Industri perfilman selalu tidak pernah habis ide dengan Perang Dunia II. “Son of Saul” berkisah tentang seorang sonderkommando, sebuah sebutan Jerman yang digunakan bagi para tahanan perang Yahudi. Sonderkommando sendiri punya peranan dalam menjalankan aksi kejahatan di kamp-kamp konsentrasi.
Ia bernama Auslander Saul. Sebagai seorang sonderkommando shift pagi, Ia memulai aksinya dengan mengarahkan para tahanan, untuk berjalan bersama-sama dan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan. Di ruangan pertama, akan berisi gantungan-gantungan. Disana mereka ditugaskan untuk menanggalkan seluruh pakaian mereka, termasuk dengan perhiasan dan barang berharga yang mereka bawa.
Dengan iming ingin diberikan makanan, serombongan tahanan yang bugil ini dimasukkan ke dalam sebuah ruangan lagi. Disanalah menjadi puncak dan akhir penderitaan para tahanan. Gas beracun disebar di ruangan kedua, sambil para sonderkommando mencari barang-barang berharga di pakaian yang ditinggalkan. Saat seluruh rombongan tewas, sonderkommando langsung melanjutkan pekerjaan mereka untuk membersihkan ruangan tersebut. Akan tetapi, rutinitas itu berubah bagi Saul, ini semenjak Ia menemukan mayat seorang anak lelaki yang diduga merupakannya putranya.
Cukup tidak terduga! László Nemes memulai debut featured film-nya dengan sebuah karya yang tidak diragukan. Saya mencoba membandingkan film ini dengan “Schindler’s List,” yang juga mahakarya Steven Spielberg. Dari sisi tema, keduanya mempunyai background yang sama dengan setting kehidupan kamp-kamp konsentrasi. Akan tetapi, film besutan Spielberg lebih punya arah cerita yang membuat penonton “bersemangat” untuk menyelamatkan para tahanan sebanyak-banyaknya dengan usaha Schindler. Beda dengan yang satu ini. Film berjudul “Saul fia” tidak punya arah semangat kesana. Yang ada, penonton akan mengikuti perjalanan Saul, untuk ‘menunaikan’ misi utamanya, sambil melihat proses kejahatan itu sendiri.
Film ini sendiri dibuat dengan menggunakan Academy Ratio, yaitu aspect ratio standar 1.37:1, dengan tujuan untuk serupa dengan ratio yang digunakan di masa tersebut. Yang paling unggul dari film ini adalah bagaimana film ini bercerita. Jangan mengharapkan sesuatu yang detil dengan film ini. Nemes menyajikan film ini dengan berusaha mengambil tata sinematografi dari sudut pandang Saul. Inilah yang membuat seakan-akan kamera berada di belakang Saul, dan mengikutinya terus. Ini belum lagi dengan scene-scene yang diambil cukup panjang. Sedikit mengingatkan saya dengan “Birdman” yang berhasil menuai pujian para kritikus. Untuk yang ini, saya pun setuju.
Tidak hanya unggul dari sisi penceritaan, namun suara menjadi faktor penting keberhasilan film ini. Mengapa? Sebab Nemes tidak akan menampilkan setiap adegannya dengan focus yang membuat setiap scene terlihat jelas. Kadang, hanya karakter utama kita yang jelas, dengan pandangan di depannya yang kadang di blur, terutama pada situasi-situasi yang kurang mengenakkan. Itulah mengapa, sound editing di film ini diperlukan sekali guna menggambarkan situasi dengan tepat, agar dapat memainkan pandangan cara penonton sendiri untuk menebar situasi yang tidak terlihat itu.
Walaupun kurang dari 2 jam, durasi perjalanan Saul terbilang lumayan pas. Mengapa? Film ini dikemas dengan tempo yang cukup lambat, serta minim dengan dialog. Saya pun cukup bertanya-tanya dengan naskah film ini. Sepertinya akan lebih banyak porsi deskriptif adegan dibanding dialognya. Juga, yang menarik, bahasa yang digunakan dalam film ini tidak hanya Hungaria, melainkan melibatkan 8 bahasa lainnya, mencakup Jerman, Russia, Polandia, Yunani, Yiddish, Ibrani, Perancis, dan Slovak.
Tidak heran, film yang menarik diri dari Panorama Section Berlin Film Festival ini berhasil memenangkan jury grand prize beserta tiga penghargaan lainnya di Cannes Film Festival 2015, hingga puncaknya meraih Best Foreign Film kedua untuk Hungaria di ajang Academy Awards. Buat saya, film bertema holocaust ini digarap cukup baik. Sebagai sebuah fiksi, “Son of Saul” lumayan berhasil untuk menghadirkan kembali reka ulang perilaku tidak manusiawi di pertengahan dekade 40-an. Menariknya, mungkin juga berhasil karena dogma yang diterapkan Nemes di film ini: tidak boleh terlihat indah, tidak boleh terlihat menarik, bukan horror, selalu bersama Saul dan tidak boleh melebihi jangkauannya. It works!