Kehidupan masyarakat indigenous Amerika selalu punya daya tarik tersendiri. Sebut saja kisah perjuangan Uru-eu-wau-wau dalam “The Territory,” maupun juga cerita kerusakan Amazon dalam “Embrace of the Serpent.” Kali ini, “Yana-Wara” hadir dari Peru, yang menawarkan suatu tontonan tragedi lewat unsur budaya kental penduduk Andes.

“Yana-Wara” memulai ceritanya yang memperlihatkan seorang kakek tua yang sedang duduk tersedih di depan suatu salib, yang ternyata adalah kuburan. Kakek tersebut bernama Don Evaristo, diperankan oleh Cecilio Quispe, yang kemudian dijemput oleh sekelompok orang dari komunitasnya. Orang-orang ini ternyata adalah tokoh-tokoh yang akan menentukan nasib Don Evaristo. Kok bisa?

yana-wara
Courtesy of Cine Aymara Studios © 2024

Kuburan yang dilihat Don Evaristo sebetulnya adalah kuburan Yana-Wara, cucu Evaristo yang diperankan oleh Luz Diana Mamani. Yana-Wara diketahui meninggal sesuai dibunuh Evaristo. Evaristo dianggap tega untuk melakukan hal keji pada cucu perempuannya itu. Akan tetapi, kakek yang satu ini punya pembelaan. Ia punya alasan jelas akan tindakannya yang terlihat bengis. Dari sinilah, Evaristo pun akan menceritakan kisah tentang Yana-Wara. Cucunya yang dianggap punya hidup yang terkutuk.

“Yana-Wara” adalah film kedua yang ditulis dan disutradarai Oscar Catacora, seorang filmmaker asal Peru. Sebelumnya Caracora sudah menyajikan “Eternity” aka “Winaypacha” yang sempat berhasil memenangkan penghargaan di beberapa festival. Malang, di tengah proses produksi film ini, Catacora meninggal dunia. Posisi sutradara pun digantikan oleh Tito Catacora, paman Oscar yang juga menjadi produser dari film-film Oscar sebelumnya. “Winaypacha” sendiri dianggap berkesan, sebab merupakan film pertama yang berbahasa Aymara, bahasa yang digunakan oleh penduduk asli di daerah Pegunungan Andes.

yana-wara
Courtesy of Cine Aymara Studios © 2024

Sama seperti film sebelumnya, “Yana-Wara” juga dikemas dengan bahasa Aymara. Tidak ada unsur modern yang terlihat. Pada film ini, penyajiannya dihadirkan hitam-putih. Cuma jelas, kita tidak akan terasa seperti menyaksikan film lama. Disini, lewat kontras warna yang jelas, kedua Catacora menyajikan adegan film ini layaknya bak lukisan. Penonton akan terpukau dengan keindahan natural Andes yang kerap gersang, tetapi juga dengan penduduknya yang dihadirkan dengan pakaian tradisional mereka.

“Yana-Wara” terasa sebagai suatu tontonan seni yang menawarkan tragedi, namun berbalut budaya yang amat kental. Penyajian kehidupan komunitas masyarakat, yang punya pengadilan sendiri, terasa menarik untuk disimak. Terutama juga ketika nilai sosial seperti hal-hal yang dimiliki secara bersama-sama. Saat adegan dalam pengadilan komunitas sedang berlangsung, saya amat menikmati dialog dengan dialek yang mungkin terasa sangat asing buat telinga saya.

yana-wara
Courtesy of Cine Aymara Studios © 2024

Berbicara kisahnya, “Yana-Wara” juga memperlihatkan bagaimana unsur mistis masih amat dekat dengan kehidupan masyarakat indigenous. Penonton akan diperlihatkan pada beberapa aksi spiritual yang ditawarkan film ini. Upaya melepas kutuk Yana-Wara yang dibantu Evaristo terasa cukup mengingatkan saya dengan praktik yang mungkin masih juga dilakukan di negeri ini. Salah satu yang menarik dalam ingatan saya adalah saat penggunaan hamster untuk mendeteksi kesehatan organ dalam Yana-Wara. Hamster yang sudah didoakan kemudian diusap ke sekujur tubuh perempuan muda tersebut, kemudian di blek, dan dibaca hasilnya seakan situasi organ internal manusia sudah tergambar dari organ dalam hewan itu.

Pada musim penghargaan ini, “Yana-Wara” terpilih sebagai film yang menjadi wakil Peru untuk penghargaan film asing terbaik di Academy Awards. Sebagai suatu sajian, “Yana-Wara” cukup mencuri sebetulnya mencuri perhatian saya. Cuma saja, walaupun durasinya tidak sampai dua jam, penyajian ceritanya terasa amat pelan, dan kerap jadi membosankan. Sehingga rasanya tidak memancing rasa ketertarikan untuk menyaksikannya lebih dari dua kali.

yana-wara
Courtesy of Cine Aymara Studios © 2024

Padahal, selain aspek budaya yang kental, tema film yang membahas tentang kekerasan seksual pada minor membuka potret bagaimana konsekuensi pahit yang dialami para korbannya. Mereka dianggap tidak bernilai, sehingga tak akan ada lelaki yang mau menikahinya. Alhasil, tragedi “Yana-Wara” sekaligus menggertak penonton saat suatu adegan dalam film ini memperlihatkan janin yang dikeluarkan dari aborsi yang dilakukan pada Yana-Wara.

Selain itu, ada bagian cerita yang cukup menarik buat saya. Biasanya kan di suatu pengadilan, akan ada pihak yang menuntut dan yang dituntut. Goal dari pengadilan tersebut adalah bagaimana bisa memastikan memberikan keadilan bagi kedua pihak. Disini, cerita agak sedikit lain. Ketika Evaristo sedang dipertimbangkan hukumannya, pengadilan tiba-tiba memutus hukuman buat tim penuntut.

yana-wara
Courtesy of Cine Aymara Studios © 2024

Terlepas dari itu semua, faktor lain keunggulan film ini adalah gaya penceritaan yang dipakai. Film ini kerap tidak memperlihatkan semua situasi yang biasa kita temukan dalam film-film biasanya. Disini, kamera hanya akan terfokus pada subjek utamanya, ataupun ketika ingin memberikan penekanan tertentu pada penonton. Misalnya, pada adegan pengadilan komunitas, shot hanya difokuskan pada adegan penyidangan, penonton tidak dapat mengetahui sebesar apa ruangan yang digunakan. Ataupun juga kesan misteri terasa menonjol ketika misalnya hanya memperlihatkan karakter yang berbicara, namun diambil dari belakang.

Alhasil, saya tidak merekomendasikan “Yana-Wara” jika anda mencari suatu tontonan yang menghibur, yang sebatas untuk menyenangkan hati ataupun menarik untuk disaksikan bersama-sama. Saya rasa, “Yana-Wara” lebih tergolong sebagai memori budaya, yang sebetulnya lebih menarik bukan karena ceritanya, tetapi lewat eksplorasi dan tampilan unsur-unsur budaya yang menarik untuk dicermati di sepanjang filmnya.

Yana-Wara (2024)
104 menit
Drama, Mystery
Director: Tito Catacora, Oscar Catacora
Writers: Oscar Catacora
Full Cast: Luz Diana Mamani, Cecilio Quispe, Juan Choquehuanca, Irma D. Percca, José D. Calisaya, Francisco F. Torres, Alipio Pauro, Felix R. Tique, Hilaria Catacora, Justina B. Navarro, Edwin F. Riva, Ecker Ramos, Fernando Ichuta, Hernan Crisisto, Ruben Perca
#842 – Yana-Wara (2024) was last modified: Desember 15th, 2024 by Bavner Donaldo