Setelah membahas masa pembantaian di Kota Medan, investigasi Oppenheimer berlanjut ke peristiwa Sungai Ular, yang diceritakan dalam “The Look of Silence.” Berbeda dengan versi sebelumnya, yang mayoritas diangkat dari sudut pandang pelaku, kali ini Ia mengajak Adi Rukun, seorang tukang kacamata yang juga anggota keluarga korban para penyintas.
Adi lahir di tahun 1968. Ia merupakan rejeki bagi sang Mamak, yang melahirkannya, sekaligus menggantikan kakaknya, Ramli, yang menjadi satu dari 32 korban pembantaian di Sungai Ular. Ramli sendiri sebetulnya adalah salah satu yang sempat selamat, hingga Ia berhasil kabur ke rumah menemui Ibunya sambil berdarah-darah, lalu dibunuh keesokan harinya setelah dijemput para tokoh yang memberi iming-iming untuk membawanya ke rumah sakit.
Adi mungkin tidak mengetahui dengan pasti kejadian yang terjadi kala itu. Di beberapa adegan, Ia menyaksikan rekaman-rekaman wawancara Joshua dengan para pelaku pembantaian di Sungai Ular. Dari sanalah Adi mengetahui reka ulang kematian sang kakak. Kini, Ia berusaha untuk menemui para pelaku. Ia juga masih merawat Ibunya serta Ayahnya yang mulai sakit-sakitan. Pertemuan dengan para pelaku beserta keluarganya menjadi pengalaman yang sangat menarik dan sangat berani dari seorang Adi.
Tontonan yang luar biasa! Oppenheimer kembali membuka mata penonton lewat salah satu kasus paling sensitif di Indonesia: pembantaian PKI pasca gerakan 30 September. Masuknya Orde Baru dan peristiwa pembunuhan para Dewan Jenderal yang dilakukan pada itu merupakan salah satu pelajaran wajib dalam mata pelajaran sejarah hingga kini. Guru-guru, termasuk guru sejarah anak Adi dalam film ini, menceritakan betapa sadis dan kejamnya para Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) menyilet-nyilet para jenderal, hingga mencongkel mata mereka.
Oppenheimer mungkin bukan seorang storyteller yang ulung, namun Ia adalah seseorang yang berani. Ini merupakan sebuah pujian, ketika Oppenheimer mampu untuk bertemu, melakukan pendekatan, dan mampu membuat para pelaku melakukan rekonstruksi ulang, sejak dari 10 tahun yang lalu mendokumentasikannya bersama Adi. Seperti kutipan salah seorang pelaku dalam film ini, “Ini agar anak cucu kita tahu.”
Film ini sebetulnya memposisikan penonton pada sosok Adi, sosok yang juga tidak tahu akan kejadian pastinya. Secara perlahan-lahan, penonton bisa mulai mengetahui detil demi detil, sama seperti Adi. Namun, yang menjadi menarik disini adalah cara pandang kita yang sebetulnya dibuka. Para pelaku tidak merasa bersalah, sebab ini semua demi negara, demi Indonesia. Malahan, ada satu yang menuturkan bahwa gerakan ini dilakukan oleh masyarakat yang di backup oleh militer, dan negara tidak mengambil campur tangan dalam proses pembantaian. Sebab akan bahaya buat negara bila militer yang ikut turun tangan. Kesaksian ini kemudian memberikan sebuah sentilan buat saya: begitu cerdiknya strategi yang diambil kala itu.
Kisah juga terfokus pada kehidupan kedua orang tua Adi yang kini sudah sepuh. Mamak yang sudah tua, masih merawat Bapak yang lebih sepuh dan sakit-sakitan. Mental Bapak pun sudah seperti anak kecil, bila ditanya Ia akan menjawab masih berusia 16-17 tahun dan masih senang menyanyikan lagu lawas “Mana Tahan.”
Menariknya, film ini sebetulnya tidak akan membuat penonton untuk saling menyalahkan. Saya yakin dengan hukum Newton, setiap ada aksi pasti akan berasal dari sebuah reaksi. Sayangnya, kita tidak pernah mengetahui dengan pasti siapa pelaku si pembuat reaksi. Sungguh! Akan terkesan menjadi terlalu runyam bila membahas kasus ini.
Namun, ada konteks yang menarik dari kedua sudut pandang. Dari sisi pelaku dan keluarganya, mereka menganggap ini sudah lewat, biarlah semua ini berlalu. Mereka pun meminta maaf bila anggota mereka ikut serta dalam pembantaian naas itu. Dari sisi korban, mereka juga menganggap sudah lewat. Terutama Mamak, yang lebih memilih untuk diam saja dan hidup tenang dan biarlah para pelaku dihukum dengan pantas di akhirat. Begitupun salah satu korban selamat yang menganalogikan pengalamannya sebagai sebuah ‘borok’ yang sudah berangsur pulih.
Tema sensitif nan sensasional ini berhasil menjadi salah satu official selection di Venice Film Festival, dan berhasil mendapatkan Grand Jury Prize yang kala itu dipimpin Alexandre Desplat. Juga, film ini berhasil meraih segelintir penghargaan di festival-festival, hingga berhasil memasukkan nama Oppenheimer untuk kedua kalinya ke dalam nominasi Academy Award sebaga Best Documentary Feature.
Sebagai orang Indonesia, tentu saya cukup kecewa bila saat itu Oppenheimer berhasil memenangkan sebuah Oscar atas jerih payah keberaniannya. Sorry Oppenheimer! Saya tentu lebih bangga bila anak bangsa yang bisa meraihnya. Namun, ini sebuah hal yang cukup mustahil. Bukanlah sebuah kebanggaan memenangkan sebuah penghargaan prestisius demi bangga akan membuka luka lama negeri sendiri.
Buat saya, tontonan ini adalah sebuah refleksi yang menarik. Seperti judul Indonesia-nya “Senyap,” film ini benar-benar diperlihatkan hal demikian, banyak adegan percakapan menjadi “senyap” dan ada beberapa yang memang dikesankan demikian. Kasus pembantaian PKI adalah sesuatu yang telah berlalu, yang sebetulnya juga menjadi luka bagian kedua belah pihak. Namun, saya teringat dengan ucapan seorang tokoh di sebuah talkshow di televisi: “Bangsa yang besar saat ini bukan lagi bangsa yang menghargai pahlawannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau mengakui kesalahannya. …. Peristiwa ini adalah hutang sejarah di generasi kita, jangan biarkan ini terus sampai ke generasi mendatang.”
Kalau saya, yang terpenting saat ini adalah jangan sampai terulang lagi peristiwa ini. Sudah terlalu banyak pertumpahan darah dan kerusakan yang terjadi. Kita adalah bangsa yang besar, bangsa yang kaya akan kebudayaan, ras dan agama. Kita harus punya pemikiran ke depan. Jangan biarkan generasi saat ini masih disuapi dengan hal-hal yang kebenarannya masih perlu diuji karena tertutup dengan propaganda dan hal-hal politik, namun berikanlah fakta-fakta yang telah terjadi demi menjadi sebuah pelajaran di masa depan. Kadang akan terlalu cerdik untuk berusaha tidak mengetahui karena memang akan sangat menyakitkan bila mengetahui segalanya. Namun, akan kurang bijaksana bila kita tidak membuka diri dan hanya mendengar dari satu sisi saja.