Woody Allen kembali membuat saya tercengang lewat “Blue Jasmine.” Drama cerdas karangan Allen ini diangkat dengan kombinasi: sedikit kemiripan pada plot klasik “A Streetcar Named Desire,” hubungannya dengan Mia Farrow, serta skema Ponzi yang berada di kalangan atas.
Jasmine Francis, diperankan oleh Cate Blanchett, memutuskan untuk pergi ke San Francisco untuk bertemu dengan adiknya, Ginger, yang diperankan Sally Hawkins. Dengan berbekal tas dan beberapa koper Louis Vuitton, Ia meninggalkan New York dan kehidupannya, dan ingin memulai sebuah kehidupan baru di rumah adiknya. Menariknya, Ginger dan Jasmine merupakan kakak beradik yang sama-sama anak adopsi.
Setibanya disana, Jasmine kemudian juga berkenalan dengan kekasih Ginger, Chili, yang diperankan oleh Bobby Cannavale. Chili awalnya memperkenalkan Jasmine dengan seorang pria, dan berusaha untuk memberinya peluang pekerjaan dalam membangun hidupnya kembali. Jasmine yang punya gengsi tinggi dan berasal dari kelas atas, tidak akan pernah terpikir untuk menerima peluang untuk menjadi seorang resepsionis di sebuah klinik dokter gigi. Perbedaan kehidupan kelas sosial, membawa Jasmine tidak menyukai Chili yang terkesan kasar, cerewet dan miskin. Begitupun Chili, Jasmine adalah seorang kaya yang kini miskin, sombong dan gengsi tinggi.
Berbeda dengan hubungannya dengan Ginger. Walaupun mereka kakak beradik karena dirawat oleh Ayah dan Ibu yang sama, Ginger selalu mau memberikan waktunya untuk Jasmine. Hal ini berkebalikan ketika Ginger meminta waktunya saat Jasmine sukses dulu kala. Kini, Jasmine yang seorang diri, dengan kondisi mental breakdown-nya, berusaha untuk bangkit untuk membangun kehidupan barunya.
Plot film ini dihadirkan maju-mundur. Allen akan menarik penonton ke potongan-potongan kisah masa lalu Jasmine lewat hal-hal terkait yang sedang ada di pikiran Jasmine. Kisah yang dihadirkan pun sudah tidak perlu diragukan. Allen mengemas kisahnya dengan dialog intelek, yang kadang masih sedikit dibumbui komedi khasnya, dengan penokohan-penokohan karakter yang kuat. Ini belum termasuk bagaimana Allen berhasil membawa penonton untuk masuk ke dalam situasi yang kurang mengenakkan, lewat kericuhan yang terbangun dalam percakapan-percakapan antar karakter.
Blanchett sungguh luar biasa dalam menampilkan karakter Jasmine yang keras, tajam, dan penuh ilusi. Penonton akan menyaksikan dirinya dalam dua kondisi yang berbeda, memperlihatkan sebuah kekontrasan yang menarik. Ini belum ditambah Hawkins yang punya kehidupan yang berbeda jauh dengan Jasmine, mudah terpengaruh, dan menerima kenyataan kalau Ia hanya berada di bawah bayang-bayang Jasmine. Aktris asal Inggris ini pertama kali saya lihat dalam film komedi Mike Leigh “Happy-Go-Lucky” di tahun 2008 yang berhasil memenangkannya sebuah Golden Globe untuk Aktris Film Komedi Musikal Terbaik.
Woody Allen tahu betul bagaimana cara untuk menampilkan akting berkualitas para pemainnya, terutama para aktris. Blanchett dan Hawkins telah menambah daftar sederet para aktris yang sukses lewat film Allen, sebut saja Diane Keaton, Mia Farrow, Dianne Wiest, Marion Cotillard, Mira Sorvino, Samantha Morton, Scarlett Johansson, hingga Penelope Cruz.
Untuk di film ini, Allen menghadirkan beberapa track-track ber-genre Blues. Terutama pada lagu “Blue Moon,” salah satu lagu yang berarti buat seorang Jasmine. Allen menampilkan musik kadang hanya di sela-sela adegan filmnya, sebuah formula yang sering dapat kita temukan di film Allen lainnya, seperti “Vicky Cristina Barcelona” ataupun “Radio Days.”
Film ini juga sukses di awards season, mulai dari sebuah Oscar untuk Blanchett dan nominasi pertama untuk Hawkins dan kesekian untuk Allen, sebuah Golden Globes, sebuah BAFTA, dan 50 penghargaan serta 72 nominasi lainnya. Dengan hanya berbudget US$18 juta, film ini berhasil bertahan selama 7 bulan lebih di bioskop Amerika Serikat, dan berhasil meraup pendapatan worldwide sebesar US$ 97.5 juta.
Saya sangat menikmati 98 menit yang dihadirkan tontonan ini. Penonton akan terus bertanya-tanya apa yang sebetulnya terjadi pada Jasmine? Mengapa Ia bisa kehilangan segalanya? Bagaimana Ia akan melewati semuanya? Apa sebetulnya Ginger sepenuhnya tulus pada Jasmine?
Bicara ending-nya, saya tidak terkejut karena ini dramanya-Allen. Namun, ceritanya masih memberikan sedikit tanda tanya dari segelintir pertanyaan di benak saya yang tidak terjawab secara eksplisit di film ini. “Blue Jasmine” memberi pelajaran bahwa dunia ini terus berputar, mengutip ucapan Blanchett saat menerima Best Actress in Leading Role di Academy Awards dari film ini. Memang betul. Ada kalanya Anda diatas, dan ada kalanya juga Anda dibawah. Perjuangan dari bawah ke atas adalah sebuah hal yang biasa. Namun, bila dari atas ke bawah dan ke atas lagi, adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Untuk itu, anda perlu “amunisi” guna bangkit ketika sewaktu-waktu terjatuh.