Berbekal kisah revolusi modern Filipina, apa yang ditawarkan film ini menjadi begitu otentik. “Reminiscences of the Green Revolution” menyajikan sebuah penuturan apa adanya akan cinta, semangat perlawanan, dan hubungan para anggota the green monkeys. Yang menjadi lebih menarik, semua penuturan di film ini diceritakan oleh tokoh yang telah tiada.
‘The dead don’t just dead,’ begitu penuturan Yung Martin, seorang aktivis muda yang diperankan oleh Abner DeLina Jr. Ia memulai cerita dengan narasi yang tak henti, yang pada akhirnya akan menyadarkan penonton jika Ia telah tiada. Awalnya, Ia akan membawa kita untuk berkenalan dengan keempat tokoh sentral The Green Monkeys. Ada Jess, yang merupakan pemimpin, dan Ia ditemani seorang perempuan English-speaking bernama Adrienne, yang juga menjadi salah satu otak operasi organisasi mereka. Selain keduanya, kita juga akan mengenal sosok Emilia, perempuan yang mengambil keperjakaan Martin; serta Eddie, salah satu rekan yang Ia benci di penghujung kehidupannya.
Martin akan menceritakan kisahnya, sebagaimana ditulis oleh sutradara Dean Colin Marcial, tanpa menyadari adegan yang dipertontonkan merupakan reka ulang detik-detik menuju kematiannya. Marcial seperti menggabungkan dua hal berbeda, yang kemudian menyatu. Pengambilan gambar film ini didominasi dengan unsur gelap, dan yang saya sukai adalah semangat pemberontakan yang dilakukan kala itu. Oh iya, film ini bersetting di tahun 2001, disaat para pemuda di Filipina sedang melakukan aksi perlawanan secara damai dengan menggelar EDSA II, yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Joseph Estrada sebagai presiden.
Lalu, dimana peran the Green Monkeys? Organisasi hijau ini lebih terfokus ke dalam pelestarian lingkungan. Mereka memerangi penebangan liar, penguasaan demi kapitalisasi, sampai eksploitasi alam. Dalam bagian turut serta dari aksi EDSA II, mereka melancarkan upaya untuk penguasaan sebuah tambang emas yang mengancam kerusakan sebuah gunung.
Okay, kita stop ngomongin politik sampai disini. Apa yang sebetulnya bisa kita tangkap disini ada 2 hal: masa hidup dan kematian Martin. Kita akan menyaksikan detik-detik sebelum Ia menghembuskan napas terakhirnya, sekaligus dengan penjabaran akan pemikirannya pasca meninggal. Film ini sebetulnya merupakan sebuah kisah cinta. Full stop.
“Reminiscences of the Green Revolution” tahu bagaimana film ini harus menggantungkan penontonnya. Disaat mood saya semakin terfokus dengan cerita yang sudah dibangun, film ini tahu kapan saatnya untuk berhenti tanpa mengurangi rating penilaian penontonnya. Penggarapan dan eksekusi yang baik. Film pendek berbahasa Tagalog yang dirilis pertama kali di Toronto International Film Festival ini terasa cukup spesial, ketika kita akan menikmati sebuah penuturan jujur suatu arwah akan cerita cintanya dan semangat berjuang semasa hidup, serta sebuah refleksi setelah kematiannya. An honest and well-explained confession from a spirit!