Coba perhatikan tagline film ini: ‘Everyone deserves a great love story.’ Begitupun dengan seorang Simon Spier, seorang remaja yang menutupi orientasi seksualnya rapat-rapat. “Love, Simon” adalah salah satu film yang cukup saya tunggu di tahun ini. Salah satu prestasinya, ini adalah film drama LGBT remaja pertama yang diproduksi studio besar. Tapi, sejujurnya bukan karena alasan tersebut yang membuat saya menantikan film ini.
Simon Spier, yang diperankan oleh Nick Robinson, hidup di pinggiran kota Atlanta dengan sebuah keluarga yang ideal. Ia punya seorang ayah, ibu dan seorang saudari yang lebih muda. Ini belum ditambah dengan kehadiran tiga sahabat yang selalu ada dalam kesehariannya. Ada Leah Burke, diperankan oleh Katherine Langford, sahabat yang telah bersamanya selama belasan tahun. Juga ada Nick dan Abby, kedua sahabatnya dalam lingkaran terdekatnya, yang diperankan oleh Jorge Lendeborg Jr. dan Alexandra Shipp.
Cerita berawal dari sebuah postingan di blog sekolah dari seseorang dengan inisial ‘Blue’ yang berisi pengakuannya sebagai seorang gay. Akan tetapi, Blue tidak menampilkan sosok aslinya seperti apa. Merasa ingin membantu, Simon. yang juga seorang closeted gay, memulai komunikasinya ke surel Blue. Balasan demi balasan membuat keduanya saling terkoneksi, namun tidak pernah membuat mereka bertemu. Membalas surel Blue ternyata menjadi salah satu fokus baru Simon.
Malapetaka pun muncul. Simon yang cukup keranjingan untuk menunggu surel dari Blue, mencoba untuk mengakses mailbox-nya melalui komputer di perpustakaan. Celakanya, Ia lupa sign out. Percakapan-percakapan tersebut kemudian di foto oleh Martin Addison, diperankan oleh Logan Miller, teman sekelas Simon yang jatuh hati pada Abby. Ia pun menggunakan ini sebagai senjata untuk memaksa Simon mau membuat Abby menyukaiknya. Demi menjaga rahasianya ini, Simon sekaligus juga mencari sosok asli Blue, pria yang berhasil mencuri hatinya.
Cerita film ini sebetulnya diangkat dari sebuah novel debut terlaris karangan Becky Albertalli yang berjudul ‘Simon vs. The H*mo Sapiens Agenda.’ Novel young adult ini berhasil masuk ke dalam daftar National Book Award, sekaligus menjadi salah satu novel YA terbaik 2015 versi The Wall Street Journal. Kisahnya kemudian diadaptasi oleh Isaac Aptaker dan Elizabeth Berger. Jika anda pernah membaca novelnya, versi film yang dihadirkan oleh sutradara Greg Berlanti ini cukup berbeda.
Selain judul, karakter sahabat Simon pun dirubah menjadi cukup beragam rasnya. Begitupun dengan sosok Simon yang diperankan oleh Nick Robinson. Nick, yang waktu itu masih berusia 22 tahun, harus memerankan sosok Simon yang berusia 16 tahun dan merupakan siswa tahun pertama. Untuk menyesuaikan hal tersebut, Simon versi film dibuat sebagai siswa tahun terakhir. Walaupun banyak perubahan yang disertakan, film ini masih berhasil membuat saya untuk terus penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Apalagi menebak si sosok Blue yang terasa begitu misterius.
Kalau bicara pemainnya, penampilan Nick Robinson merupakan salah satu yang saya tunggu. Aktor muda ini pertama kali saya lihat dalam “The Kings of Summer,” lalu “Jurassic World,” dan “Being Charlie” ini merupakan salah satu aktor muda favorit saya selain Asa Butterfield. Walaupun merupakan seorang straight, memerankan karakter gay berhasil diperankannya dengan cukup apik. Seperti dalam salah satu wawancara dengan GQ, Robinson menuturkan jika berakting itu seperti memakai sepatu orang lain tanpa terasa kesulitan. Penampilannya sebagai high school student mungkin akan berakhir di film ini, dan saya masih menanti karya-karya Robinson di tahun-tahun mendatang.
Tidak hanya Robinson sebetulnya, tetapi kehadiran Katherine Langford sebagai Leah cukup saya tunggu. Aktris yang sebelumnya sudah sukses dengan serial “13 Reasons Why” membuat saya penasaran dengan aksinya di featured film keduanya. Walaupun tidak sefenomenal dalam series andalannya, Langford terbilang cukup okelah sebagai supporting film ini. Di sepanjang film, saya merasa karakter Leah ternyata sebetulnya yang paling menyedihkan.
Tentu keberhasilan film ini menyajikan ceritanya berkat visi seorang Greg Berlanti, seorang sutradara yang juga dikenal dengan serial “Dawson’s Creek”nya, ataupun film “Life as We Know It.” Berlanti, yang juga merupakan seorang gay, berhasil menyajikan sebuah tontonan gay-friendly yang menghibur, manis, jenaka tetapi juga menginspirasi.
Salah satu kekuatan film ini adalah bagaimana ceritanya merespon tentang penerimaan. Mulai dari lingkungan keluarga, persahabatan, sampai sekolah. Saya menyukai cara karakter-karakternya dalam merespons kejujuran tersebut dengan pandangan masa kini. Termasuk di sekolah, yang kadang jika tanpa pengawasan, bisa terlalu menyudutkan karakter. Namun, di film ini mengajarkan apapun pilihan seseorang, patut kita hormati. Seperti kata Ibu Simon, Emily: “You deserve everything you want.”
Mungkin terasa terlalu dini, but “Love, Simon” was an instant classic! Saya tidak bosan jika harus mengulang film ini beberapa kali. Ini adalah salah satu yang terbaik di genrenya dari dekade ini. Timeless!