Awalnya, film ini berangkat sebagai perpisahan Hayao Miyazaki dengan para penggemarnya. Akan tetapi, semenjak judul “How Do You Live?” akan dirilis di tahun 2023 mendatang, “The Wind Rises” lebih cocok disebut sebagai tribut terbaik dari Miyazaki. Melalui film ini, penonton akan diajak untuk berfantasi sekaligus masuk ke dalam kehidupan Jiro Horikoshi, salah seorang desainer pesawat terbang asal Jepang.
Kehidupan Jiro Horikoshi, yang disuarakan oleh Hideaki Anno, lahir sebagai seseorang yang amat menyukai pesawat. Dalam kehidupannya, Ia senang berfantasi. Salah satunya adalah bertemu dengan sosok Giovanni Battista Caproni, desainer pesawat favoritnya, yang disuarakan oleh Mansai Nomura, yang sering muncul di dalam pemikiran Jiro.
Kisah Jiro yang berawal di masa Perang Dunia pertama ini kemudian berlanjut ketika Ia mulai memasuki bangku kuliah. Ia menempuh pendidikan teknik penerbangan di Tokyo Imperial University, dan di suatu kisah, Ia menyelamatkan seorang gadis bernama Nahoko di tengah bencana Gempa Kanto.
Dari segi cerita, apa yang ditawarkan Miyazaki terbilang berbeda dengan film-film sebelumnya. Jika sebelumnya fantasi yang dihidupkan Miyazaki sangat menggelora, “The Wind Rises” terbilang mendapatkan perlakuan yang berbeda. Ini semua mengingat kisah yang diangkat Miyazaki merupakan kombinasi cerita novel ‘The Wind Has Risen’ karangan Tatsuo Hori yang digabungkan dengan kehidupan Jiro Horikoshi. Alhasil, jadilah sebuah biografi fiksi dengan sentuhan sedikit fantasi.
Terlepas dari kesan fantasi, “The Wind Rises” justru lebih banyak menendang dari segi kehidupan Jiro. Mulai dari bagaimana Ia memulai kariernya, kisah cintanya dengan Nahoko, sampai kisah sepak terjangnya dalam mendesain Mitsubishi A5M. Cerita ini pun setting Jepang yang banyak dibahas pada masa Perang Dunia kedua, termasuk bagaimana para insinyur ini melakukan inovasi di dunia penerbangan.
Seperti biasanya, apa yang saya amat sukai dari film-film Ghibli adalah score soundtracknya. Di film ini, musik yang kembali digawangi oleh Joe Hisaishi kembali akan membuat penonton takjub dengan iringan manis piano ataupun musik orkestra yang mengalun hangat. Yang paling saya sukai adalah track ‘Nahoko’ dan ‘A Journey’ yang disajikan dalam banyak versi oleh Hisaishi.
Oh iya, “The Wind Rises” bukanlah sebuah animasi segala usia. Walaupun film ini sebetulnya punya rating PG-13, saya merasa film ini tergolong sebagai animasi untuk dewasa. Cerita yang dihadirkan terasa amat berbeda dengan film-film lainnya, misalnya amat kontras dengan “Ponyo” ataupun “Kiki’s Delivery Service.”
Alhasil, “The Wind Rises” merupakan sebuah tribut tragis yang indah. Sebagai sebuah tribut, film ini lebih memperkenalkan siapa sosok Jiro Horikoshi kepada dunia. Akan tetapi, dari sisi drama, kisah fiksi ini akan membawa penonton tentang ketekunan, integritas dan kesetiaan lewat rentetan setting yang cukup tragis. Beautifully insane!