Untuk orang Asia seperti saya, kesan perbudakan telah menjadi bagian dari pelajaran Sejarah. Tak heran, semua berkat masa imperialisme dan kolonialisme di masa lampau. Akan tetapi, bila menilik di masa modern ini, kesan tak bebas ini ternyata masih ‘menghinggapi’ banyak orang. Seperti klaim dalam opening title-nya, “Dreamer” mau mengupas cerita perbudakan masa kini.
Film ini akan membawa penonton lewat setting dari sebuah wilayah perbatasan Meksiko bernama Puebla. Penonton akan berkenalan dengan Jesus, diperankan oleh Ari Lopez, yang gemar bermain bola. Jesus yang bercita-cita untuk menjadi pemain bola dari daerahnya, tiba-tiba terbuai dengan ajakan untuk bermain di sebuah klub sepakbola di Los Angeles.
Parahnya, bekal brosur tersebut ternyata malah membawanya ke salah satu rumah besar di kota itu. Sesampai disana, Ia seperti masuk ke dalam sebuah goa, yang berisi dengan puluhan manusia. Ternyata, Ia masuk ke dalam kandang singa. Jesus ikut terjebak dengan laki-laki dan perempuan dibawah umur lainnya. Mereka diperbudak untuk menjadi pekerja konveksi ilegal.
Masalahnya, perlakuan yang diberikan terasa tidak pantas. Orang-orang tersebut hanya tidur layaknya ikan pepes, berjejer satu sama lain tanpa kasur. Belum lagi dengan ketersediaan kamar mandi kotor yang dipakai ramai-ramai. Makanan yang seadanya, dan bekerja dengan penuh ketegangan. Semuanya dianggap berdasarkan asas kebersamaan. Oh shit!
Film “Dreamer,” yang juga dikenal dengan judul lain “Bonded” merupakan karya Mohit Ramchandani. Film yang didedikasikan untuk Chandra ini, terasa cukup menyakitkan untuk disimak. Cerita yang dihadirkan sepanjang 126 menit akan membawa penonton ke dalam perjalanan Jesus untuk kembali lepas dari perbudakan yang menimpanya.
Satu hal yang membuat ceritanya menjadi sulit oleh karena karakter Jesus yang mungkin tidak dapat saya simpulkan, namun Ia tidak melakukan dialog sama sekali. Kesan ini malah menambah rasa perbudakannya meningkat, mengingat betapa tidak berdayanya Jesus. Celakanya, penokohan Jesus membuat saya sedikit kesal. Jesus kadang hadir dengan kebodohan yang mungkin memang disengaja untuk membuat ceritanya seru.
Walaupun dari segi penampilan, Ari Lopez terbilang piawai dengan totalitas akting yang diperlihatkannya. Saya merasa ada yang salah dari segi penokohan. Karakter Jesus yang dibangun terasa kurang berhasil untuk membangun simpati dari penonton lewat ketidakberdayaannya.
Dari segi penyajian, saya menyukai bagaimana setting yang diperlihatkan kumuh, kotor, sesak dan pengap, begitu berhasil ditangkap oleh kamera. Ini belum termasuk dengan efek makeup, yang amat bekerja, hampir di seluruh bagian film, untuk menciptakan dramatisasi pasca aksi kekerasan yang terjadi.
Oke, sebelum semakin jauh, Anda perlu menyadari jika “Dreamer” terbilang quite disturbing. Walaupun bukan sebuah horror, kesan tekanan yang dihadirkan cukup terasa, dan memberikan experience yang kadang tidak enak dirasakan. Di sisi lain, ini membuktikan bagaimana Ramchandani berhasil membawa pesannya. Cuma saja, banyak adegan kekerasan dan penyiksaan yang mengingatkan saya seperti “12 Years A Slave.”
“Dreamer” juga menyentil bagaimana perbudakan modern yang terjadi masuk ke dalam perlindungan yang sistemik. Di film ini, penonton akan berkenalan dengan officer Stevens, yang diperankan oleh Jason Patric, yang akan mewakili kalangan polisi. Langkah Stevens, yang sudah mencium bau busuk dari keanehan rumah besar yang dilihatnya itu, malah harus sempat terjegal oleh sang atasan. Kalau penjahatnya malah dilindungi yang berwenang, maka korban harus kemana?
Dari sekian banyak adegan di film ini, yang paling membuat saya cukup terfokus adalah ketika upaya pelarian diri Jesus, yang melalui serangkaian hide-and-seek, sekaligus aksi kejar-kejaran di tengah kota. Pengambilan gambar yang juga diambil secara tracking menghidupkan kesan aksi yang cukup membangun adrenalin penonton. Menurut saya, pengemasan adegan panjang ini terasa begitu smooth dan entertaining.
Terlepas dari semuanya, “Dreamer” kurang berhasil menggapai ekspektasi saya. Akan tetapi, upaya realis yang berusaha dihadirkan akan masalah perbudakan modern, patut menjadi perhatian semua orang. Cuma saja, saya rasa ini bukan tontonan untuk semua. Mengingat terdapat beberapa adegan kekerasan yang mungkin sangat amat membuat seseorang tertekan, jangan Anda coba sebagai pilihan tontonan bersama keluarga tercinta.