Ngomongin pandemi, sampai hari ini pun masih jadi misteri. Kapan dunia ini akan resmi bersahabat dengan virus Corona, ataupun mulai memberhentikan status pandeminya, tak ada yang tahu. Pada Cannes Film Festival 2021, sebuah film out of competition berjudul “The Year of the Everlasting Storm” cukup menarik perhatian saya. Bagaimana tidak, ketika 7 sutradara auteur melakukan kolaborasi tentang cerita-cerita yang mereka hadirkan dengan tema pandemi.
Seperti jumlah sutradaranya, ada 7 segment di dalam film ini, yang terdiri dari kisah-kisah pendek yang sebagian diantaranya dikemas sebagai dokumenter, ada yang paduan dokumenter-animasi, ataupula sebagai live action pendek. Dengan berdurasi 115 menit, segment-segment dari film ini memberikan hasil yang cukup beragam buat saya. Ada yang terbilang dikemas cukup kaya, depressing, misterius, sampai abstrak buat saya.
Bagian segment pembuka kita berjudul “Life,” yang mengambil setting di kota Tehran, Iran. Disini, sutradara Jafar Panahi memulai film ini dengan cerita yang dikemas sebagai potret dari bagaimana keluarga mereka berinteraksi di masa pandemi ini. Film yang lumayan minimalis ini terbilang punya penekanan pada simbol dan dialog yang cukup menonjol.
Judul yang bila ditranslasikan sebagai hidup ini akan terfokus pada kedatangan Ibu Jafar ke kediaman mereka, yang diceritakan sudah berada dalam usia yang sangat tua: 90 tahun. Saking cukup parno-nya dengan virus corona, sang Ibu memberi kejutan dengan datang ke kediamannya menggunakan APD. Belum lagi, agar berantisipasi masih dapat melihat anak dari cucu kesayangannya, sang nenek melakukan hal-hal pencegahan virus yang terlihat lumayan kocak. Mulai dari menyemprot handphone saat mau melakukan video call dengan cucu, tidak mau dekat-dekat dengan Iguana tua peliharaan Jafar yang bernama Iggy, sampai ketika Ia sudah menyiapkan warisan peninggalan jikalau Ia meninggal nanti.
Yang menarik dalam segmen pertama ini adalah bagaimana Jafar menggali kiasan hidup dari sang Ibu, si iguana, dan belum ditambah lewat penggunaan burung dan telurnya yang akan segera menetas di halaman kecilnya. Saya menyukai bagaimana kisah ini berakhir dengan hangat. Luar biasanya, perekaman dalam segment ini menggunakan kamera smartphone yang direkam baik dari Jafar ataupun istrinya, Tahereh. Dengan editing yang menawan, memang memperlihatkan bagaimana kemampuan penerima Palme D’or dua kali ini bisa menyulapnya jadi sesuatu tayangan kaya makna.
Segment yang juga layak untuk diperhatikan adalah “The Break Away,” besutan sutradara asal Singapura, Anthony Chen, yang terfokus pada kehidupan sebuah keluarga kecil yang melakukan aktivitas sehari-harinya akibat terdampak pandemi. Lewat setting di kota Tongzhow, Tiongkok, dan membagi ceritanya lewat bagian hari pertama dan selanjutnya, memperlihatkan bagaimana begitu banyak dampak kehancuran dari sebuah keluarga karena pandemi.
Yang membuat menarik tentu karena kedua karakter utama yang disusun juga terbilang pas. Sang Suami, Wu, diperankan oleh Zhou Dongyu, terbilang sosok yang sabaran tapi tidak telaten mengatur anak dan kadang menggangap remeh; harus berhadapan dengan istrinya, Xiaomei, yang diperankan oleh Zhong Yu, yang semakin hari merasakan kehancuran tanpa ada yang bisa dia andalkan. Kombinasi ini menjadi amat menarik untuk disimak, apalagi ketika Wu yang selalu berusaha mengurai konflik tapi sebetulnya juga sedang amat tertekan.
Dari dua segment terbaik di film ini, juga ada beberapa segment-segment lain yang patut jadi perhatian. Segment “Terror Contagion” yang bersetting di kota New York, juga pantas disimak. Disini, penonton akan diajak untuk tegang lewat sebuah investigasi mengenai kejahatan yang diduga dilakukan oleh NSO Group, salah satu perusahaan asal Israel yang mengembangkan aplikasi Pegasus. Masalahnya aplikasi ini telah mampu meretas banyak individu, terutama tokoh politik dan jurnalis, dan beberapa diantaranya dihadirkan pada bagian ini.
Kalau yang terakhir, mungkin saya akan merekomendasikan segmen “Dig Up My Darling” oleh David Lowery yang bersetting di kota Texas. Disini penonton akan berkenalan dengan seorang wanita paruh baya, yang terlihat hidup nomaden, dan suatu ketika menemukan sebuah rak berisi surat-surat. Sepanjang film ini narasi dalam surat-surat tersebut akan memenuhi bagian ini, seiring wanita tersebut memulai perjalanannya dalam memecahkan misteri tersebut.
Sebagai sebuah anthology, memang ada beberapa yang terasa kurang mengena buat saya. Misalnya versi Weerasethakul yang memang amat cocok ditaruh di bagian paling akhir dan cocok menjadi obat tidur buat saya. Selain segment milik Weerasethakul, yang paling membosankan adalah “Little Measures.” Mungkin, dengan maksud kemasan yang terasa artistik lewat mengkombinasikan rekaman-rekaman video call yang kadang juga tidak lancar dengan animasi adalah eksperimen yang mungkin berhasil. Buat saya, malah melelahkan mendengar percakapan yang putus-putus, walaupun seperti memberikan kesan yang lebih realis.
Akhir kata, “The Year of the Everlasting Storm” cukup mampu menggambarkan bagaimana pandemi corona mengubah hidup banyak orang dan menjadi representasi masa saat ini. Ada yang semakin takut dengan kematian, ada yang melakukan social distancing, ada yang tertekan dengan pekerjaannya, sampai-sampai mengkritik masalah surveillance sebagai ancaman kejahatan yang akan semakin membabi-buta di masa mendatang.