemukan di dunia nyata, dan bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan orang itu, pasti akan merasa relate dan mungkin lebih marah lagi.
Set dalam film ini berhasil membuat saya merasakan betapa sumpek dan sempitnya sebuah rumah yang dihuni oleh 8 orang. Apalagi, properti yang menggambarkan kondisi ekonomi keluarga mereka, contohnya bantal yang diikat pada kursi untuk menjadi sandaran. Detail kecil seperti ini sangat patut diapresiasi karena dapat menambahkan esensi kesederhanaan itu sendiri, apalagi film ini ingin menekankan isu finansial.
Terlepas dari penokohan dan rangkaian cerita yang rapi dan runtut, setiap film pasti memiliki kekurangan. Dalam “1 Kakak 7 Ponakan”, saya merasa bahwa profesi arsitek bisa lebih banyak dieksplor lagi detailnya, jadi tidak hanya semata-mata untuk menjadikan motivasi drama bahwa Moko sangat mencintai keluarganya melalui bagaimana Moko termotivasi untuk menciptakan tempat yang nyaman dan aman karena keluarganya.
Walaupun tidak menawarkan sesuatu yang baru, “1 Kakak 7 Ponakan” berhasil memberikan angin segar untuk jendela sinema Indonesia. Film ini menyuguhkan potret realitas yang cukup dekat dengan kehidupan sehari-hari, dibalut dengan sentuhan drama dan humor sewajarnya, menjadikan film ini tontonan yang hangat dan menghibur.