Bayangkan bila Anda suatu ketika berada di sebuah tempat yang membuat Anda sebagai seseorang asing. Hal ini tentu akan sangat berbeda ketika Anda berada dalam lingkungan dimana Anda memang terasa familiar. Melalui “The Quiet Migration,” penonton akan dibawa pada situasi ini dari seorang Carl.
Carl, yang diperankan oleh Cornelius Won Riedel-Clause, merupakan seorang pemuda yang tampak merupakan keturunan Korea. Tanpa cerita yang pasti, singkatnya, Ia merupakan seorang anak dari sepasang suami istri kewarganegaraan Denmark. Sekilas, kehidupannya terasa biasa. Di usia 19 tahunnya, Carl ikut membantu Ayah angkatnya untuk mengurus pertanian keluarga kecilnya.
Walaupun terasa tidak ada yang begitu spesial darinya, potret keluarga Carl terasa unik. Kedua orangtua memilih mengadopsi seorang anak dari budaya yang berbeda. Alhasil, Carl harus hidup di tengah keberadaannya yang terlihat asing. Ia pun mulai mengeksplorasi identitas dirinya.
Secara penyajian, apa yang dihadirkan sutradara Malene Choi dalam film ini sebetulnya terasa mengena. Choi mengangkat bagaimana sentimen rasis akan minoritas yang kerapkali terjadi di Eropa. Tak hanya dari masyarakat sekitar yang back mouthing melalui bahasa asli mereka, tetapi juga mencakup keluarga. Potret ini yang dialami Carl, hingga seberbaur apapun yang Ia lakukan, tetap akan tampak berbeda.
Masalah keluarga juga akan membuat drama “The Quiet Migration” menjadi semakin merumit. Kekhawatiran sang Ibu semenjak adanya perubahan dalam diri Carl, membangun kewaspadaan agar membuatnya tidak kehilangan putra angkatnya tersebut. Di sisi lain, sang Ayah harus menjalani perawatan kesehatan dan mulai harus meninggalkan pekerjaannya sebagai petani.
Secara penyajian, “The Quiet Migration” mengalir dengan kesan minimalis. Akan tetapi, film ini akan menggelegar penonton lewat keindahan shot-shot yang terasa begitu arthouse dalam scene yang mungkin terasa biasa. Terasa biasa namun terlihat tidak biasa. Hal inilah yang saya rasakan ketika merasakan treatment kamera 270 derajat ketika karakter Marie menyandarkan kepalanya pada Carl.
Kesan minimalis ini terasa dari bagaimana pengambilan secara statis dari jauh, yang digawangi sinematografer Louise McLaughlin, yang akan memukau penonton melalui keindahan alat-alat pertanian modern di Eropa. Hal ini pun semakin diperkuat dari bagaimana tone color yang grainy dari penyajian gambar yang kadang diselingi beberapa scratch untuk memberikan rasa klasik. Terlepas dari keindahan, bila Anda sadari, terasa begitu banyak simbolisasi yang disematkan dalam cerita ini.
Sayangnya, saya merasa penampilan yang dihadirkan kurang begitu mengena. Konsep cerita coming-of-age yang dihiasi dengan kesan fantasi kurang berhasil dihidupkan oleh pemeran utamanya. Alhasil, tidak ada sesuatu yang berkesan dari penampilan akting ensemble cast-nya. Padahal, premis “The Quiet Migration” sebetulnya terasa begitu menjanjikan.
Bicara sekilas tentang kehidupan multikultural, fenomena yang dialami Carl dapat terbilang sebagai representasi dari anak-anak Asia yang diadopsi oleh orang Amerika ataupun orang Eropa. Sebut saja bagaimana keberadaan perang saudara di Korea maupun Vietnam, yang kini membangun generasi Asia pertama di Amerika Serikat. Menariknya, apa yang disajikan “The Quiet Migration” adalah cuplikan yang tak terlihat dari dokumenter-dokumenter fenomena sosial tersebut.
Alhasil, film yang berjudul asli “Stille Liv” ini akan mengisi section Panorama di Berlinale Festival mendatang, sebagai bagian dari world release-nya. Film ini terbilang adalah beberapa sinema dari Denmark yang saya saksikan, setelah “Babette’s Feast” ataupun “Another Round.” Walaupun belum banyak Danish film yang saya eksplorasi, cerita coming-of-age ini terasa dikemas indah, termasuk bagaimana sepakatnya saya dengan cara film ini menutup ceritanya. Ini adalah sebuah upaya penormalan dari keasingan. Pada akhirnya, penghargaan akan keberagaman inilah yang akan menentukan bahwa tidak ada yang salah untuk menjadi berbeda dan bisa menyatu.