Menjadi salah satu box office di negeri asalnya, film yang satu ini bikin saya cukup penasaran. “The Hows of Us” tidak hanya menjadi bomb, tetapi juga berhasil menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa di perfilman Filipina. Mengusung genre romance comedy, penonton akan dibawa ke dalam cerita George dan Primo.
George, diperankan oleh Kathryn Bernardo, adalah seorang mahasiswa kedokteran. Ia tinggal bersama tantenya, Tita Lola, diperankan oleh Susan Africa. Singkat cerita, Ia jatuh hati dan berpacaran dengan pria seumurannya bernama Primo, yang diperankan oleh Daniel Padilla. Sosok Primo yang perfeksionis, pantang menyerah dan punya determinasi tinggi berhasil membuat Jo, panggilan sayangnya, klepek-klepek. So, this is where the story began.
Sebelum meninggal, kehadiran Primo sudah cukup mendapat approval dari Tita Lola. Ia mewariskan rumah miliknya untuk mereka berdua. Singkat cerita keduanya tinggal bersama, dan menghadapi beragam gelombang-gelombang kehidupan. Sampai akhirnya, pertengkaran memicu Primo untuk keluar dari rumah. 2 tahun kemudian, George yang sudah berusaha move on harus bertemu kembali dengan Primo yang memutuskan untuk tinggal di rumah yang diwariskan padanya.
Sutradara Cathy Garcia-Molina menghadirkan sebuah cerita yang terbilang renyah, yang membawa kita terbuai dengan kedua pemeran utama dan lupa dengan durasi film ini yang hampir 2 jam. Ceritanya yang mengurai kehidupan para orang muda, terutama dalam mengejar mimpi dan ambisi, terlihat begitu jelas dari 2 karakter utama di film ini.
Baiknya, pemilihan cast kedua pemeran utama yang sebetulnya juga real couple terbilang amat membantu menghidupkan suasana ceritanya. Padilla dan Bernardo cukup piawai memerakan sosok George dan Primo, bagaimana penonton tidak hanya diperlihatkan momen-momen manis melulu, tapi sampai perkelahian yang menguras emosi. Chemistry keduanya memang begitu baik. Mengalir selayaknya, di kala senang, ataupun ketika keduanya tidak bersama. Selipan-selipan komedi yang diberikan di film ini juga terbilang cukup berhasil, terutama George yang sering salting disini.
Saya amat memuji penampilan Kathryn Bernardo disini. Sosok George yang mudah ketebak, sangat berhasil terlihat bagaimana Ia berupaya menutupi-nutupi segala kekhawatiran, ataupun bagaimana Ia berusaha mengalahkan hatinya. Melawan hati ini yang buat saya jadi poin plus, ketika Ia bisa memperlihatkannya dalam adegan demi adegan yang berjalan begitu natural. Namun, puncaknya, saya amat menyukai momen ketika George meluapkan kekesalannya pada Primo. Dari sana, dalam hati saya bergumam, ‘That’s a real deal!’
Selain ceritanya yang begitu mengalir, saya menyukai music yang ditawarkan film ini. Mulai dari classic track “Kahit Maputi Na Ang Buhok Ko” Ray Valera yang dihadirkan di awal film, dan dinyanyikan kembali dengan versi yang lebih sendu dari Moira Della Torre. Di sepanjang film juga ada lagu OPM yang menarik, misalnya seperti “Malay Ko” yang dinyanyikan Daniel Padilla.
Oh ya, film ini juga hampir serupa dengan beberapa film Filipina ataupun pola yang mirip kita temukan di film Indonesia, yakni shooting di luar negeri. Ada beberapa adegan akhir film ini yang diambil di Amsterdam, yang terkesan ‘menjual keindahan’ kota Amsterdam. Namun, terlepas dari rasa promosi, film ini berhasil dikemas dengan sinematografi Noel Teehankee yang terasa manis.
Ada banyak kutipan-kutipan menarik dari dialog-dialog yang ada film ini. Tapi ada satu kutipan dari Awee, teman kerja George yang cukup berkesan: “Because absence makes the hearts strokes fonder, but presence puts the heart in danger.” So far, ini tontonan yang keren buat saya. “The Hows of Us” benar-benar tidak menyia-nyiakan waktu saya. Magnificent!