Penantian saya terjawab. Sebagai salah satu film yang paling layak ditunggu di akhir tahun ini, film yang satu ini memang kudu tidak boleh dilewatkan. Bukan hanya karena jebolan terbaru Martin Scorsese saja; ini juga merupakan ‘reuni’ kecil para aktor mafia legendaris Robert De Niro, Joe Pesci dan Al Pacino yang menjadi bintang utamanya. “The Irishman” merupakan sebuah mahakarya yang bercerita akan pengakuan seorang mafia berjuluk ‘The Irishman’ yang bernama Frank Sheeran.
Awalan film ini dimulai dengan tampilan sebuah rumah panti jompo yang diselingi dengan lagu lawas ‘In the Heat of the Night’ yang kemudian membawa penonton ke seseorang pria sepuh yang kemudian kita kenali bernama Frank. Frank Sheeran, yang diperankan oleh Robert De Niro, memulai cerita bagaimana Ia bisa masuk ke dalam dunia mafia. Selanjutnya, narasi Sheeran akan terus menghiasi film ini dan mengiring penonton ke dalam cerita antar periode bab-bab kehidupannya.
Sheeran adalah seorang supir truk yang mengantar pasokan daging ke beberapa restoran. Suatu saat, mesin truk yang dikendarainya tidak dapat menyala dan membawanya ke sebuah perhentian tempat bensin. Tak disengaja, Ia bertemu dengan seorang pria yang membantunya mengatasi masalah mesin truknya. Pria ini kemudian akan dikenali sebagai Russell Bufalino, diperankan oleh Joe Pesci, yang nantinya dikenal sebagai ketua mafia daerah tersebut.
Apa yang menjadi begitu menarik? Bufalino tampak down-to-earth. Walapun dengan perawakan tubuh yang relatif lebih kecil, Ia memiliki kekuatan yang besar. Ia menguasai hampir sebagian besar usaha-usaha, menyelesaikan masalah pertikaian yang ujung-ujungnya dibawa kendalinya, sampai memutuskan apakah seseorang yang menjadi target pembunuh sudah layak untuk dihabiskan. Menariknya, Frank Sheeran mampu menjadi salah satu tangan kanannya, guna melancarkan segala aksi ‘bersih’-nya.
Yang lebih menarik, sebetulnya film ini diangkat dari sebuah kisah nyata Frank Sheeran, dari memoirnya yang ditulis oleh Charles Brandt. Lewat judul ‘I Heard You Paint Houses,’ buku yang diterbitkan pada tahun 2004 ini sebetulnya mengungkap misteri dibalik hilangnya salah satu tokoh perburuhan USA, Jimmy Hoffa, yang menghilang di tahun 1975. Cerita ini kemudian diadaptasi oleh Steven Zaillian, penulis yang sudah cukup dikenal untuk karya-karya adaptasinya seperti “Awakenings,” “Schindler’s List,” ataupun “Moneyball.” Disini, Zaillian membawa cerita Sheeran dengan detil yang cukup banyak, namun dengan periode yang kadang tidak terlalu jelas.
Dengan gaya penceritaan bolak-balik, “The Irishman” mungkin terasa tidak cocok buat penonton yang hanya mencari sekedar hiburan. Menyaksikan film ini, penonton perlu ketahanan untuk mau menyaksikan ceritanya yang berdurasi lebih dari 3,5 jam. Belum lagi termasuk dengan banyak dialog dan karakter yang begitu banyak di film ini. Cukup sulit untuk menghafal nama-nama didalamnya saat menikmatinya, sebab saya hanya terfokus pada 4 hal saja: tiga karakter utama ditambah keluarga Sheeran.
Sekali lagi Scorsese membuktikan kepiawaiannya sebagai storyteller ulung. Gebrakannya untuk merilis di platform online, tetap membuat “The Irishman” terlihat unggul dari segi-segi teknisnya. Mulai dari bagaimana sinematografer Rodrigo Pieto saat memasukkan slow motion ataupun gaya walking shot yang dipadu dengan penggambaran yang selalu dengan kesan rapi dan hangat; ataupun saat hasil editan Thelma Schoonmaker yang terasa begitu mengalir yang kadang tampak luwes ketika masuk ke dalam dialog-dialog serius. Cerita yang banyak memperlihatkan banyak era ini, hadir dengan set-set yang digarap serius, juga kostum karya Christopher Peterson dan Sandy Powell yang membawa kita kembali dengan suasana kehidupan mafia Italia di Amerika. Impressive!
Selain itu, make up dan hairstyling film ini juga patut mendapat perhatian. Bagaimana tidak, film yang mengusung tiga aktor senior ini mampu menyulap mereka menjadi lebih muda dan tua. Saya tidak menyangka, ketika Robert De Niro masih bisa dibuat menjadi 20 tahun lebih muda dari usianya saat ini yang hampir memasuki usia 80. Dalam catatan saya, bila diperhatikan kembali, De Niro hadir dalam 6 periode berbeda, dan Pesci di 5 periode berbeda.
Baiknya lagi, ternyata usia tidak menjadi penghalang. Penampilan De Niro, Pesci dan Pacino di film ini membuktikan bagaimana ketiganya bisa cukup solid dengan kualitas akting penuh jaminan. Tentu berkesan ketika mempertemukan kembali kedua pemeran utama film “The Godfather: Part II” ke dalam layar yang sama, lalu mensandingkan dengan pemeran Tommy DeVito dari film “Goodfellas.” Dari ketiganya, saya lebih terfokus dengan bagaimana cara Pesci bisa memainkan karakternya untuk mengendalikan cerita film ini. Saya terpukau terlepas dari posisinya sebagai ketua mafia, Ia masih dirasa cukup bijak dalam menasehati Sheeran, terutama bagaimana Ia cukup concern dengan hubungan Sheeran dengan keluarganya. Respect is earn for him.
Sudah menjadi salah satu contender kuat pada awards season tahun ini, “The Irishman” mungkin akan sedikit cukup sulit untuk menjadi yang terbaik, mengingat cerita yang tidak mudah dipahami dan diikuti. Akan tetapi, “The Irishman” merupakan salah satu film terbaik yang pernah saya tonton. It’s fuckin’ good!