Sejatinya saya masih percaya bahwa kunci kesuksesan sebuah film tidak hanya teletak pada keelokan gambarnya saja tetapi juga perlu didukung oleh jalan cerita yang logis, dan kuatnya peran para aktor yang bermain di dalamnya. Seyogianya, sebuah film tidak melulu harus memukau mata dengan shot-shot instagramable. Kadang, dengan kesederhanaan visual yang biasa-biasa saja, tidak lambat, tidak cepat, justru sebuah film berhasil menyampaikan pesan lebih lantang. Setelah sempat lama menunggu karya sineas Indonesia yang belakangan kebanyakan diisi film-film komedi atau romansa masa muda, akhir April lalu sutradara Ravi L. Bharwani hadir dengan suguhan “27 Steps of May”, sebuah film apik yang sarat makna. “27 Steps of May” tidak ujug-ujug ingin berfilosofi, tidak ingin menghakimi, tidak juga menggurui. Didukung kualitas akting dahsyat Raihaanun, Lukman Sardi, Ario Bayu dan Verdi Solaiman dan naskah menyentuh garapan Rayya Makarim, film ini hadir untuk bercerita dengan sangat emosional. Memang, di film ini May sebagai peran utama tidak banyak bicara, tetapi dengan sangat tajam ia mampu memvisualisasikan berbagai macam rasa. Hasilnya, “27 Steps of May” tampil penuh daya pikat!
Film ini diawali dengan adegan May, diperankan oleh Raihaanun, yang kala itu berusia 14 tahun diperkosa oleh sekelompok orang tak dikenal. Akibat trauma yang mendalam, May menarik diri sepenuhnya dari kehidupan. Dia menjalani hidupnya tanpa koneksi, emosi, dan kata-kata, hanya menyisakan trauma. Peristiwa tersebut tidak hanya berdampak pada kehidupan May tetapi juga Bapak, yang diperankan oleh Lukman Sardi. Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan tersebut, May dan Bapak menjalani hidup dalam diam, dan mengisi hari dengan menjadi penjahit baju boneka yang setiap hari disetor oleh si kurir sahabat bapak, yang diperankan oleh Verdi Solaiman.
Melihat May tak kunjung bicara dan terus menerus hidup dalam ketakutan, Bapak merasa sangat bersalah atas peristiwa yang menimpa May. Maka, untuk menyalurkan kepedihan dan penyesalannya yang mendalam, Bapak pun menjadi petinju yang tidak segan-segan memukul K.O. seluruh lawan-lawannya, seolah sedang menghajar orang-orang bejat yang telah menodai putrinya. May akhirnya berkenalan dengan seorang pesulap, diperankan oleh Ario Bayu, yang perlahan-lahan menarik perhatian May dengan trik-trik sulapnya yang memukau.
Sekali lagi harus saya sampaikan di sini bahwa “27 Steps of May” tampil memukau terutama karena penampilan dahsyat para pemerannya. Uniknya kematangan para aktor sungguh nyata terlihat di film ini. Raihaanun sebagai pemeran utama tidak harus menanggung beban sendirian, tetapi terlihat sekali bagaimana chemistry sungguh terbangun antara tokoh May dengan orang-orang di sekitarnya. Misalnya, terlihat sekali dalamnya luka May yang tercermin dari perilaku Bapak yang tidak puas jika tidak menjotos K.O lawan tarungnya. Artinya, penonton diajak merasakan dalam kasus-kasus pelecehan seksual seperti yang di alami May, tidak hanya si korban yang hidupnya turut berantakan tetapi keluarganya.
Melihat bagaimana Lukman Sardi bisa seketika berubah dari bapak yang lembut dan penyayang menjadi petarung gahar sangat patut diacungi jempol. Tidak lupa, pujian pun pantas disampaikan pada Raihaanun yang sepanjang film mampu bercerita hanya dengan mengucapkan beberapa kata, ‘aku’, ‘ayo’ dan ‘bukan salah bapak’.
Film “27 Steps of May” makin terasa dieksekusi secara matang ketika pemeran-pemeran pendukung pun tampil secara maksimal dan bukan hanya sebagai tempelan. Kehadiran Verdi Solaiman sebagai kurir pun di film ini sama pentingnya seperti dua pemeran utama di atas. Pertama, si kurir yang gemar bercanda dengan lawakan-lawakan yang natural sukses meredakan tension yang sering kali menjadi intens setelah penonton disuguhi adegan pertarungan yang brutal atau adegan meyayat diri yang kerap diperlihatkan oleh May. Bayangkan jika selama hampir dua jam penonton terus menerus melihat adegan-adegan despresif tanpa jeda. Wah, pusing juga! Kredit positif juga perlu ditujukan kepada Rayya Makarim yang mampu mengolah jokes-jokes sederhana yang sama sekali tidak mengurangi keseriusan isu yang sedang diangkat. Selain hadir sebagai penghibur, duet Verdi Solaiman juga sukses menjadi partner duet Lukman Sardi yang terasa sekali klimaksnya saat si kurir berteriak di akhir, “Lo mau pukulin gue juga?”.
Selain Verdi Solaiman, penampilan Ario Bayu dalam film ini juga patut diberi pujian. Ario Bayu hadir sebagai lawan main Raihaanun yang sepadan sehingga nampak jelas keduanya tampil maksimal tanpa rasa awkward seperti saat berperan di film “Buffalo Boys.” Harus diakui tidak mudah mengimbangi penampilan gemilang Raihaanun, umpanya saat May dengan sengaja merekonstruksi sendiri pemerkosaannya. Tapi, kali ini Ario Bayu tampil natural, membelai May seraya berkata, “I’ve got you, May. I’ve got you.” Barangkali karena ia dibebaskan berdialog campur-campung Indonesia-Inggirs, penampilannya justru terasa natural tanpa paksaan. Dialog yang natural tanpa paksaan menjadi poin penting ketika banyak film ujung-ujungnya gagal dieksekusi dramatis karena dialognya terasa dibuat-buat.
Walau demikian, ada beberapa catatan yang agaknya perlu diperhatikan misalnya tentang tidak adanya peringatan akan adanya adegan keras seperti menyayat diri sendiri. Sekalipun di dalam cerita May tidak ada niat untuk mengakhiri hidupnya, tetapi masih sangat perlu diberi warning akan ditayangkannya adegan yang mengarah kepada suicidal attempt, seperti ketika para cast serial “13 Reason Why” mengingatkan penonton bahwa mereka tidak mendukung tindakan suicidal. Mengapa warning tadi menjadi penting karena adegan May menyayat tangannya tidak hanya ditayangkan sekali, tetapi beberapa kali. Terlepas dari bagaimana Ravi L. Bharwani merangkai ending film “27 Steps of May”, hanya satu kata yang terlintas seusai menonton karya teranyarnya; memikat!