Keinginan untuk bertemu pada cinta pertama menjadi premis “There’s Something About Mary.” Komedi akhir 90-an ini mengajak penontonnya untuk berimajinasi liar dari setiap kekonyolan yang dibuat.
Ted Stroehmann, yang diperankan oleh Ben Stiller, tidak bisa move on. Ia masih jatuh cinta pada Mary Jensen, seorang wanita yang sempat hampir menjadi prom girl-nya, yang diperankan oleh Cameron Diaz. Kondisi ini berakibat dengan niatnya untuk men-stalking Mary melalui jasa seorang polisi yang bernama Pat Healy, diperankan oleh Matt Dillon.
Ted muda, yang masih menggunakan kawat gigi dan berambut ikal panjang, benar-benar terlena dengan Mary, wanita idaman di sekolahnya. Tidak hanya cantik, Mary juga memiliki kepribadian yang baik. Ia mengingat nama Ted, dan malahan menawarkan dirinya untuk menjadi pasangan prom-nya. Sayang, tragedi zipper menggagalkan keduanya untuk hadir dalam prom.
Kini, Mary telah di Miami. Pat Healy yang ditugaskan Ted sedang melaksanakan tugasnya. Mengikuti Mary ternyata malah memperkeruh suasana. Healy ternyata diam-diam mulai jatuh cinta pada wanita yang diikutinya selama ini. Ia kemudian mengabari Ted dengan hasil spionase palsu dan menjalankan skenario yang lain.
Menyaksikan versi Director’s cut-nya yang berdurasi lebih dari 2 jam, cukup membuat saya kenyang dengan segala kekonyolan yang ditawarkan. Peter dan Bobby Farrely menghadirkan komedi konyol dan sadis yang dibawa dengan cara menyenangkan. Salah satunya adalah ketika mulut Ted yang tertancap dengan sebuah kail, dan tidak berakibat apa-apa.
Sebetulnya saya kurang menyukai komedi yang ditawarkan film ini. Segala kelucuan yang ditampilkan malah memberikan kesan garing dan aneh buat saya. Banyak hal yang memang tidak realistis, dan cukup banyak mengandung unsur dewasa. Film ini memang bukan sebuah sex comedy layaknya “Deuce Bigalow” maupun “American Pie,” namun kesan jorok yang dikaitkan agak cukup mengganggu saya. Salah satunya ketika Mary mengambil cairan sperma yang dikiranya gel rambut, lalu dipakainya untuk menata rambutnya.
Bicara penokohannya, saya suka dengan karakter Healy yang dijadikan sebagai antagonis penuh rencana. Dillon berhasil menjadi seseorang yang menyebalkan. Berbeda dengan Stiller yang digambarkan biasa-biasa saja, namun selalu penuh apes. Sedangkan karakter Mary, yang menjadi subjek dalam judul film ini, terus memberi saya pertanyaan sepanjang film, mulai dari tebakan mengenai motif Mary, sifat yang sebenarnya, hingga penasaran dengan apa yang sebetulnya dimaksud judulnya.
Film ini juga dikemas dengan lagu-lagu yang hadir di sela adegan-adegan tertentu. Lagu-lagu ini memiliki lirik yang cukup sesuai dengan situasi cerita. Tetapi entah kenapa, pembawaan dua pemusik yang kadang tanpa ekspresi malah semakin membuat saya bosan.
Hebatnya, film ini berhasil masuk ke dalam daftar AFI sebagai komedi terlucu. Sayangnya, “There’s Something About Mary” kurang berhasil memecah tawa saya. Akan tetapi kembali lagi, mungkin ini hanya karena perbedaan selera saja.