Dalam masa promosinya, saya masih mengingat betul bagaimana komentar saya tentang film ini. “Ga perlu ditonton, dari trailer udah ketahuan jalan ceritanya.”. Akan tetapi, saya pun memutuskan untuk menyaksikannya di layar perak. “Akhirat: A Love Story” menawarkan sebuah cerita yang melebihi trailer-nya ternyata. Ini bukan permainan cerita cinta, tetapi bagaimana memainkan rasa.
Film ini punya premis yang cukup klasik, ketika sepasang orang muda, bernama Timur dan Mentari, yang diperankan oleh Adipati Dolken dan Della Dartyan, yang bertemu kembali dan menjadi sepasang kekasih. Masalahnya, keduanya punya agama yang berbeda. Mentari besar di keluarga yang didominasi sang Ibu dan cukup taat beragama. Di sisi lain, orangtua Timur juga cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berbau gereja. Keduanya sudah menyadari jika restu tidak akan semudah memetik daun.
Pada awalnya, apa yang ditawarkan seperti membawa kita pada tontonan percintaan yang tidak direstui tentang agama seperti “Cinta Tapi Beda” ataupun “Cin(T)a.” Penekanan ini ternyata mengawali bagaimana keduanya akhirnya masuk ke dalam pusat setting cerita, yaitu dunia sebelum akhirat. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Jason Iskandar ini ternyata punya plot yang cukup banting setir. Ketika keduanya masuk ke dunia arwah, agama sudah bukan jadi halangan.
Menariknya, adalah apa yang tidak terlihat di trailer. “Akhirat” menawarkan rasa. Dalam judulnya, ini adalah sebuah cerita cinta. Ternyata, ini tak sebatas percintaan Timur dan Mentari. Lebih dari itu. Bahayanya, saya termasuk yang korban jebakan rasa tersebut. Suguhan kisah-kisah tentang cinta dari para arwah-arwah seperti Wang, yang diperankan oleh Verdi Solaiman, ataupun Edith, yang diperankan oleh Windy Apsari, akan membawa penonton ke dalam tingkatan berikutnya. Tak disangka, film ini berhasil menyentuh emosional saya. Terutama ketika bagaimana lagu hits dari Kunto Aji berjudul “Pilu Membiru” masuk ke dalam adegan paling klimaks di film ini.
Secara penggarapan, dialog yang dihadirkan cukup ringan, dengan permainan situasi yang kadang membuat kita tertawa. Ini belum lagi ditambah dengan suguhan soundtrack manis yang memenuhi film ini. Mulai dari suara underrrated Adikara Fardy yang mirip Michael Buble lewat lagu “Sayup Menjauh,” yang seakan membawa saya ke dalam periode 40-an, serta beberapa track yang dinyanyikan oleh Agustin Oendari dan Ivan Gonjaya, salah satunya “Jarak” dan “Mimpi Semalam.” Dari sisi musik, “Akhirat” punya kemasan yang membuatnya memang pantas untuk dirilis di layar perak.
Dari penampilan, yang paling saya nikmati adalah permainan akting Ayu Dyah Pasha, yang tampil sebagai Ibu Rahayu, yang merupakan Ibu dari Mentari. Karakternya yang keras, sangat dominan, ternyata tetap menunjukkan pesona keibuannya ketika menanti Mentari yang kunjung belum sadar. Selain itu, membahas kedua pemeran utamanya, Dolken dan Dartyan hadir dengan chemistry yang lumayan oke, walaupun masih belum bisa mengalahkan kombo Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo dalam “Ada Apa Dengan Cinta” ataupun Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari dalam “Habibie dan Ainun.”
Sentuhan fantasi dalam film ini juga tidak berlebihan. Saya menyukai konsep yang ditawarkan: mengenai keseimbangan bumi. Keseimbangan yang menjaga keselerasan dalam kehidupan. Konsep malaikat pencabut nyawa yang diperlihatkan juga tidak semengerikan biasanya. Disini, masih terasa kesan baik hati dari para malaikat pencabut nyawa tersebut.
Walaupun sempat membuat saya sedikit bosan di bagian pertengahan, ternyata kisah “Akhirat” yang dikemas manis dan tragis akan mampu memainkan rasa. Rasa duka tentang meninggalkan dan ditinggalkan. Kita akan menikmati dua sudut pandang, yang merasa lebih meninggalkan terbilang lebih mudah dari ditinggalkan, dan kelompok kebalikannya. Alhasil, tak sebatas cinta Timur dan Mentari, tetapi “Akhirat” akan memainkan arti cinta yang lebih luas, terutama bagi mereka yang pernah ditinggalkan dan tahu bagaimana rasanya harus kehilangan.