Awalnya, saya tidak dengan ekspektasi yang begitu tinggi untuk menyaksikan film ini. “Mona Lisa Smile” ternyata menghadirkan sebuah tontonan ala “Dead Poets Society” yang dikemas dari sudut pandang feminim. Bersetting di tahun 50-an, film ini mengajak penonton untuk menyaksikan kisah Katherine Watson di tengah segala kekolotan yang dihadapinya.
Katherine Ann Watson, diperankan oleh Julia Roberts, memutuskan untuk menjadi seorang pengajar seni di sebuah college khusus perempuan bernama Wellesley College. Kepindahannya ini didasari atas keinginan untuk dapat membuat perbedaan dan mampu memberikan pengaruh untuk generasi baru.
Menariknya, di kelas pertamanya, Katherine dihadapkan dengan sebuah kelas yang ‘sangat matang’ dengan bahan pelajaran mereka. Setiap siswi satu per satu berani menjawab dan menjelaskan segala slide tanpa kurang suatu apapun. Katherine hanya bisa speechless. Setiap siswi benar-benar memahami segala sesuatu yang ada di dalam silabus mereka, termasuk bacaan pendukungnya.
Kejadian tersebut ternyata menjadi sebuah tantangan baru buatnya. Ia kemudian merubah cara mengajarnya dengan hal yang baru: mengajar sesuatu yang asing buat muridnya. Walaupun menuai protes, Katherine menularkan semangat-semangat dalam cara-cara yang tidak bisa dengan mudah diterima oleh kelasnya.
Film ini tidak hanya berkisah tentang Katherine, tetapi juga kisah murid-muridnya. Mulai dari Betty Warren, gadis berpengaruh yang diperankan oleh Kirsten Dunst, yang memutuskan untuk menikah sebelum lulus. Lalu ada Connie Baker, diperankan Ginnifer Goodwin, yang termakan oleh perkataan sahabatnya. Belum termasuk Joan Brandwyn, diperankan oleh Julia Stiles, yang punya potensi besar namun terjebak dengan impian untuk memiliki keluarga. Ataupun Giselle Levy, diperankan oleh Maggie Gyllenhaal, siswi broken home yang mencari pelampiasan dengan rela menjadi simpanan dan dapat melakukan segala hal sesuka hati.
Saya menyukai dengan cara Mike Newell mengemas film ini. Secara keseluruhan, “Mona Lisa Smile” digarap dengan baik. Kehidupan college dan masa 50-an yang kaya dengan dansa, tradisi-tradisi lama, hingga suasana drama yang dikemas lumayan niat. Begitupun dengan naskahnya, Lawrence Konner dan Mark Rosenthal bisa mengemas ceritanya mengalir dengan menarik, yang sebetulnya tidak membuat penonton cepat bosan.
Akan tetapi, film ini akan terasa cukup fatal bila Anda bandingkan dengan “Dead Poets Society”-nya Peter Weir yang fenomenal. Belum termasuk bila banyak sumber yang mengatakan ketidakakuratan situasi yang terjadi di Welleslley College di masa itu. Yah, namanya juga film, dan ini kan tidak berasal dari sebuah adaptasi. Buat saya, yang penting disini adalah bagaimana penyampaian “semangat baru” itu tersampaikan dengan baik di dalam cerita buat penonton.
Soundtrack film ini juga menarik untuk disimak. Ada banyak lagu-lagu lama yang kembali di daur ulang namun dengan kesan yang masih sama. Termasuk aransemen Rachel Portman yang menjadikan drama ini terlihat lebih berkelas. Ini termasuk closing credit yang berisi paduan footage Mrs. America dan 50’s things.
Bicara para pemain film ini, Julia Roberts memang sudah tidak perlu diragukan. Akan tetapi, agak cukup berlebihan untuk membayar Roberts sebesar $25 juta Dollar, sebagai honor aktris tertinggi untuk memerankan seorang Katharine Watson. Karakter Watson memang penuh dengan spirit wanita modern Amerika, yang tidak mau terikat dengan hal-hal tradisional seperti pernikahan dan lebih independen. Juga, Watson tidak memerlukan specialty khusus, seperti make up, penggunaan efek, ataupun mengharuskan Roberts untuk menjadi wanita tak lazim. Padahal anda akan melihat Roberts dengan style yang sederhana.
Bicara pemain lainnya, saya suka dengan akting Julia Styles, Maggie Gylenhaal, Ginnifer Goodwin serta Marcia Gay Harden sebagai pendukung. Styles hadir sebagai wanita cerdas penuh ambisi yang terjebak tradisi, Ginnifer sebagai wanita yang mudah dipengaruhi, Gylenhaal yang hidup semaunya serta Harden yang seakan wanita kurang bergaul yang berusaha menjalankan hidupnya dengan menjaga tradisi. Tetapi, Kirsten Dunst lebih memukau diantara mereka. Dunst menjadi antagonis yang menyebalkan, banyak pengaruh, sombong, tetapi menjalani proses perubahan yang sayangnya tidak terlalu di ekspos dalam cerita.
Absolutely wonderful! Saya lumayan menikmati ceritanya. “Mona Lisa Smile” mungkin tidak terlihat sebagai sesuatu yang spesial karena mungkin dianggap sepele, tapi pesan yang disampaikan membuatnya jadi berkesan dan bisa dibilang sebagai sebuah tontonan cerdas, terutama bagaimana pendekatan baru sering dikaitkan dengan seni. Mengutip kalimat editorial terakhir Betty Warren di film ini: “Not all who wander are aimless. Especially not those who seek truth beyond tradition, beyond definition, beyond the image.”