Ini merupakan film Dolan pertama saya. “Mommy” mencoba mengangkat hubungan ibu dan anak yang luar biasa emosional, dengan setting Kanada yang fiksional. Tiga paragraf pembuka film ini menjelaskan kalau masa itu telah diberlakukan aturan S-14, yang berarti setiap orangtua yang memiliki anak-anak keterbelakangan mental dapat memasukkan anak mereka ke rumah sakit tanpa melewati proses hukum.
Hari itu terasa cukup apes buat Diane ‘Die’ Després, seorang single mother yang diperankan Anne Dorval. Bagaimana tidak, Ia baru saja mengalami kecelakaan, dan kini, Ia mendapatkan telepon dari tempat institusi anaknya untuk segera menjemput putranya. Ia kemudian menyambangi tempat tersebut dan menjemput Steve, putra tunggalnya yang mengidap ADHD (Attention Deficient Hyperactivity Disorder), yang diperankan oleh Antoine Olivier Pilon. Steve baru membuat ulah disana. Ia membakar cafeteria, hingga menyebabkan salah seorang penghuni disana mengalami kecacatan akibat luka bakar.
Kepulangan Steve ternyata membawa nuansa baru. Diane sebetulnya sedang dalam kondisi yang cukup tertekan. Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, dan hanya mengerjakan pekerjaan sampingan untuk menghidupi dirinya. Steve yang hiperaktif dan random juga kadang membuat masalah. Ucapan Steve yang kasar dan jorok kerapkali mengundang pertengkaran. Tidak hanya supir taksi, tetangga, termasuk Ibunya sendiri. Sampai suatu ketika, pertengkaran hebat diantara keduanya berakhir dengan kedatangan seorang tetangga mereka yang misterius bernama Kyla, yang diperankan oleh Suzanne Clément.
Jenius! Xavier Dolan membawa penonton ke sebuah tontonan yang penuh emosional, kasar namun dalam yang hinggap di sepanjang cerita. Ia memainkan sentimen tersebut, terutama dari bagaimana Ia memainkan aspect ratio film ini yang bisa berubah-ubah. Penggunaan aspect ratio 1:1 pun juga terbilang luar biasa buat saya. Hampir setengah bagian awal film ini, penonton akan ‘dipaksa’ untuk menikmati versi persegi, yang seakan memberi batas dalam menyampaikan emosi yang ini dihadirkan. Sebetulnya bermain dengan aspect ratio sendiri sudah bukan sebuah hal yang baru. Anda bisa menyaksikannya di “La la land,” “The Great Gatsby,” ataupun “The Dark Knight Rises.” Akan tetapi, it really works for this movie…
Ketiga karakter utama dalam film ini juga dikembangkan Dolan secara ‘cukup matang.’ Saya selalu terfokus dengan sosok Steve yang random, yang menebar kecurigaan pada saya akan aksi random berikutnya. Ataupun bagaimana hubungan Ia dan Ibunya, yang mungkin tampak dari luar tak harmonis. Atau juga ketika kehadiran Kyla masuk ke dalam kehidupan mereka berdua, dan saling mendukung dalam melawan kekurangan mereka.
Ada banyak hal yang tetap memorable buat saya di film ini. Mulai dari bagaimana adegan kepulangan Steve yang diiringi lagu “White Flag”-nya Dido, saat Steve sedang kepergok masturbasi oleh Diane yang masuk seenaknya, hingga ketika emosi Kyla yang meledak-ledak hingga membuat Steve mengompol. Terakhir, saat momen ketiganya menari dengan latar lagu “On ne change pas”-nya Celine Dion. Khusus bagian ini terasa cukup breathtaking. Perilaku Steve yang cukup ‘nyeleneh’ sedikit memberikan kekhawatiran buat saya. Dan ternyata melegakan. Dolan tidak membuatnya jadi kelewat batas.
Antoine Olivier Pillon kala itu belum berusia 20 tahun, tapi Ia berhasil memerankan Steve dengan cemerlang dan ekspresif. Saya cukup memfavoritkan semangat kebebasan yang Ia tampilkan, seperti saat bermain longboard, ataupun saat Ia memutar-mutar trolley di parkiran Supermarket. Yang juga jadi pertanyaan buat saya adalah hubungannya dengan Kyla yang terbilang misterius, mengingat Ia masih seorang anak ingusan.
Selain Pillon, akting Dorval dan Clément juga terbilang kuat. Terutama Dorval, saya menikmati perannya sebagai seorang Diane, akan bagaimana besar cintanya yang mungkin tidak terlihat jelas pada anaknya. Kesulitan untuk hidup, sekaligus mempunyai anak yang kadang membuat ulah seakan jadi tekanan combo. Yang menarik, Ia masih menaruh harapan tersebut pada Steve dan bertaruh dengan mimpi-mimpi yang Ia inginkan pada sang anak.
Kalau bicara keberhasilannya, film ini merupakan peraih jury prize dari Cannes Film Festival, sekaligus merupakan perwakilan Canada untuk Best Foreign Language Film di ajang Academy Awards. Salah satu hal yang menarik, setelah pemutaran perdananya di Cannes, film ini mendapat standing ovation selama 9 menit. Luar biasa!
Hubungan Ibu dan anak yang digali dalam “Mommy” memang terbilang menarik. Keras dan kasar, namun keduanya saling menyayangi. Menyaksikan film ini saya merasa mendapatkan emosi yang sama, namun dengan cara yang berbeda di dalam kenangan masa kecil saya. Saya sangat menyukai momen ketika Diane mendekati Steve yang baru masuk ke mobil, dan Ia mengatakan, “Steve… A mother doesn’t wake up one morning not loving her son. Do you get that? … The only thing that’s gonna happen is I’ll love you more and more. And you’ll be the one loving me less and less, but… life works that way. We deal with it.” So touching!