Sempat menonton trailer-nya beberapa bulan sebelumnya, menjadikan film ini salah satu yang saya tunggu di tahun ini. Ralph is back! Dengan menghilangkan nama asli Wreck-it-Ralph, “Ralph Breaks the Internet” kembali menghibur penontonnya setelah 6 tahun. Cukup lama memang. Di versi lanjutannya, penonton tidak lagi diajak untuk banyak bernostalgia seperti pada film sebelumnya. Akan tetapi, penonton akan diajak Ralph masuk ke dunia kekinian.
Ketika Litwak, nama arcade center mereka sedang tutup, tokoh-tokoh dalam permainan setiap mesin akan seperti dalam kondisi bebas tugas. Ini membuat mereka beristirahat, sambil bersosialisasi dengan karakter lainnya. Setelah selesai film pertama, persahabatan Ralph dan Vanellope kian akrab. Keduanya, yang disuarakan oleh John C. Reilly dan Sarah Silverman, akan menghabiskan waktu untuk mengarungi semua permainan arcade seusai mereka bertugas. Penonton akan kembali diingatkan dengan beberapa game-game andalan pada jaman emas arcade: sonic the hedgehog, pac man, TRON, sampai The King of Fighter.
Kehidupan para karakter mainan ini kemudian dikejutkan dengan kehadiran sebuah slot baru yang memiliki nama “Wi-Fi.” Awalnya, mereka semua mengira jika akan ada kehadiran warga baru. Yang ada, sang surge protector, yang disuarakan oleh Phil Johnston, malah menutup jalur masuk slot baru dengan garis do-not-enter. Namanya juga game, mereka tidak mengerti dengan wi-fi. Tapi, Sonic memberi tahu Ralph jika disana Ia bisa menemukan eBay dan lainnya.
Masalah film ini dimulai ketika Vanellope mulai lepas kendali saat Ia dimainkan. Suatu ketika, karakter imut yang memiliki glitch dalam kode pemrogramannya ini sudah mengungguli karakter lainnya di ajang balapan “Sugar Rush.” Menjelang garis finish, eits, tiba-tiba Ia melihat penanda jalan yang sepertinya sudah dibuat oleh Ralph. Semangatnya yang selalu berani mencoba membuatnya keluar jalur lintasan dan malah membuat pemain nyatanya kewalahan. Vanellope lepas kendali dan keasyikan dengan jalur tersebut. Ia malah mengendalikan permainan sendiri dan jadilah tragedi. Setir arcade permainannya tercabut karena kecerobohannya.
Melihat kondisi setir yang rusak, Mr. Litwak, pemilik toko yang disuarakan oleh Ed O’Neill memutuskan untuk memberhetinkan game tersebut. Sebab, pengembang permainan ini telah bangkrut dan akan cukup memakan biaya untuk memperbaikinya. Ia lebih memilih untuk menjual spareparts-nya saja. Ini kemudian menjadi ancaman untuk keluarga besar Sugar Rush. Melihat kondisi ini, Ralph mencoba nekat mengajak Vanellope untuk masuk ke dunia internet demi memperbaiki mesin permainan tersebut.
“Ralph Breaks the Internet” terasa seperti sebuah tontonan antar generasi. Bagi para orangtua muda yang memiliki anak, film ini serasa seperti penjembatan generasi lama dengan yang muda. Yang lama akan diingatkan dengan dunia arcade games yang sempat emas pada jamannya, dan generasi baru akan terhibur dengan penyajian dunia internet kekinian. Film ini banyak memasukkan elemen-elemen nyata dalam ceritanya. Mulai dari game-game arcade yang beken di jamannya, sampai brand-brand internet kekinian: IMDB, Wikipedia, Instagram, Amazon, eBay, Fandango, dan tidak lupa Disney!
Ngomongin Disney, “Ralph Breaks the Internet” banyak memasukkan karakter Disney dimana-mana. Mulai dari Eeyore, Star Wars, Galaxy of the Guardians, sampai para princesses. Yang lebih memukaunya lagi, film ini menampilkan ke-14 princesses dengan pengisi suara asli mereka. Mulai dari Snow White hingga yang paling teranyar, Moana. Sungguh mengesankan! Salah satu yang membuat film ini lebih seru lagi adalah ketika karakter Vanellope seperti dijadikan sebagai princess unofficial ke-15.
Phil Johnston dan Rich Moore, kedua creator jenius dibalik franchise Ralph tahu betul bagaimana caranya untuk membuat penonton benar-benar terhibur. Absolutely very entertaining! Kombinasi Ralph dan Vanellope mengingatkan saya dengan chemistry Sullivan dan Boo dari “Monsters, Inc.” Pembedanya, Vanellope yang terlihat sangat imut disini terbilang tidak boleh diragukan. Sosoknya yang mungil ternyata juga merupakan seorang pembalap yang luar biasa.
Dari sisi penyajian filmnya, gaya animasi film ini terbilang sudah cukup oke, sebanding dengan gaya animasi buatan Disney umumnya. Yang sangat disayangkan mungkin kadang masih terasa sedikit miss untuk sinkronisasi ucapan karakter dengan suara. Pada beberapa bagian saya menemui bagaimana gerak pengucapan yang kurang pas sedikit dengan apa yang disuarakan. Bicara lagunya, sama seperti film Disney lainnya, kali ini menghadirkan “A Place Called Slaughtered Race” sebagai unggulannya, dari suara Vanellope yang tidak semerdu princess-princess lainnya. Yang sedikit mengejutkan saya, di lagu inilah film ini memasukkan unsur musikalnya, dan mulai serupa dengan film Disney lainnya.
“Ralph Breaks the Internet” memang terasa terlalu Disney. Cuma yang amat disayangkan, film ini terlalu membuat ceritanya berjalan terus ke bagian yang baru dengan mengesampingkan sebelumnya. Setelah dikesampingkan, bagian cerita yang lama ini tiba-tiba kembali dengan result yang menyenangkan, tanpa ada penjelasan prosesnya. Tanpa bermaksud mengumbar ceritanya, ada beberapa bagian yang menurut saya cukup diremehkan oleh para penulisnya. Alhasil, film ini memang tetap menghibur cuma jadi kurang mengena dari sisi fokus cerita.
Untuk bermain dengan fantasi, “Ralph Breaks the Internet” tahu betul bagaimana mengemas dunia internet untuk dapat dengan mudah dijelaskan. Banyak unsur dari internet yang dijelaskan dengan cara yang amat menarik. Misalnya bagaimana ketika saat user menjelajah dari laman yang satu ke laman yang lain. Ataupun juga saat adanya pop-up dan bagaimana pemakaian pop-up blocker berfungsi, atau saat ketika mengakses internet dengan private mode. Kesemuanya berhasil dikuliti satu per satu demi menyajikan petualangan internet menjadi semakin meriah.
Yang paling saya tidak habis pikir, film ini secara tidak langsung juga menjelaskan bagaimana orang mencari uang di internet. Misalnya lewat berjualan loot dari game, ataupun mengeksploitasi diri dalam situs layanan video sharing. Film Ralph berhasil menangkap fenomena vlogger yang sedang trending dan dimasukkan ke dalam bagian cerita karakter utama film ini. Menurut saya pribadi, melihat target film yang sebetulnya lebih ke anak-anak akan terasa untuk mengajak mereka ikut serta, beraksi seperti Ralph untuk membuat konten-konten konyol di internet. Walaupun dikemas menarik, untuk bagian yang ini saya agak kurang setuju untuk dihadirkan ke bocah-bocah yang menyaksikan film ini. Maklum saja, di usia dini mereka akan terlalu mudah untuk meniru.
“Ralph Breaks the Internet” mungkin dapat dibilang sebagai unggulan utama Disney di tahun ini. Maklum, pendahulunya saja berhasil meraih nominasi Academy Awards 6 tahun silam. Dengan elemen paduan Disney yang begitu kental, sepatutnya “Ralph Breaks the Internet” bisa mengamankan satu slot untuk nominasi Best Animation Feature di tahun ini, walaupun saya cukup ragu untuk dibilang sebagai yang terbaik di tahun ini. “Ralph Breaks the Internet” makes us feel so good along the story and forget us what exactly the main story. Haha!