Awalnya, saya mengira bila film ini menawarkan suatu tontonan dengan genre metal yang cukup kental. Mungkin sekilas, saya coba menyambungkan dengan yang sempat saya saksikan dalam “Heavy Trip.” Namun, ternyata, apa yang saya pikirkan tanpa membaca sinopsisnya ternyata amat berbeda. “Sound of Metal” menghadirkan suatu drama berlatar tema music, namun berkisah dengan perjalanan melawan disability. Mungkin, jika anda menikmati cerita “The Miracle Worker” ataupun “The Diving Bell and the Butterfly,” film ini masuk ke kategori serupa.
Pusat perhatian dari film ini adalah Ruben, diperankan oleh Riz Ahmed. Ia bersama kekasihnya, Lou, yang diperankan oleh Olivia Cooke, hidup di sebuah van sambil melakukan konser road trip mereka dari satu kota ke kota lainnya. Singkat cerita, pasangan yang sudah menjalani hubungan selama 4 tahun ini, sekaligus berkarir bermusik, harus mendapatkan musibah. Pasalnya, Ruben tiba-tiba mulai mendapati jika pendengarannya hilang. Tentu, ini akan mengacaukan bagaimana mereka mencari nafkah sehari-hari.
Ujian ini tidak segampang yang dibayangkan. Ruben mencoba mendatangi dokter yang malah memberi tahu jika kemampuan mendengarnya terbilang cukup cepat berkurang. Dokter pun menginformasikan bila Ruben mau, Ia memiliki pilihan untuk memasang alat bantu dengar, dengan biaya yang cukup besar. Pertimbangan akan dana dengan pendengaran yang semakin berkurang akhirnya membawanya untuk ke sebuah komunitas tuli.
Tiba disana, Ia diterima oleh Joe, seorang veteran Vietnam yang diperankan oleh Paul Raci. Joe merupakan pimpinan komunitas tersebut, yang berisikan para orang tuli, yang juga bisa dibilang pusat rehabilitasi. Masalahnya, pindah kesana tidak bisa seenak Ruben. Ia harus meninggalkan keduniawiannya, sekaligus merelakan Lou. Perjalanan untuk menerima kenyataan menjadi episode-episode pahit berikutnya untuk Ruben.
Secara penceritaan, the art storytelling dalam film ini terasa begitu kuat. Mulai dari cerita yang dikemas Darius Marder, Abraham Marder, and Derek Cianfrance, yang mengkombinasikan dialog dan juga bahasa isyarat. Baiknya, tanpa subtitle, film ini akan agak sedikit memaksa saya untuk memahami bahasa isyarat tersebut, dan tidak terlalu menghadapi hambatan dalam mencernanya. Pengemasan cerita ini kemudian terasa cukup menarik ketika film tidak hanya memperlihatkan penonton dengan beberapa sudut pandang. Sudut pandang Ruben tentunya jelas, ketika film ini menghadirkan kekuatan mixing suara yang membuat penonton bisa merasakan apa yang dirasakan Ruben lewat inaudible dialogue. Akan tetapi, film ini tidak hanya akan terasa tanpa dialog, kadang, ketika lewat sudut pandang orang ketiga, kita akan tetap menikmati adegan seperti biasanya.
Secara penyajian, apa yang dihadirkan Darius Marder cukup mengena. Hal ini terlihat dari upaya Marder yang amat berhasil untuk menghidupkan emosi dan stress kepada penonton. Film ini juga sedikit menyadarkan saya, bahwa dalam tingkatan yang lebih sederhana dan aplikatif, apa yang dirasakan Ruben terasa serupa dengan kita. Ketika kita mendapatkan suatu masalah, penolakan adalah jadi hal yang wajar sekaligus langkah mencari pemecahan masalah. Alternatif solusi kemudian ditemukan, dengan sedikit iming-iming. Ketika alternatif solusi dilakukan, ternyata iming-iming tersebut bisa belum tentu sesuai dengan ekspektasi awal. Alhasil, yowis dinikmati. Tidak ada pilihan lain. Kurang lebih ini adalah analogi hemat saya untuk menggambarkan bagaimana plot “Sound of Metal.”
Dari sisi akting, saya cukup menyukai penggambaran karakter Ruben oleh Riz Ahmed. Ahmed amat berhasil membangun kesan emosional dari karakter keras yang kadang cukup temperamen. Ledakan-ledakan emosi di awal ternyata pelan-pelan menyusut seiring mulai adanya ‘penerimaan.’ Kesan ini cukup kentara seiring menyaksikan film ini.
Dari sisi pendukung, mungkin yang cukup signifikan disini adalah sosok Joe yang diperankan Paul Raci. Walaupun tidak akan muncul di sepanjang film, namun Raci sangat cukup amat berkharisma sebagai pemimpin komunitas. Di tengah menyaksikan film ini, saya sedikit mengira bila Raci bisa bertindak temperamen seperti sosok Terence Fletcher dalam “Whiplash.” Ternyata, kasar terlihat dari luar, karakter ini tidak se-strict yang saya bayangkan. Penampilan Raci di film ini juga menarik, ketika Ia bisa memerankan seorang lip reader dan memainkan bahasa isyarat dalam adegan-adegan di film ini.
Sebagai salah satu gacoan Amazon Studios pada awards season tahun ini, saya akan cukup menjagokan film ini untuk beberapa kategori. Diantaranya: Aktor terbaik, Aktor Pendukung terbaik, Sound Mixing terbaik, Sutradara terbaik, dan mungkin Best Original Screenplay.
Secara keseluruhan, apa film ini patut ditonton? Jika anda penikmat drama, tentu! Jika anda penikmat metal, saya tidak akan terlalu ingin menjatuhkan ekspektasi Anda, namun film ini tidak menawarkan kesan musik yang banyak. “Sound of Metal” sebetulnya amat baik untuk dijadikan sebuah bahan perenungan akan apa yang akan kita lakukan ketika menimpa hal yang sama atau sejenis. Karena pada intinya, solusinya adalah seperti sugesti dari Joe: “As you know, everybody here shares in the belief that being deaf is not a handicap. Not something to fix. It’s pretty important around here [sambil menunjuk kepalanya].” Jadi, memang tidak akan semudah diucapkan mulut, namun faktor nerimo adalah yang penting, bagaimana merubah mindset kita. A powerful drama!