Sampai Jumpa, Selamat Tinggal. Dua sebutan dengan makna perpisahan yang berbeda, namun dibalut menjadi satu. Yang satu bisa bermaksud akan bertemu lagi, sedangkan yang satu bisa benar-benar jadi suatu perpisahan. Sutradara sekaligus penulis Adriyanto Dewo menggunakannya sebagai judul dalam memotret kisah pencarian harapan dari para pengelana yang bertahan di luar negeri.
“Sampai Jumpa, Selamat Tinggal” mengawali cerita dengan memperlihatkan penonton dari balik seorang perempuan yang mengenakan jaket kulit andalannya. Kemudian, kita akan mengenali sosoknya sebagai Wyn, diperankan oleh Marino. Ia kemudian menjumpai seorang laki-laki yang sedak mabuk alkohol, yang kemudian duduk teler di salah satu sudut kota Seoul.
Sepertinya esoknya, ketika hari baru dimulai, pria tersebut sedang menikmati sarapannya di sebuah restoran Indonesia. Tak lama, karakter Wyn juga memasuki restoran yang sama, ketika pria tersebut baru saja meninggalkan tempat tersebut. Wyn kemudian bertanya pada pemilik restoran akan sebuah tempat yang Ia cari. Arahan itu malah membawanya untuk mencolek pria misterius itu, yang ternyata bernama Rey, yang diperankan oleh Jerome Kurnia.
Pertemuan pertama keduanya terasa datar. Wyn harus cukup sabar menangani jawaban-jawaban seperlunya dari Rey, plus gaya ketusnya. Wyn meminta tolong Rey untuk mencarikannya tempat, sampai akhirnya berujung pertemuan perempuan itu dengan Anto, seorang penetap lama yang diperankan oleh Kiki Narendra, yang kemudian akan mengisi cerita dengan sedikit humoris lewat celetukan-celetukan kecilnya.
Tujuan Wyn sebetulnya ingin bertemu dengan Dani Hutomo Putra, sosok yang diperankan oleh Jourdy Pranata, kekasihnya yang entah hilang kemana. Upayanya tersebut juga membawa sosok Vanya, sang pemberi kerja bagi para imigran gelap, yang diperankan Lutesha, masuk ke dalam kisah. Apakah Wyn berhasil mendapatkan harapannya?
Film “Sampai Jumpa Selamat Tinggal” merupakan salah satu film yang sudah lebih dulu terpilih sebagai salah satu kandidat pada Festival Film Indonesia 2024, sebelum nantinya dirilis di bioskop. Hasilnya, film ini berhasil mendapatkan sebuah nominasi Aktris Pendukung Terbaik bagi Lutesha. Film ini kemudian juga terpilih menjadi pembuka Jakarta Film Week di tahun edisi keempatnya. Saya rasa, pilihan ini setidaknya melanjutkan kesuksesan film “Budi Pekerti,” dalam menutupi kekecewaan ketika dipilihnya “Balada Si Roy,” dua tahun sebelumnya yang terasa sebagai suatu adaptasi klasik gagal.
Film ini bertema tentang harapan dari mereka yang terpinggirkan. Wyn berharap akan kepastian sepeninggalnya sang kekasih. Rey menanti harapan akan kehidupannya yang kini suram dan hanya bertahan. Begitupula Dani yang mencari harapan akan kehidupan baru. Setidaknya ketiganya tidak seperti Vanya, yang sudah lebih dulu letih akan berharap.
Harapan-harapan ini kemudian dirangkai dari kisah perjalanan di salah satu kota di Korea Selatan, yang nantinya akan membawa penonton seraya menyaksikan drama Korea, namun dengan dialog film yang mengusung kombinasi Bahasa Indonesia dan Korea. Penyajian pun terasa meyakinkan, berkat pemilihan warna tone hangat dalam menyajikan hirup pikuk kota tersebut, sekaligus menawarkan keindahan bangunan-bangunan landmark kota itu. Melihat ini, saya jadi teringat dengan video musik K-Pop yang memang sering menjual materi sejenis ini.
“Sampai Jumpa Selamat Tinggal” terbilang jadi satu tontonan dengan penyajian minimalis namun terasa maksimal. Keterbatasan ini kadang amat terlihat, terutama saat film ini mencoba menampilkan set klub malam misalnya, yang sepintas mengingatkan saya dengan sinetron akhir 90-an. Untungnya, kekurangan ini tidak akan terlalu mempengaruhi pengalaman saya menyaksikan film ini.
Kunci keberhasilan “Sampai Jumpa Selamat Tinggal” amat terasa dalam penyajian ceritanya. Film yang berdurasi 109 menit ini terkesan membawa penonton lewat dialog-dialog lugasnya, termasuk dengan upaya bercerita banyak tanpa dialog. Apa yang dihadirkan, tanpa ucapan, amat mudah membangun asumsi penonton akan jalan cerita yang dimaksud.
Dari penokohannya, sosok Wyn yang impulsif, gak neko-neko, sekaligus pemikir pendek, terasa jadi materi karakter yang mudah dihadirkan Putri Marino. Marino, yang saya kenal lebih dulu dalam “Posesif” dan “Cinta Pertama, Kedua dan Ketiga” seakan melahap kesulitan karakternya dengan mudah. Ia tampil dengan amat mencuri perhatian lewat dialog yang kadang pendek, namun emosional dan dalam. Misalnya saja saat Ia marah-marah pada Dani, “Kamu gak bilang akan pergi. Gak susah kok bilang selamat tinggal. Jadi aku bisa siap-siap. Gak susah kayak gini. Capek.”
Begitupula dengan karakter Rey, sosok pria yang hilang harapan, sehingga membuat dirinya kaku, jutek, dan menjadi pecandu alkohol. Jerome Kurnia sekali lagi membuat saya terpana, dalam makna positif, seperti ketika Ia berhasil membuat kita kesal lewat karakter antagonisnya pada “Like & Share.” Disini, Ia cukup totalitas menggambarkan perawakan Rey yang acak-acakan, namun setidaknya kadang masih bisa diandalkan.
Terbilang sebagai film dengan jumlah pemain inti tidak terlalu banyak, membuat “Sampai Jumpa Selamat Tinggal” juga mudah diikuti ceritanya. Yang paling mencuri perhatian saya adalah saat Lutesha muncul. Karakter Vanya digambarkan layaknya Cruella de Vil ala cewek gaul yang senang menghirup vaporizer, yang senang memanfaatkan orang sekaligus permasalahan mereka. Buat Vanya, Ia hanya akan hadir selama bisa mendapat keuntungan. Tak cuma materiil, tapi kadang juga tubuh.
Penyajian tema yang didalami film ini juga perlu diapresiasi. Mulai dari potret kehidupan menjadi imigran gelap di negeri orang, yang mengantarkan kita dengan sosok penyalur gelap sekaligus aksi kejar-kejaran petugas imigrasi. Yang paling menarik buat saya adalah eksplorasi kejatuhan yang membawa karakter-karakternya dalam situasi yang tidak baik saja. Ekstrimnya, mereka terjebak dalam pekerjaan gelap, kecanduan sampai mau menghalalkan segala cara. Semuanya demi satu alasan: bertahan. Jebakan ini jadi hal yang melaraskan harapan yang sudah pupus, sekaligus membuatnya seakan tak ada resiko yang perlu diperhatikan.
Aspek unggul lain yang patut tidak dilewatkan adalah tata musik yang dari Lie Indra Perkasa. Saya merasa latar musik terasa cukup sejalan dengan dramatisasi yang dihadirkan, terutama ketika musik yang kadang bernuansa alunan drama, juga adanya iringan alat musik petik, sampai aransemen musik internal dalam bentuk tepukan-tepukan yang cukup seru dinikmati.
Pada saat membuka penayangan sebagai film pembuka, salah seorang produser film ini menyebut jika pembuatan film ini cukup menyenangkan. Kesan ini juga saya rasakan sebagai penonton. Cukup menyenangkan. “Sampai Jumpa Selamat Tinggal” tidak sama sekali membuat saya ingin beranjak dari kursi. Walaupun dari segi plot mudah tertebak, film ini tergolong bisa dinikmati berulang-ulang. Saya saja sampai masih mengingat dialog pendek yang menutup kisahnya: “Goodbye, Rey. Goodbye, Win. Cari aku. Iya, aku pasti cari kamu.” Menutup tulisan ini, sekalipun jatuh, selama masih ada harapan, masih akan ada semangat untuk menggapainya.