Mungkin terasa sudah begitu lazim ketika film-film horror tanah air menggabungkan beragam unsur mistis, yang berangkat dari sosok-sosok hantu lokal yang ada di Indonesia. Sebut saja: pocong, kuntilanak, sampai jenglot; telah menghiasi layar perak kesayangan kita yang kadang mudah dilupakan bagai ditelan bumi. Akan tetapi, berbeda dengan tayangan horror yang buat saya terbilang mainstream, Joko Anwar merilis film terbarunya, “Perempuan Tanah Jahanam” yang sebetulnya sangat berbeda jauh dengan apa yang ditawarkan “Gundala.” Berbeda jauh yang saya maksud adalah dari tema dan genre ceritanya.
Sedari opening credits, film ini sudah menghadirkan suasana yang cukup sarat dengan mistis, lewat alunan suara tradisional yang lumayan mencekam. Cerita film diawali perkenalan penonton pada kedua pegawai gardu tol, Maya dan Dini, diperankan oleh Tara Basro dan Marissa Anita, yang sedang menghabiskan kesepian mereka saat bekerja dengan bercakap-cakap melalui voice call. Maya mengungkapkan bagaimana Ia resah saat disebut perek karena jam pulang kerjanya yang selalu tengah malam; bagaimana Ia mengkritisi nasib pekerjaannya yang mungkin sebentar lagi akan diambil alih oleh teknologi; ataupun mengenai sosok seseorang pengemudi aneh yang selalu berulang kali mengambil karcis di loketnya.
Curhatan tersebut ternyata berujung dengan kehadiran pria pengemudi aneh tersebut. Pria pengemudi aneh yang baru selesai dari loket tiba-tiba berusaha untuk mendatangi Maya. Ia panik dan alih-alih meminta Dini untuk menolongnya. Parahnya, setelah menakuti Maya, pria tersebut kembali ke mobilnya dan mengambil sebuah parang panjang. Sontak Maya berusaha lari, kabur dan pria tersebut akhirnya tewas akibat tembakan polisi.
Menariknya, pria misterius yang diperankan oleh Teuku Rifnu, sempat mengutarakan nama Rahayu dan kedua nama yang tidak asing buatnya serta sebuah lokasi: desa Harjosari. Pria tersebut juga sempat melukai betis Maya. Setelah peristiwa mengerikan tersebut, kedua rekan sejawat ini kemudian menjalankan sebuah usaha bisnis pakaian. Cuma Maya tetap masih penasaran. Ia membuka kembali sobekan luka di betisnya dan menemukan sebuah gulungan kertas yang berisi tulisan bahasa Jawa kuno. Ia pun mengaitkan misteri tersebut dengan foto peninggalan sang bibi. Ditemani Dini, Maya pun menjalankan petualangannya ke Harjosari dengan setumpuk harapan, alih-alih masih memiliki aset peninggalan orangtuanya demi bertahan hidup di kota.
Ini merupakan kolaborasi kesekian kalinya Joko Anwar dengan Tara Basro, setelah yang pernah saya saksikan di “A Copy of My Mind,” “Pengabdi Setan,” dan “Gundala.” Yang agak sedikit berbeda, Basro terbilang semakin berani di depan layar, misalnya ketika pengambilan adegan buang air kecil Maya yang sama sekali dibuat senatural mungkin, tanpa memainkan sudut-sudut untuk menutupi bagian tertentu. Sayangnya, walaupun telah banyak memerankan banyak karakter di film Anwar, saya merasa Tara Basro patut disandingkan dengan Tom Hanks. Ini bukan karena kualitas akting yang diperankan, cuma saya merasa tidak ada perbedaan yang signifikan ketika Basro memerankan beragam jenis karakter.
Dari jajaran castnya, kehadiran Marissa Anita sebagai Dini cukup jadi penyeimbang yang baik untuk Maya. Karakter Dini yang tidak mau ribet dan cukup materialistis terbilang lumayan diperankan. Yang paling mengejutkan buat saya adalah di sisi kelompok antagonis film ini. Ario Bayu cukup piawai untuk menampilkan sosok dingin nan misterius. Cuma, yang paling WOW di film ini adalah penampilan Christine Hakim sebagai Nyi Misni. Saya begitu terkejut ketika Nyi Misni yang tidak terlalu punya banyak adegan, bisa selalu menonjol di setiap adegannya. Bila diperhatikan, Hakim memperlihatkan kepada penonton akan konsistensinya serta kualitas akting yang luar biasa. Saya tidak bisa lupa bagaimana Nyi Misni berjalan, saat Ia melangkahkan kakinya ataupun cara seluruh tubuhnya bergerak khas saat berjalan. Genius!
Yah, nama Joko Anwar ada dibalik keunggulan film ini. Bila dilihat dari cara penceritaan, “Perempuan Tanah Jahanam” berisi banyak adegan penuh kejut, yang bisa membuat penonton histeris dengan kesan gore yang kadang dihadirkan. Memang sih, untuk adegan kejut-kejut itu terasa cukup scripted, but at least masih bisa membuat penonton dag dig dug. Apalagi ketika penggunaan suara seram yang begitu keras dan menonjol.
Ngomongin alurnya, film yang berdurasi 106 menit ini punya cara cerita yang lumayan menarik buat saya. Kenapa? Sebab sepanjang film kita akan terus mencari tahu kejelasan misteri yang akhirnya diungkapkan dengan gamblang di bagian akhir. Beraninya lagi, terlepas dari buram-buram penuh sensor, film ini memasukkan unsur love scene yang cukup sering kita saksikan di film luar. Secara setting, saya menikmati pemilihan setting desa Harjosari yang digambarkan sebagai desa terpencil yang terkutuk. Tidak perlu banyak landmark, namun rumah Ki Donowongso dan Ki Saptadi sudah lumayan memorable. Begitu juga dengan hutan, tempat pemotongan, sampai makam wakaf dengan nisan-nisan kuno.
Dari penggambaran yang digawangi Ical Tanjung, “Perempuan Tanah Jahanam” cukup berani untuk bermain dengan gelap. Mendekati bagian ending, film ini cukup lama untuk mengandalkan api sebagai penerang dalam aksi kejar-kejaran Maya dengan penduduk setempat. Yang paling terngiang di kepala saya adalah saat shot putaran 180 derajat dalam mendramatisasi adegan gantung terbalik. Sakit. Bukan dalam konotasi yang buruk, namun sebaliknya. “Perempuan Tanah Jahanam” hadir cukup berkelas, tidak hanya dari kualitas teknis, akting maupun orisinalitas gaya berceritanya. Satu lagi film Joko Anwar yang patut dibanggakan dan dicontoh film-film sejenis. An instant cult!