Berangkat karena diperankan oleh salah satu aktris favorit saya, Viola Davis, membangun rasa penasaran. Sekilas, bila hanya melihat posternya, sedikit mengingatkan saya dengan ‘Xena: Warrior Princess.’ Tapi, ternyata, apa yang dihadirkan oleh “The Woman King” akan membawa anda dengan apa arti dibalik definisi the strong woman.
Film ini akan terfokus tentang kehidupan suku Dahomey, salah satu suku terkuat di Benua Afrika. Kini, wilayah yang didiami Dahomey telah berubah menjadi Benin. Film ini akan membawa Dahomey di salah satu masa kejayaannya, ketika Raja Ghezo, yang diperankan oleh John Boyega, naik tahta. Raja yang punya banyak istri ini ternyata berhasil berkat kerjasamanya dengan jenderal perangnya, Nanisca, yang diperankan oleh Viola Davis.
Melihat hubungan antara Nanisca dan Ghezo terasa menarik. Ghezo seakan hadir sebagai sosok yang bijak, yang tahu betul siapa yang harus Ia dengan. Disisi lain, Nanisca hadir dengan sosok yang kuat, yang mampu diandalkan, dan punya dedikasi yang tinggi untuk bangsanya. Dinamika ini membuat keberadaan tentara dibawa Nanisca amat memiliki respek dari bangsanya. Prajurit-prajurit perempuan ini disebut sebagai Agojie.
Film ini kemudian akan membawa penonton pada kisah yang lain. Kita akan menjumpai Nawi, gadis yatim piatu yang berusia 19 tahun, diperankan oleh Thuso Mbedu, yang baru saja mengalami masalah. Ia menolak untuk dikawinkan dengan saudagar tua oleh ayah angkatnya. Karena dianggap tidak tahu terima kasih, ayah angkatnya pun mempersembahkan Nawi pada Raja. Hal ini berujung dengan perkenalan Nawi dengan Agojie. Disinilah cerita bermula.
Mengangkat cerita tentang Agojie ternyata berhasil membuat “The Woman King” terasa begitu mengesankan. Ceritanya, film ini berawal dari kepergian Maria Bello ke Benin, yang kemudian mendengar kisah tentang Agojie. Ide ini berhasil dirampungkan menjadi film dan luar biasanya jadi layaknya suguhan dari para wanita. Selayaknya seperti “She Said,” film ini ditulis oleh Maria Bello dan Dana Stevens, serta disutradarai Gina Prince-Bythewood, yang artinya benar-benar hadir dari sudut pandang perempuan.
Menarik, “The Woman King” bukan film kaleng-kaleng. Saya melihatnya film ini sebagai sebuah tribut bagi budaya Afrika, terutama menghidupkan kembali sosok wanita-wanita Afrika yang perkasa, namun lewat perspektif Hollywood. Rasa ini yang mengingatkan saya ketika menyaksikan film-film lama di era klasik dengan setting Asia, tetapi diperankan oleh para bule. Sebut saja seperti “Anna and the King” ataupun “The Good Earth.”
Bila Anda sadari, dalam pemberian nama pada kedua karakter utama di film ini sebetulnya berasal dari orang yang pernah hidup. Nanisca diambil dari salah satu nama Agojie yang pernah tercatat oleh seorang tentara Perancis di tahun 1889. Sedangkan Nawi, merupakan anggota terakhir dari Agojie yang pernah hidup. Nawi sendiri sudah tutup usia di tahun 1979 lalu.
Secara penyajian, “The Woman King” sudah akan menggertak bangku penonton sedari awal. Penonton langsung dihadirkan dengan sajian persaingan brutal dari para Agojie dalam melawan kelompok Oyo yang menguasai negeri mereka. Berbekal senjata yang terdiri dari tali, tombak, dan parang, para prajurit perempuan ini dengan mudah menebas segala musuh-musuh yang mereka hadapi. Tak main-main, kepala pun sampai dibuat putus. Semua itu tak lain dan tak bukan untuk memperlihatkan kekuatan mereka.
Yang bikin saya pangling sebetulnya adalah ketika bagaimana barisan anak baru yang menghadapi ujian akhir di depan Raja, sebelum menjadi Agojie. Saya masih terngiang dengan adegan ketika para perempuan itu harus melewati rangkaian duri yang menancap di hampir segala bagian tubuh mereka.
Terlepas dari segala aksinya, unsur drama di film ini juga amat menarik untuk dicermati. Film ini akan mengajak penonton untuk kembali teringat dengan masa-masa penjajahan Bangsa Eropa. Bangsa Afrika sama sekali tidak dilihat sebagai orang, melainkan sebagai komoditas. Yup, komoditas budak. Masalah perdagangan manusia, kekerasan seksual pada perempuan, dan patriarki keluarga Afrika menjadi segelintir isu-isu sosial yang diangkat dalam film ini.
Alhasil, “The Woman King” yang berdurasi 135 menit terbilang sebagai tontonan yang cukup menghibur. Saya amat menikmati penampilan Davis yang amat berwibawa dan sangar di film ini. Tak hanya itu, beberapa pendatang baru seperti Thuso Mbedu, ataupun penampilan supporting-nya seperti Lashana Lynch dan Sheila Atim, terasa cukup mengesankan.
Ensemble cast yang didominasi para aktor-aktris keturuan Afrika ini dapat terbilang sebagai upaya untuk benar-benar mereka ulang periode itu, walaupun sayangnya Bahasa yang digunakan masih menggunakan Bahasa Inggris dengan dialek Afrika. Andai saja bila Bahasa-nya juga menggunakan tutur aslinya, tentu akan memberi nilai otentik ke dalam film ini. Akan tetapi, rasanya mungkin akan sulit. Ya iyalah, namanya juga film Hollywood.