Berangkat dari cerita nyata, “Green Book” berhasil menjadi salah satu primadona di tahun 2018. Secara sepintas, anda akan menyaksikan sebuah bentuk kebalikan dari film terbaik Oscar tahun 1989, “Driving Miss Daisy.” Bagaimana jadinya ketika situasi ditengah kerasnya politik rasisme yang dikaitkan dengan kondisi yang berkebalikan pada cerita? Tentu menarik.
Kisah film ini bersetting di tahun 1962, ketika Amerika Serikat sedang berada di dalam masa pemerintahan John F. Kennedy serta masa segreasi kulit hitam disana. Walaupun tidak persis sama dengan apa yang terjadi di jaman Lincoln, tahun-tahun ini merupakan masa krusial dari perlawanan damai segregasi yang dipimpin Martim Luther King. Melalui setting yang cukup keras, penonton akan diajak untuk berkenalan dahulu dengan sosok Tony “Lip” Villalonga, yang diperankan oleh Viggo Mortensen.
Tony, merupakan seorang pria dengan tubuh kekar yang berprofesi sebagai bodyguard Copacabana, sebuah night club di New York. Malang, Ia sementara harus mencari pekerjaan baru seiring dengan tempat kerjanya yang mengalami renovasi. Tony, yang merupakan keturunan Italia, memiliki keluarga besar yang cukup ramai. Istrinya, Dolores, yang diperankan oleh Linda Cardellini, cukup mendukung suaminya walaupun mereka di tengah situasi yang menuntut mereka untuk melunasi tagihan-tagihan.
Pekerjaan pun datang. Tony diundang ke sebuah apartemen untuk menemui Dr. Shirley. Secara sekilas, nama tersebut bagaikan sosok yang sangat terdidik. Sesampai di apartemen tersebut betapa terkejutnya ketika Ia bertemu dengan Don Shirley, yang diperankan oleh Mahershala Ali. Berkat rekomendasi, Shirley pun menawarkan Tony untuk menjadi asistennya.Tugas cukup sulit, Ia perlu mengendarai mobil dan memastikan Shirley bisa melakukan tur konser trio-nya di beberapa wilayah bagian midwest dan selatan yang terkenal sangat kental dengan segregasi mereka. Perjalanan pun kemudian dimulai.
“Green Book” adalah film yang menyenangkan! Peter Farrely, sutradara film ini, membawa saya untuk menyaksikan sebuah cerita yang mudah dinikmati dan menghibur. Film ini membawa kesan yang saya dapatkan seperti menyaksikan “Hidden Figures,” film dengan tema sejenis yang diangkat dari kisah nyata juga.
Dari bagian pertamanya, film ini sudah membawa penonton masuk ke ceritanya dengan memulai lagu “That Old Black Magic.” Lagu ini merupakan traditional classic dari era 40-an yang juga sempat didaur ulang oleh Frank Sinatra. Cerita kemudian berjalan dengan memperkenalkan latar belakang karakter utama kita, Tony Lip, dan baru masuk ke cerita utama ketika Ia bertemu dengan Don Shirley.
Cerita film ini ditulis oleh tiga orang, Nick Vallelonga, Brian Hayes Currie, dan juga Peter Farrelly. Nick Vallelonga, yang merupakan putra dari Tony Lip, menulis cerita Ayahnya yang akhirnya bersahabat dengan Shirley sampai akhir hidup keduanya. Ketiganya yang boleh saya sebut white, memang mengangkat jalan ceritanya dengan penekanan yang sangat tajam dari sudut pandang Tony Lip. Ngomongin jalan ceritanya, film ini memang terbilang seperti sebuah drama road trip. Penonton akan dibawa dalam perjalanan Shirley dan Vallelonga, sekaligus menikmati konser ataupun menyaksikan berkembangnya akrabnya kedua karakter utama yang cukup kontras.
Sejujurnya, film ini begitu menarik untuk dinikmati. Saya sampai berulang kali mengulang-ulang film ini lewat screener yang dikirimkan Universal. Walaupun berdurasi 130 menit, “Green Book” terbilang berhasil dikemas dengan ringkas, jalan cerita yang to the point, ataupun karakterisasi yang terbilang cukup kuat. Salut untuk chemistry Viggo Mortensen dengan Mahershala Ali! Mungkin, jika hanya melihat dari cover-nya saja, “Green Book” tidak tampil semenarik yang ditawarkan. Tapi, apa yang ditampilkan disini memang jauh dan melebihi ekspektasi saya.
Saya cukup menyukai ketika menyaksikan Viggo Mortensen tidak seantagonis biasanya, dan bisa begitu menghibur lewat sosok Tony Lip yang keras kepala dan cuma modal otot. Di sisi lain, Don Shirley yang diperankan Mahershala Ali hadir dengan sosok yang juga keras kepala, namun untungnya lebih intelek. Baiknya, film ini dikemas dengan dialog-dialog adu mulut yang kadang membuat kita tertawa dan hanyut, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Salah satunya, adalah momen Kentucky Fried Chicken yang melihat bagaimana Villalonga menikmati hidupnya. Mengutip perkataannya: “You know, my father used to say, whatever you do, do it 100%. When you work, work. When you laugh, laugh. When you eat, eat like it’s your last meal.”
Membahas adegan-adegan berkesan, cukup banyak! Yang paling berkesan buat saya adalah saat Shirley tiba-tiba dipeluk oleh Dolores, dan wanita yang memeluknya itu mengucapkan terima kasih untuk surat-surat yang dikirimkan. WOW! Sangat menyentuh. Tingkat kepekaan Dolores mampu menduga kejanggalan yang terjadi. Dari sisi cerita, sebetulnya masih banyak yang bisa digali dari cerita yang sebetulnya berasal dari perjalanan 8 minggu. Tapi, jika kita concern dengan durasi yang sudah tersedia, saya sih merasa film ini sudah terbilang okay dari usaha kompresi ceritanya.
Sayangnya, saya cukup telat menyaksikan “Green Book,” karena menyaksikannya baru di awal Februari. Ini merupakan salah satu favorit saya dari 2018, dan mungkin mengalahkan “Roma” ataupun “The Favourite,” dilihat jumlah pengulangan pemutaran film yang saya lakukan. Bicara mengenai judulnya, “Green Book” sendiri sebetulnya adalah sebuah buku panduan yang berisi dengan tempat-tempat yang bersahabat untuk para colored people.
Banyak memang yang menyebutnya sebagai pilihan film yang aman, dan terbukti, “Green Book” bisa memenangkan Best Picture di Academy Awards, serta 2 penghargaan lainnya: Supporting Actor dan Original Screenplay. Biarpun mendapat 5 nominasi saja, ternyata film ini sanggup mengalahkan “Roma,” “The Favourite,” ataupun “Bohemian Rhapsody” yang sudah banyak memboyong nominasi-nominasi dan menjadi favorit dari ajang-ajang sebelumnya. Film ini juga memecah rantai film-film Best Picture yang memiliki rating R selama 6 tahun terakhir. Film “The Artist” merupakan film dengan rating PG-13 terakhir sebelumnya.
“Green Book” membuka mata saya jika di masa segregrasi anda masih bisa melihat orang kulit hitam bisa memperkerjakan orang kulit putih. Apalagi disini orang kulit hitam melaksanakan perlawanan mereka yang terbilang damai, sesuatu yang patut diapresiasi. Mengutip kata Shirley di film ini, “You never win with violence. You only win when you maintain your dignity.” Terlepas dari kontra yang diterimanya saat ini, “Green Book” terlalu berkesan, film ini bisa berbicara dengan menyenangkan untuk latar situasi yang sangat mengancam. A great big story!