Ada banyak kesamaan “Avengers” dengan “Eternals,” tetapi yang paling contrast mungkin karena konsepnya yang semakin ala-ala Idol Groups, yang makin banyak. Engga main-main, Eternals terdiri dari 10 karakter yang dipimpin oleh seorang center yang bernama Ajak, diperankan oleh Salma Hayek. Sebagai film teranyar Marvel, “Eternals” juga diyakini adalah film Marvel yang paling condong ke drama semenjak dibesut oleh sutradara terbaik Academy Awards baru-baru ini, Chloé Zhao. Benarkah?
Opening film ini dibuka dengan kemasan ala Star Wars, yang terdiri dari beberapa kalimat, seraya memberi tahu penonton dengan beberapa terms yang paling sering digunakan di film ini: Eternals, Deviant, dan Arishem. Sekedar info, Arishem adalah pemimpin para Eternals, Eternals adalah makhluk yang diciptakan Arishem untuk melindungi planet-planet dari serangan Deviant.
Di film ini, akan ada 10 Eternals. Mulai dari Ajak, pemimpin wanita sekaligus menjadi penghubung tim dengan Arishem. Lalu ada Ikaris, diperankan Richard Madden, yang diduga ‘terkuat’ dengan kekuatan lasernya; Sersi, diperankan Gemma Chan, yang mampu mengubah wujud apapun; Thena, diperankan Angelina Jolie, sebagai pahlawan wanita yang tangguh; Sprite, diperankan Lia McHugh, yang jago mengendalikan ilusi; Phastos, diperankan oleh Brian Tyree Henry, yang ahli kalau urusan teknologi; Kingo, diperankan Kumail Nanjani, superstar yang punya kekuatan bola dari tangan; Makkari, diperankan Lauren Ridloff, si bisu yang gesit secepat angin; Druig, diperankan oleh Barry Keoghan, yang mampu mengendalikan pikiran manusia; sampai Gilgamesh, diperankan Ma Dong-Seok, yang punya kekuatan ala-ala Hulk.
Keragaman kekuatan para Eternals membawa mereka jutaan tahun ke dalam peradaban dunia. Mereka punya tugas utama: mengamankan dunia dari para Deviant. Selama penugasan mereka, juga terdapat larangan: Eternals tidak boleh ikut campur dalam urusan manusia. Dalam film ini, penonton akan dihadirkan dengan banyak masa peradaban: mulai dari jaman Babilonia, Mesopotamia, Aztec, India, sampai masuk ke jaman peradaban modern. Seiring dengan selesainya pertarungan deviant, Eternals pun berpisah dan mencoba hidup dengan menyatu ke dalam peradaban manusia.
Walaupun Eternals bukan dalam sosok manusia, namun Chloé Zhao ingin mengangkat bagaimana manusia-manusia super ini, yang sekian kali lebih pintar dan canggih, bisa menjadi representatif minoritas, kecuali Ikaris. Ikaris dalam pandangan saya digambarkan sebagai sosok mayoritas white-man, dan yang lain ada perwakilan kelompok minor. Sprite mewakili remaja yang ingin dilihat adult; Gilgames, dan Kingo mewakili Asian; Phastos, mewakili Black dan LGBT; Makkari mewakili kaum disabilitias; Thena yang mewakili para pejuang mental health; Ajak sebagai perwakilan latinos; sampai Sersi yang mewakili perempuan Asia.
Keragaman minoritas ini seakan diangkat sebagai bumbu embel-embel yang ingin menghidupkan suasana guna menyingkirkan sentrik minoritas yang selalu terkesan didominasi tipe-tipe Ikaris. Sayangnya, saya menyaksikan yang versi paling alim, versi sensoran Lembaga Sensor Indonesia yang berhasil membuatnya jadi bisa ditonton penonton 13 tahun ke atas. Sedikit ngomongin versi sensor Indonesia, yang paling tragis adalah semua adegan yang dirasa ‘normal’ pun dipotong. Sedih.
Balik ke cerita, film yang dibuat Zhao awalnya memang dikritik karena amat berbeda dengan film Marvel lainnya yang mungkin akan condong dengan aksi dengan dasar cerita yang tidak rumit. Alhasil, setelah punya ekspektasi rendah dengan film ini, saya melihat sebaliknya. Zhao tidak mengemas diversitas yang ingin diangkatnya ke dalam titik yang lebay, yang menurut saya masih dalam porsi yang pas. Setidaknya tidak selebai cara Nia DiNata memasukkan unsur feminis di film-filmnya.
Akan tetapi, yang patut menjadi perhatian adalah durasi. Jujur, durasi di dalam film ini lumayan panjang, namun untuk di tonton di bioskop hampir 3 jam ini terbilang cukup memuaskan. Secara kualitas, apa yang disajikan terbilang menghibur. Saya menyukai bagaimana ide dari film ini tentang pandangan akan peradaban, perang, sampai kaitannya dengan kemajuan teknologi, yang kemudian memberikan kesimpulan tersirat bahwa dunia memang sengaja harus berkembang dengan tidak adanya kedamaian. Masalah itu dibuat agar dunia menjadi lebih baik. Menatap masa pandemi saat ini, sepertinya pesan tersebut masih relevan ya. Adanya pandemi, membuat para scientist berlomba-lomba menciptakan vaksinasi yang lebih ampuh.
Secara keseluruhan, “Eternals” menawarkan suatu paket superhero yang mungkin lebih drama dibanding kelompok superhero yang lain. Opposing majority by celebrating the minorities. Walaupun tidak outstanding, Anda masih bisa kok sedikit-dikit tertawa dengan guyonan ringan di film ini. Saya pun tidak dapat menyebut film ini jelek. Zhao cukup mengemas film ini dengan suasana yang entertaining sekaligus kekuatan bercerita dari visualisasi seperti yang Ia sempat hadirkan seperti di “Nomadland.” Personally, saya mungkin akan menyaksikan versi non-LSI jika nantinya sudah banyak mengudara di Internet. Good!