Film horror seringkali identik dengan arwah hingga makhluk astral dengan beragam wujud. Juga, peranan boneka-boneka berisi arwah seperti franchise “Chucky,” ataupun para pembunuh berdarah dingin seperti “The Texas Chainsaw Massacre” ataupun “Friday at the 13th.” Digadang sebagai horror terbaik tahun ini oleh banyak kritik, “Hereditary” menghidupkan kembali formula horror yang telah manjur digunakan salah satu all-time horor favorit saya, “Rosemary’s Baby.”
Diawali dengan kepergian Ellen untuk selamanya, ternyata cukup mengubah aura di keluarga Graham. Sang ayah, Steve, diperankan oleh Gabriel Bryne, merupakan seorang psikolog sekaligus seseorang yang cukup berperan seperti Ibu. Ia kadang memasak, sampai menjadi seseorang yang selalu memberi nasihat untuk kedua anaknya. Maklum, Ia cukup pengertian untuk tidak mengganggu Annie, istrinya yang diperankan oleh Toni Collette, merupakan seorang seniman miniatur yang sedang cukup dikejar waktu untuk kegiatan ekshibisi tunggalnya.
Kepergian sang Ibu ternyata meninggalkan sebuah pesan dari balik sebuah buku. Annie menemukan catatan jika sang Ibu telah berkorban untuk sesuatu yang besar. Yang menarik, keluarga Graham tidak terlalu terpalut dalam duka. Tetapi walaupun demikian, Annie berusaha untuk mencari tempat yang dapat mendukungnya. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menghadiri pertemuan sebuah kelompok kecil yang terdiri orang-orang yang kehilangan, dan saling mendukung.
Tidak lama kepergian sang Ibu, anak perempuan satu-satunya pun menyusul. Charlie, putri keluarga Graham yang diperankan oleh Milly Shapiro, harus kehilangan nyawanya lantaran adanya kecelakaan saat Peter sedang mengemudi dengan sangat cepat. Meninggalnya Charlie memberikan luka yang sangat dalam di dalam keluarga mereka. Terutama Peter, diperankan oleh Alex Wolff, yang cukup mengalami rasa bersalah berkepanjangan.
Sudah dua orang dalam keluarga mereka yang pergi, tekanan semakin membendung Annie. Tanpa terduga, seorang perempuan misterius bernama Joan, diperankan oleh Ann Dowd, menghampiri Annie. Dengan alasan sama-sama sedang kehilangan, Joan cukup aggresif untuk mengajak Annie berkenalan dengan bermediasi dengan arwah.
Banyak tulisan yang mengatakan jika “Hereditary” merupakan horor terbaik di tahun ini. Film yang ditulis dan disutradarai oleh Ari Aster ini menghadirkan sebuah tontonan yang buat saya memang horror, tapi tidak berhasil membuat saya seperti pasca menyaksikan “Pengabsi Setan.” Sepanjang menyaksikan film ini, saya sangat menyadari kalau film ini sangat terpengaruh dengan karya Roman Polanski “Rosemary’s Baby.” Formula yang digunakan juga sama: mengambil pemeran utama wanita, anak yang dikorbankan, bertemu orang asing misterius, serta memainkan emosi dan psikis penonton. Saya hanya merasa ini seperti sebuah versi modern yang cukup serupa.
Juga, masalah keluarga yang ada di dalam film ini juga terasa menarik. Kita bisa melihat jika Annie kurang terlalu akur dengan Ibu serta putranya. Dari yang terlihat saja, saat Ia beradu mulut dengan Peter pasca kematian Charlie sungguh mengagumkan. Saya suka sekali saat Ia berucap, “Don’t you swear at me, you little shit! Don’t you ever raise your voice at me! I am your mother! You understand?” Toni Collette menghadirkan sebuah penampilan yang tak kalah dengan Mia Farrow dan lebih berkesan jauh. Collette seperti sudah ‘curi start’ dan membuat standard yang lumayan tinggi untuk awards season mendatang.
Dari sisi pendukung, sosok Milly Shapiro, yang sebelumnya sudah dikenal dalam Broadway’s “Matilda,” berhasil memberikan kesan cult di film ini. Saya hanya menduga karakter Charlie yang diperankan Milly mungkin akan menjadi cukup sefenomenal karakter Tangina Barrons, sosok paranormal dalam franchise “Poltergeist” yang diperankan Zelda Rubinstein. Begitupun Alex Wolff. Memerankan sosok Peter yang traumatik sungguh luar biasa. Saya teringat dengan silent scene selama beberapa detik yang kadang terfokus dengan mimik Wolff yang kemudian menangis tanpa perlu berkata-kata. Salut untuk Aster! Permainan fokus ekspresi tanpa naskah banyak dihadirkan dan memberi kesan horor yang lebih dalam dibanding teriakan ataupun aksi kejar-kejaran yang sering kita lihat.
Menariknya, “Hereditary” tidak punya gaya seperti film “The Conjuring” yang cukup memainkan musik mereka untuk memanipulasi penonton. Disini, mungkin hanya bunyi lidah Charlie yang cukup berhasil meneror penonton. Terbukti, di studio yang saya hadiri, cukup banyak yang berteriak ketika mereka terfokus dan mendengar bunyi sederhana itu dalam adegan.
Selain itu, saya juga mengagumi keindahan karya miniatur yang dihadirkan film ini. Film ini akan menampilkan banyak bagian miniatur dan aksi Annie untuk menyelesaikan karyanya. Tapi, dari sisi teknis, saya menyukai cara penggambaran film ini. Saya suka dengan cara Pawel Pogorzelski dalam mengemas film ini. Ia akan mengambil shot-shot dengan dominasi suasana gelap, serta bermain dengan cahaya minimal dalam adegan-adegan film ini. Hasilnya, “Hereditary” berhasil membangun kesan kelam yang dalam sekaligus seperti membuat penonton bersiap-siap dengan kejutan horor yang sayangnya tidak pernah ada.
Sayangnya, kesan horor dalam “Hereditary” hanya terasa meneror saja, tanpa perlu waspada dengan kejutan-kejutan. Saya malah merasa “It” jauh lebih seram. Film ini lebih condong dengan kesan drama misterinya dan cerita keluarga yang problematik. Setidaknya, “Hereditary” berhasil dibungkus dengan penampilan akting yang berkesan serta sisi teknis yang lumayan oke untuk menutupi unsur horror yang terasa dangkal.