“The Boxtrolls” adalah sebuah animasi puppet stop motion yang membawa penonton ke jaman Victoria, dan berkenalan dengan monster troll yang dimusuhi para warga Cheesebridge. Para troll ini tergambar dalam bentuk mini, tidak sebesar yang di cerita Harry Potter, dan menggunakan kardus bekas sebagai pelindung mereka. Mereka hidup di bawah tanah dan berkeliaran di kota pada malam hari. Yang mereka lakukan adalah mencari barang-barang bekas yang dapat mereka ambil.
Penduduk Cheesebrigde sangat anti dengan para troll ini. Mereka akan segera masuk ke rumah setelah mendengar himbauan Archibald Snatcher, yang disuarakan oleh Ben Kingley. Snatcher, yang juga dikenal sebagai penyanyi Frau Frau, memiliki misi untuk menghabiskan seluruh troll ini agar bisa mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok elit dalam kota yang disebut White Hat. Kelompok elit ini diketuai Lord Portley-Rind, yang disuarakan oleh Jared Harris, yang anggotanya mengunakan topi tinggi bangsawan berwarna putih dan melakukan pertemuan untuk mencoba segala jenis keju. Snatcher ingin bergabung dengan kelompok ini dan menjadikan para troll sebagai alatnya.
Selidik punya selidik ternyata para troll yang terlihat menyeramkan ini merawat seorang anak laki-laki kecil. Anak laki-laki ini menggunakan kardus bergambar telur dan memiliki panggilan Eggs, sesuai identitas box-nya. Suatu ketika, Eggs yang semakin besar mulai menemukan hal yang berbeda, bahwa Ia sebetulnya adalah manusia dan bukan troll. Ia juga memulai aksi baru: untuk menyelamatkan para boxtrolls yang ditangkap dan mengungkapkan kebenaran.
Sebagai sebuah animasi, “The Boxtrolls” di setting sebagai tontonan segala usia yang cukup bercerita sederhana. Saya cukup dengan mudah menebak plot ceritanya, dan tidak menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ceritanya sendiri diadaptasi dari sebuah novel yang dikarang oleh Alan Snow, terbitan tahun 2005 dengan judul “Here Be Monsters!”
Yang menarik dari ceritanya adalah bagaimana penggambaran troll yang diperlihatkan. Walaupun wujud mereka masih dapat dikatakan terbilang menyeramkan, namun kesan imej troll dalam kardus itu serta sifat yang digambarkan dalam film ini cukup berbeda. Mereka digambarkan sebagai monster kerdil pemakan kumbang-kumbangan yang sebetulnya bersahabat, hidup dalam kelompok, dan mampu memanfaatkan barang-barang bekas.
Yang tidak ketinggalan menarik adalah musik Dario Marianelli. Marionelli cukup dikenal dengan aransemen klasik megahnya seperti di “Pride and Prejudice” ataupun “Anna Karenina” hingga perpaduan dengan suara mesin ketik di “Atonement.” Sebagai aransemen untuk musik animasi pertamanya, Marianelli cukup agak menyamakan style musiknya seperti “Fantastic Mr. Fox.” Salah satu track soundtrack yang menarik dari film ini adalah “Whole World” yang dimainkan oleh Loch Lomond.
Karakter dalam “The Boxtrolls” terbilang cukup banyak. Akan tetapi yang paling menarik adalah sosok Eggs yang disuarakan Isaac Hempstead-Wright, dan sosok Archibald Snatcher yang disuarakan Ben Kingsley. Sosok Eggs yang dibesarkan dalam dunia troll akan memberikan banyak kelucuan ketika masuk dalam kehidupan manusia. Lain halnya dengan sosok Snatcher, yang bisa tampil terlihat sangat jahat sebagai Snatcher ataupun hadir sebagai entertainer Madame Frou-Frou. Film ini juga diramaikan pengisi suara lainnya seperti Elle Fanning yang menjadi Wiinie Portley-Rind, Toni Collette sebagai Lady Cynthia Portley-Rind, dan juga Simon Pegg sebagai Herbert Trubshaw.
Film ini masuk ke dalam salah satu nominator dalam kategori Best Animated Feature Academy Awards. Memang patut diacungi jempol untuk segala jenis animasi yang ber-tipe stop motion, karena animasi jenis ini menggunakan puppet nyata yang setiap gerakannya harus di rekam satu per satu. Melihat behind the scene animasi ini, penonton akan diingatkan dengan karya studio Laika lainnya, seperti “ParaNorman” ataupun “Coraline” yang juga pendahulu animasi ini.
Dibuat dengan cukup detil, mulai dari miniatur set yang megah, pakaian dengan detil-detil dari jaman Victoria, hingga proses pembuatannya yang diawali dengan storyboarding yang memakan waktu 3 bulan. Memang proses pembuatan yang agak cukup berbeda dengan animasi kartun, stop motion animation lebih membutuhkan ketelitian dalam detil setiap gerakan yang diperlihatkan akan terkesan rapi ketika digabungkan. Menurut saya, Laika dapat dijadikan sebagai salah satu studio animasi stop motion yang cukup konsisten, yang sampai saat ini sudah menghasilkan 3 film dan kesemuanya berhasil mendapat nominasi Oscar. Saya berharap suatu hari nanti mungkin mereka akan mendapatkan suatu piala Oscar sebagai pencapaian tertinggi mereka.
“The Boxstroll” akan menghadirkan sebuah tontonan petualangan yang cukup menghibur. Saya menyukai bagaimana usaha penyajian animasi ini, walaupun tidak terlalu menyukai plotnya yang memang dikemas sederhana untuk semua umur. It’s a stunning production!