Terpilih sebagai salah satu pengisi segmen Jakarta Film Week 2024, film ini menjadi salah satu yang memikat saya dengan mudah sebagai pilihan tontonan. “Sumpah Pocong Lintang dan Bayu” merupakan salah satu tribut dalam mengenang Hendrick Gozali, produser film Indonesia yang berpulang di tahun ini.
Kisah diawali dengan setting dua desa, yang disebut Dukuh Atas dan Dukuh Bawah. Keduanya berada dekat dengan Gunung Merapi. Diketahui, kedua desa ini memang tidak dalam kondisi yang rukun. Cerita kemudian memperkenalkan penonton dengan sosok Lintang dan Bayu, diperankan oleh Yessy Gusman dan Rano Karno, yang diceritakan sedang bersiap menjalankan aksi pertunangan.
Menariknya, keluarga keduanya adalah terpandang, dan diharapkan bisa menciptakan kerukunan lagi untuk kedua desa. Mengingat keduanya belum resmi menikah, mereka dilarang untuk melakukan hal suami-istri, dan diminta bersabar 6 bulan menunggu. Malang, sesuai kegiatan pertunangan itu, Lintang tiba-tiba mual.
Awalnya, keluarga tidak menampik kecurigaan. Akan tetapi, seiring berjalannya cerita, Lintang menunjukkan kondisi yang semakin aneh. Tiba-tiba perutnya membesar dan dikira hamil. Warga pun menuntut Lintang dan Bayu, sekaligus memberikan tuduhan pada keduanya. Dugaan ini membuat keduanya melakukan sumpah pocong. Sehabis sumpah pocong, Bayu malah menderita kencing berdarah dan pembesaran buah zakar. Keduanya malah mendapat ujian yang mampu mengagalkan pernikahan keduanya.
Sepintas, “Sumpah Pocong Lintang dan Bayu” terlihat seperti sebuah film horor. Nyatanya, tidak. Film ini malah akan banyak bercerita tentang drama akan pertentangan Lintang dan Bayu dalam membuktikan kebenaran mereka. Hal ini yang menjadi menarik dalam penceritaan yang ditulis oleh Djasman Djakiman dan Hamzah Hussein.
Film ini disutradarai Ismail Soebardjo, dan merupakan produksi PT Garuda Film dan Telefilm Enterprise. Kolaborasi produksi Indonesia-Malaysia ini membuat film ini mengusung aktor asal Malaysia, Sabri Fadzli, yang memerankan sosok Sawung. Sawung adalah karakter yang menjadi sahabat kecil Lintang dan Bayu. Dalam sesi QnA, Charles Gozali bertutur jika karakter Sawung sengaja dibuat hidup karena dapat memicu amarah buat penonton dari Negeri Jiran.
Bicara settingnya, kehidupan pedesaan dipilih dan membangun rasa budaya yang tentunya lebih kental, ketimbang mengambil sisi perkotaannya. Setting yang juga terbilang sudah lampau dan kadang tidak terlalu relate dengan kekinian, membuat penonton akan pecah tawa dengan aksi para tokoh yang memicu pertanyaan. Misalnya saja, jika dikaitkan dengan masa kini, tentu Lintang dan Bayu tidak perlu melakukan sumpah pocong, cukup langsung menikah dan siap dilabeli shotgun wedding ataupun married by accident.
Akan tetapi, melihat pada masa tersebut akan terasa begitu berbeda. Sumpah pocong yang dihadirkan dalam film ini lebih dari anggapan suatu pembuktian berbau relijius, tapi bagian dari tradisi. Menariknya, sumpah pocong kadang masih digunakan hingga kini, seperti yang dilakukan sosok yang tertuduh akan kasus Vina di Cirebon yang kini telah difilmkan dalam “Vina: Sebelum 7 Hari.”
Buat saya, menyaksikan klasik seperti ini perlu amat diapresiasi, apalagi mengingat sulitnya mengakses film-film lama Indonesia, yang terbilang amat terbatas judulnya pada platform-platform daring. Versi yang saya saksikan juga terbilang masih terawat baik, walaupun banyak inkonsistensi warna yang saya temukan. Banyak adegan yang mengalami yellowing, sehingga butuh restorasi perbaikan. Sebab, bila mencari film ini dari platform online, Anda akan menemukan versi yang lebih terang, walaupun tidak menawarkan ketajaman seperti yang saya saksikan disini.
Saya cukup setuju dengan ungkapan Charles Gozali yang menjelaskan bila “Sumpah Pocong Lintang dan Bayu” adalah sebuah rekaman memori masa lampau, yang amat sulit di remake jikalau mau menjadi relevan dengan situasi masa kini. Akhir kata, film yang bukan horror ini memberikan pengalaman menonton yang menarik. Bukan karena dramanya, namun lebih tentang memahami persepsi dan ketabuan masyarakat di jaman tersebut.