Setelah sekian lama bertengger dalam watchlist saya, akhirnya kesampaian juga untuk menyaksikan film asal Thailand ini. “Happy Ending” yang juga dikenal dengan judul “Jaifu Story” menawarkan empat kisah cinta dari seorang penulis yang sedang mengalami writer’s block. Sekali lagi, kombinasi Pachara Chirathivat dan Prueksa Amaruji menawarkan tontonan yang sepertinya terlihat guaranteed menghibur.
Film ini mengawali kisahnya dengan memperkenalkan penonton pada sosok Diao, diperankan oleh Pachara Chirathivat, yang merupakan seorang penulis skenario. Kondisi Ibu yang membutuhkan ventilator jantung, membuat Ia harus menunggu berhari-hari di depan area ICU. Masalahnya, Ia sedang stuck. Tak tahu cerita apa yang perlu ditulis, sementara Ia sedang dikejar-kejar.
Sampai suatu ketika, datanglah perempuan unik bernama Bua, diperankan oleh Phantira Pipityakorn, yang meramaikan kondisi depan ICU. Lucunya, Bua membawa sederet bangku tunggu, melihat kondisi tak ada lagi bangku baginya. Lantas, Ia membaca buku mantra sambil berdoa untuk seseorang yang sedang Ia tunggu. Bua pun lalu berkenalan dengan Diao. Sampai akhirnya, sang penulis menawarkan naskahnya untuk dibaca Bua.
Film ini adalah kolaborasi ketiga dari sutradara dan penulis Prueksa Amaruji dengan Pachara Chirathivat. Setelah amat menghibur saya dengan tontonan “Bikeman” dan “Bikeman 2,” Pachara muncul dengan karakter yang lebih dewasa, kaku, dan tidak selucu biasanya. Menjadi Diao, saya justru lebih terpesona dengan fokus empat cerita yang dibawakan karakternya.
Benang merah dari keempat cerita yang dihadirkan adalah masalah cinta. Cinta antara laki-laki dan wanita, kasih sayang pada keluarga, dengan ragam ending yang berbeda-beda. Agar lebih relevan, kondisi Covid-19 dan social distancing menjadi faktor penambah keseruan cerita. Misalnya saja bagaimana pandemi membuat dua orang bisa jatuh cinta dari gedung yang berbeda. Ataupun, adanya kebijakan Covid-19 di Tiongkok yang malah membangun hubungan sepasang remaja dari dunia yang berbeda.
Dari segi penyajian, penceritaan yang dihadirkan terasa begitu mulus. Penonton akan masuk dalam satu cerita ke cerita lainnya, dengan diberikan pola penghubung melalui selingan Diao dan Bua. Setelah itu, film masuk ke cerita yang lain, sampai seluruh cerita berhasil disampaikan.
Aspek komedi jadi faktor utama keberhasilan “Happy Ending.” Dari sketch dengan punchline sederhana seperti penggunaan password berisi ‘I Love You,’ sampai tentang penderita alzheimer yang kadang memecah suasananya. Baiknya, penyajian ini didukung dengan aspek musik yang mendukung, walaupun tidak sepenuhnya amat jenaka.
Kombinasi ini jadi sepadan dengan cerita-cerita romansa di dalamnya. Yang paling amat saya sukai dari “Happy Ending” adalah keragaman akhir dari setiap ceritanya. Ada yang open ending, sad ending, as expected dan unexpected. Yang paling berkesan buat saya adalah cerita ketiga, yang memadukan sedikit fantasi dalam kisahnya.
Dari sisi penampilan, “Happy Ending” yang sudah menawarkan banyak karakter, terlihat dari poster film ini, ternyata memberikan penampilan ensemble yang cukup menarik. Poin entertaining dari film ini begitu terasa, yang membuat durasi 100 menit film ini tidak begitu terasa. Alhasil, “Happy Ending” patut jadi sebuah rekomendasi tontonan di akhir pekan. Film Thailand ini menawarkan cerita yang dengan mudah dapat dinikmati siapa saja. Nice!