Jika tahun lalu penonton dihibur dengan cerita biografi The King of Rock and Roll dalam “Elvis,” sekarang adalah giliran cerita mantan istrinya. Melalui “Priscilla,” sutradara Sofia Coppola akan membawa penonton ke dalam kehidupan Elvis Presley sekali lagi, sekaligus menambah kenangan sang superstar dari sudut pandang sisi terdekatnya.
Cerita “Priscilla” akan bermula pada periode akhir 1950-an di Jermat Barat, ketika seorang gadis bernama asli Priscilla Beaulieu, diperankan oleh Cailee Spaeny, dikunjungi seorang perwira AS bernama Terry West untuk mengajaknya ke sebuah pesta di rumahnya. Yang membuat spesial, Terry mengenal Elvis Presley, diperankan oleh Jacob Elordi, dan Ia akan hadir disana. Tapi tidak semudah itu. Priscilla yang masih kelas 9 meminta Terry untuk menanyakan kepada orangtuanya. Alhasil, Ia pun menghadiri pesta tersebut.
Pertemuan pertama keduanya di rumah Terry, seakan menjadi love at first sight buat keduanya. Elvis semakin jatuh hati pada gadis yang masih dibawah umur ini, dan Ia pun makin serius. Akan tetapi, Priscilla yang masih dini cukup sulit untuk meyakinkan kedua orangtuanya, sampai-sampai Elvis yang turun langsung meminta ijin untuk berkencan.
Setelah masa tugas militer Elvis selesai, Ia kembali menjadi penyanyi dan aktor di Amerika Serikat. Priscilla pun suatu kali diajak untuk menghabiskan liburannya di Graceland, julukan tempat tinggal Elvis Presley. Disana, Ia berkenalan dengan keluarga Elvis. Mulai dari neneknya, ayahnya, sampai sepupunya yang juga sekaligus bekerja disana.
Ketika Ia kembali ke Jerman Barat, Priscilla yang tengah mabuk cinta meminta kedua orangtuanya agar Ia dapat tinggal di Graceland. Agar lebih meyakinkan, Elvis pun yang kemudian menjabarkan segala jaminan yang Ia berikan, termasuk menyediakan pendidikan Katolik bagi Priscilla sampai Ia lulus. Beruntungnya, Priscilla mendapat restu sekali lagi, dan mulai masuk ke dalam sisi terdekat Elvis Presley.
Cerita yang dihadirkan dalam “Priscilla” sebetulnya bukan sebuah hal yang baru. Film ini merupakan adaptasi dari sebuah buku autobiografi Priscilla Presley di tahun 1985 yang berjudul “Elvis and Me.” Priscilla sendiri masih hidup, dan Ia pun turut serta sebagai executive producer di film ini. Adaptasi kemudian dibuat dan disutradarai oleh Sofia Coppola, putri Francis Ford Coppola yang karya-karyanya telah dikenal seperti “Lost in Translation,” “Marie Antoinette,” hingga “The Virgin Suicides.”
Secara penyajian, apa yang hadir dalam “Priscilla” akan terfokus pada periode Priscilla dan Elvis berkenalan, sampai kepada babak perceraian keduanya di tahun 1973. Perjalanan yang hampir dua dekade tersebut mayoritas akan tertuju pada perjalanan cinta keduanya. Saya amat menyukai bagaimana “Priscilla” membawa penonton untuk melihat sisi Elvis yang lain. Elvis adalah sosok dominan, terbukti bagaimana Ia mengatur segalanya, termasuk bagaimana Priscilla berpakaian. Saya merasa lucu ketika menyaksikan Priscilla yang kemudian geram karena Elvis yang mengomentari pakaian printing yang dikenakannya terasa tidak cocok. Di film ini pun bercerita, jika rambut hitam Priscilla yang khas itu merupakan salah satu masukan Elvis.
Yang jadi poin menarik selanjutnya adalah sosok Elvis yang berupaya menjaga imannya ketika berpacaran dengan Priscilla. Walaupun keduanya sudah tinggal dan sekamar bersama, Ia selalu menolak ajakan Priscilla untuk bersenggama dengannya. Ia yang akan menentukan kapan waktu yang tepat, ujar Elvis. Alhasil, seluruh janji Elvis pada orangtua Priscilla ditepati olehnya.
Akan tetapi, dari segala tampilan glamor hidupnya, Priscilla juga tidak baik-baik saja. Ia harus mengalami serangkaian kekerasan dari Elvis, yang cukup temperamen, namun setelah itu secara instan akan langsung meminta maaf. Yang jadi masalah, Ia pun terlibat kecanduan obat tidur sampai narkoba, sebagaimana yang dilakukan oleh suaminya. Semuanya ini akan dibahas disini.
Secara penyajian, “Priscilla” hadir dengan sebuah tontonan sinematik yang elegan. Saya menyukai elemen editing dalam film ini, seperti selingan-selingan dalam opening credits. Begitu pula dengan upaya Coppola untuk menghadirkan kembali adegan-adegan yang sepertinya diambil dari rekaman home video dan menyajikannya serupa di dalam layar.
Penonton akan dibawa lagi ke Graceland, dan masuk melihat serangkaian barang-barang custom milik sang legenda, termasuk piyama dan karpet yang menggunakan inisialnya. Selain Graceland, saya menyukai penggambaran ketika Elvis dan Priscilla sedang bermain ice skating bersama-sama, ataupun ketika keduanya sedang saling menghabiskan waktu dikamar dengan saling berfoto.
Berbeda dengan karya Baz Luhrmann yang banyak menghadirkan hits-hits Elvis, “Priscilla” justru lebih banyak membawa tembang lawas sebagai pelengkap ceritanya. Sebut saja lagu “Going Home” dari Alice Coltrane, “Sweet Nothin’s” dari Brenda Lee, sampai “A Fool for You”-nya Ray Charles. Coppola terbilang cerdik mengingat Ia tidak mendapatkan hak cipta untuk sebagian besar lagu Elvis Presley. Track yang paling menarik untuk saya adalah ketika “I Will Always Love You” versi orisinil dari Dolly Parton, seraya menutup cerita film ini. Judul ini terasa pas untuk mengungkapkan perasaan Priscilla yang mengakhiri perkawinannya dengan Elvis.
Bicara dari penampilan pemainnya, saya amat menyukai akting Cailee Spaeny. Spaeny hadir dengan begitu fenomenal, bagaimana Ia mengingatkan saya dengan penampilan Austin Butler ketika Ia memerankan Elvis Presley. Keduanya punya sama-sama kesamaan dalam pengamatan saya: tampil lebih memikat dari tokoh aslinya. Tak heran, “Priscilla” yang dirilis sebagai official selection Venice Film Festival ini sudah memenangkan kategori Best Actress, dan tentu jadi salah satu nama yang patut dipertimbangkan dalam musim penghargaan tahun ini.
Ngomongin musim penghargaan tahun ini, saya menjagokan “Priscilla” untuk beberapa kategori seperti Best Adapted Screeplay, Best Production Design, Best Editing dan Best Actress in Leading Role. Di sisi lain, ada beberapa kategori yang saya rasa menjadi kuda hitam untuk film ini, termasuk Best Actor in Supporting Role, Best Director, dan Best Costume Design.
Terlepas dari penyajiannya yang menarik untuk disaksikan, “Priscilla” sebetulnya masih punya kelemahan dari ceritanya. Film ini terasa kurang punya konflik utama yang memuncak. Entah apa karena begitu banyak kejadian yang perlu dimasukkan dalam film ini, membuat penonton akan menyaksikan serentetan kejadian, dengan konflik-konflik kecil yang secara langsung terselesaikan. Yang pasti, upaya Coppola dalam menghadirkan “Priscilla” terasa mengalir seru saja, terutama bila Anda penggagum sosok Elvis ataupun penikmat kisah kehidupan selebritas.