Satu lagi adaptasi #1 New York Times Bestseller tahun 2012 yang diangkat ke layar lebar. Dengan mengambil latar belakang penderita kanker sebagai pemeran utamanya, “The Fault in Our Stars” memiliki kisah yang tergolong bagi young adult cukup mengeksplor tema cinta, perjuangan, dan kehidupan.
Selama lebih dari 120 menit, penonton akan dihadapkan pada sosok karakter utama, Hazel Grace Lancaster, yang menjalani sebuah kehidupan yang lebih menyenangkan baginya ketika bertemu dengan seorang pemuda berkaki satu yang bernama Augustus Waters. Keduanya bertemu pada salah satu sesi kelompok sharing, yang sebetulnya cukup membosankan bagi Hazel. Hazel, yang diperankan oleh Shailene Woodley hanya terpaksa menjalani pertemuan tersebut, demi membahagiakan kedua orangtuanya.
Hazel menderita penyakit kanker tiroid stadium empat dan Ia termasuk salah satu orang yang berhasil menjadi bahan percobaan untuk pengobatan penyakitnya yang langka. Untuk itu Ia harus berjuang dengan satu paru-parunya, dan menggunakan selang yang disebut canula yang berfungsi memberi oksigen pada dirinya. Di sisi lain, Augustus, yang dipanggil Gus, diperankan oleh Ansel Elgort, entah kenapa sangat tertarik dengan Hazel. Singkatnya, cinta pada pandangan pertama.
Menyaksikan film ini menghadirkan suasana yang dimulai dengan cukup menyenangkan. Keduanya akan memperlihatkan masa-masa yang menyenangkan, terutama ketika keduanya jalan-jalan ke Amsterdam, hingga masuk ke puncak cerita. Kisah yang diadaptasi dari novel Brian Green ini cukup mampu menawan dari awal hingga akhir, dengan sedikit sentuhan komedi, yang membuatnya seperti menceritakan sebuah kisah sedih dengan gaya menyenangkan, sebuah satir untuk diri sendiri.
Dari penampilan pemeran utamanya, Woodley dan Elgort tampil cukup menarik. Keduanya yang sama-sama berperan dalam “Divergent” sebagai kakak-adik, sekarang tampil sebagai pasangan yang saling mencintai. Keduanya hadir lebih natural, lebih berani dan cukup serius memerankan karakter yang memiliki karakteristik cukup kuat. Khususnya pada Woodley, Ia menampilkan sebuah penampilan yang lebih baik dari “Divergent”, tetapi masih kalah baik dari “The Descendant.” Dari para pendukungnya, hanya sosok Willem Dafoe sebagai Peter Van Houten yang cukup memorable, karena Ia akan hadir sebagai sosok antagonis yang akan cukup menyebalkan.
Film ini disutradarai oleh Josh Boone. Ini adalah film kedua Boone, setelah film “Stuck in Love.” Yang perlu diapresiasi adalah kerja keras Boone untuk memvisualisasikan film adaptasi ini dengan sangat rapi, mengalir, dan menyentuh. Editing dalam film ini perlu dipuji, lewat penyajian cerita yang diatur dengan pas dan cukup memainkan emosi penonton. Selain itu, departemen musik dalam film ini juga perlu diapresiasi untuk menghidupkan tontonan yang cukup menyedihkan ini dengan track-track yang cukup menyatu dengan kisahnya.
Ada sebuah kalimat yang cukup berkesan dari Hazel di dalam film ini, “But Gus, my love, I cannot tell you how thankful I am for our little infinity. I wouldn’t trade it for the world. You gave e a forever within the numbered days, and I’m grateful.” Menyaksikan film ini cukup mengingatkan saya pada “A Walk to Remember” tetapi pada versi yang lebih tragis, namun diceritakan dengan gaya yang lebih menyenangkan, walaupun sebetulnya sangat menyedihkan.