Pada tanggal 16 Desember 2018, film karya sutradara kenamaan Koji Fukada ditayangkan sebagai penutup rangkaian pemutaran film di acara Pekan Sinema Jepang. “The Man from The Sea” adalah film layar lebar hasil kolaborasi Jepang dan Indonesia dengan genre fantasi. Koji mengaku Ia terinspirasi menggarap film ini setelah mengunjungi Aceh pada tahun 2011 dan tertarik untuk memotret Aceh lebih dalam sebagai bentuk kepekaan terhadap sesama daerah terdampak tsunami.
Melalui film ini, Koji yang sebelumnya telah memenangkan Prix du Jury di Cannes Film Festival melalui karyanya “Harmonium”, tidak hanya ingin memperkenalkan Aceh kepada penonton Jepang, tapi juga ingin mengajak penonton bermain dengan bebas. Ia melewati batas tentang apa yang normal dan tidak normal, tentang hidup dan mati, juga tentang relasi Jepang dan Indonesia. Sebagai contoh, ia berhasil membuat penonton takjub saat para aktor Jepang dalam film ini justru nampak fasih bercakap-cakap menggunakan bahasa Indonesia.
Penonton dibuai, seolah sedang menonton film Indonesia, lantaran hampir 80% dialog dalam film ini justru dituturkan dalam bahasa Indonesia. Ditopang alur yang tidak biasa dengan balutan bahasa dan budaya Aceh yang jarang terekspos, film yang baru akan rilis di Indonesia tahun 2019 jelas menjadi pilihan menarik bagi para pecinta karya fantasi.
“The Man from The Sea” berkisah tentang seorang pria misterius, yang diperankan oleh Dean Fujioka, yang ditemukan terdampar di pesisir pantai sekitar Banda Aceh. Karena ia tak kunjung bicara, akhirnya oleh penduduk setempat ia diberi nama Laut. Laut tinggal bersama Takako, diperankan oleh Mayu Tsuruta, seorang aktivis NGO dan puteranya yang bernama Takashi, yang diperankan oleh Taiga.
Untuk mencari tahu lebih lanjut tentang identitas Laut, Takako dibantu seorang penduduk lokal yang kerap membatunya di NGO tempat ia bekerja, Ilma dan Kris, yang diperankan oleh Sekar Sari dan Adipati Dolken. Bagi Ilma, kegiatan membantu Takako juga menjadi kesempatan untuknya belajar menjadi seorang jurnalis. Sementara Kris, yang awalnya hanya berniat membantu Ilma mengambil gambar, akhirnya dengan sukarela ikut terlibat lantaran jatuh hati pada keponakan Takako yang baru datang dari Jepang, Sachiko, yang diperankan oleh Junko Abe.
Konflik mulai muncul ketika Takako dan rekan-rekannya tidak kunjung tahu identitas Laut yang sebenarnya. Di saat yang bersamaan, kejadian-kejadian aneh mulai terjadi lantaran Laut mulai melakukan keajaiban. Laut mengubah air pancuran menjadi hangat dan membentuk bola air dengan tangan kosong di udara. Laut juga secara ajaib, membantu Sachiko yang tengah kebingungan mencari lokasi yang tepat untuk membuang abu mendiang ayahnya. Akhirnya, lantaran tidak kunjung mendapat informasi yang jelas, Takako akhirnya meminta bantuan seorang wartawan dari Jakarta, yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti.
Secara keseluruhan, tidak ada satu alur cerita jelas yang sebenarnya ingin benar-benar disampaikan melalui “The Man from The Sea”. Namun, jika melihat potongan-potongan cerita dalam film ini, ada satu hal yang menarik tentang bagaimana penduduk Jepang dan Indonesia saling bertukar pikiran tentang usaha mereka bangkit setelah sama-sama terpuruk terkena hantaman tsunami. Pertama, di mata Koji, penduduk Indonesia memilih untuk membuat sebuah memoar, sebuah pengingat seperti yang ditangkap Koji ketika menampilkan adegan Ilma tengah mengajak Sachiko berwisata di atas kapal yang dulu sempat terseret jauh dari laut ke pemukiman saat tsunami tahun 2004. Sementara, bagi penduduk Jepang, mereka memilih untuk segera membereskan puing-puing pasca bencana karena tidak mau terus menerus teringat akan masa yang kelam itu.
Kedua, nampak jelas Koji ingin menonjolkan kesamaan nilai historis antara Indonesia dan Jepang. Sayangnya, nilai historis ini terkesan dicari-cari saat Ilma secara random tengah merekam seorang nelayan Aceh menyanyikan lagu bahasa Jepang. Ketika di tanya, darimana nelayan itu tahu lagu bahasa Jepang, Ia menjawab ringan kalau dulu ia berteman dengan seorang tentara Jepang dan sama-sama melawan penjajah. Sedetik kemudian, nelayan lain menimpali lagu tersebut dengan membacakan sepenggal puisi tentang kehilangan di masa penjajahan. Melihat dua respon yang bertentangan ini, penonton dibuat bertanya-tanya, hubungan seperti apakah yang hendak dikenang para nelayan, pertemanan atau pedihnya dijajah Jepang?
Ketiga, terasa sekali Koji juga dengan sengaja berusaha menyelipkan unsur romance di film fantasi ini. Sayangnya, keinginan tersebut tidak dieksekusi dengan baik, dan hanya berujung pada kisah cinta interracial klasik Jepang-Indonesia yang sangat tertebak, Kris menaruh hati pada Sachiko, Takashi naksir Ilma. Terakhir, ledakan amarah dan kritik terhadap pemerintah yang coba disampaikan Koji juga sepertinya salah alamat.
Dikisahkan, ayah Ilma adalah seorang mantan pemberontak Aceh yang jadi lumpuh semasa konflik masih panas. Sang Ayah dengan sangat gamblang tanpa tending aling-aling melarang Ilma terus bergaul dengan Takako dan Takashi karena menurutnya orang-orang asing dari NGO itu adalah representasi dari pemerintah yang tidak adil. Tapi, tentu saja hingga film berkahir tidak ada penjelasan lebih lanjut karena sesungguhnya selama 107 menit, penonton hanya sedang berfantasi.
Jika ada hal yang patut diacungi jempol adalah penampilan aktor Taiga sebagai Takashi yang sangat total. Taiga memerankan tokoh Takashi, seorang pria Jepang yang mengalami krisis identitas. Takashi memilih warga negara Indonesia karena ia merasa tidak benar-benar menjadi orang Jepang. Takashi dengan sangat lancar bicara bahasa Indonesia sukses membuat penonton percaya bahwa ia telah lama tinggal di Indonesia. Tidak ketinggalan, dengan sangat luwes ia pun memperagakan cara makan khas Indonesia ala warteg; kaki diangkat satu di kursi, sementara ketiga jari kanannya memuluk nasi. Sebagai penonton, saya angkat topi ketika dalam sesi wawancara di Taiga menyatakan bahwa sejatinya ia tidak pernah tinggal di Indonesia.
Akhirnya, seperti karya Fukada yang sudah-sudah, penonton diberikan keleluasaan tanpa batas dalam memahami dan memaknai siapa Laut di film ini. Seperti yang Koji sendiri katanya, bahwa ia sempat hendak memberi judul Umi no tawamure, atau ‘Bermain-main dengan Laut’, karena bisa jadi ia sendiri tidak sedang ingin memberi pesan apa-apa, hanya ingin ‘bermain’ bersama penonton.